Bulan Sabit di Atas Kubah Masjid

Di salah satu web yang dikelola seorang ustadz anggota Dewan Pembina Konsultasi Syariah menyetujui, memasang tanda bulan di puncak menara masjid tidak dilakukan sepantasnya. Pasalnya, selain hal itu hanya membuang-buang harta dan waktu, asal muasal memasang tanda bulan sabit disinyalir memasang tanda salib di gereja.

Web yang memiliki tagline “Tegar di atas Sunnah” itu sebelumnya mengutip penjelasan dari kitab Majmu Fatawa wa Rasail (Vol 16, hal 177-178, Dar al Tsuraya Riyadh, cetakan II, 1426 H). Bunyinya sebagai berikut:

لكن وضع الأهلة على المنابر كان حادثا فى أكثر أنحاء المملكة وقد قيل : إن بعض المسلمين الذين قلدوا غيرهم فيما يصنعونه على معابدهم وضعوا الهلال بإزاء وضع النصارى الصليب على معابدهم , كما سمو دور الإسعافات الأسعافات للمرضى ( الهلال الأحمر ) بإزاء تسمية النصارى لها ب ( الصليب الأحمر (

“Adanya tanda bulan sabit di menara masjid adalah realita di berbagai penjuru KSA. Ada yang menjelaskan sebagian umat muslim yang suka menggantikan orang Nasrani di gereja-gereja mereka memasang tanda sabit sebagai saingan untuk orang-orang nasrani yang memasang salib di gereja-gereja mereka. Hal ini terus-menerus dengan penamaan bulan sabit merah untuk tempat pertolongan pertama untuk orang-orang sakit untuk istilah palang merah milik orang-orang nasrani. “

Bagaimana sebenarnya sejarah dan hukum terbitan bulan di atas kubah masjid itu? Benarkah membantah, dengan alasan karena muasalnya menolak tanda salib di gereja?

Sejarawan merekam, orang yang pertama kali menginstal bulan sabit di atas kubah adalah Sultan Hasan bin Sultan Malik Nashir Muhammad Qulun, pada abad ke-8 H (Thaha al-Wali, al-Masjid fi al-Islam, hal. 279).

Syaikh Abdul Hayyi al-Kattani al-Maghribi dalam kitabnya al-Taratib al-Idariyah mengungkap kronologi dijadikannya bulan sabit sebagai simbol Islam. Ia menjelaskan, sesuai ringkasan dari Ibnu Yunus, bahwa Sa’ad bin Malik al-Azdi telah bertamu kepada Nabi Muhammad SAW, dengan membawa bendera kaumnya, menggambarkan hitam yang memuat gambar bulan sabit berwarna putih (lihat: Abdul Hayy al-Kattani, Nizham al -Hukumah al-Nabawiyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, Vol 1, hal. 320).

Kaum muslimin juga membeli gambar bulan sabit di mata uang mereka pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Hal ini juga dinukil Arif al-Arif dalam Kitabnya al-Mufashshal fi Tarikh al-Quds , dari Majalah al-Ra’i al-Shalih . Ia mengutip, setelah berhasil dikuasai, di Baitul Maqdis, kaum muslimin memahat mata uang dari tembaga, lalu mencetak di salah satu sisinya kalimat ‘Muhammadur Rasulullah’ dan gambar pedang, sedang di sisi lain Eliya Palestina, huruf Mim (م), dan bulan sabit (Arif al-Arif, al-Mufashshal fi Tarikh al-Quds , hal. 102).

Setelah itu, bulan sabit menjadi simbol islami bagi Turki dan terus berlangsung sampai jatuhnya Khilafah Ustmani (Ottoman). Pada tahap berikutnya, bulan sabit menjadi simbol islami untuk menandingi simbol palang merah. Maka Yayasan Bulan Sabit Merah (Muassasah Hilal Ahmar) menandingi Yayasan Palang Merah (Muassasah Shalib Ahmar). Keduanya bekerja untuk sosial dan layanan kemanusiaan.

Lalu, bagaimana hukum pemasangan tanda bulan sabit itu?

Ulama memiliki dua pendapat dalam menghukuminya. Pertama, bulan sabit di atas kubah merupakan bid’ah, karena Nabi tidak memasangnya di masjid beliau. Sayyid Abdul Hayy al-Kattani dalam al-Taratib al-Idariyah (Vol 1, hal. 320) menyebutkan, bahwa pengarang kitab Wafayat al-Aslaf mengatakan di halaman 380, “Sesungguhnya peletakan gambar bulan sabit di atas menara-menara masjid adalah bid’ah. Raja-raja Dinasti Utsmaniyah secara bergantian menggunakan bulan sabit ini sebagai lambang resmi negara, mengambil dari kebiasaan para kaisar. Pada mulanya, menurut sumber ini, Raja Macedonia, Philips, ayah dari Alexander the Great menyerang Bizantium di suatu malam. Menjelang pagi, rakyat Bizantium berhasil memukul mundur pasukan Raja Philips. Maka untuk mengenang kejadian ini, orang-orang Bizantium menggunakan gambar bulan sabit dalam aktifitas mereka. Kebiasaan ini kemudian diwarisi oleh para kaisar, kemudian oleh raja-raja Dinasti Utsmaniyah.” (al-Masajid fi al-Islam, hal. 282)

Namun, menurut ulama lain, penggunaan bulan sabit di atas kubah bukanlah perkara bid’ah. Hal ini berdasarkan pengertian bahwa bid’ah adalah ‘suatu cara dalam agama yang belum dilakukan sebelumnya dan bertentangan dengan syariat, yang ditujukan untuk berlebihan-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanah’ atau thariqah fi al-din mukhtara’ah tudhahi al-syari’ah yuqshadu bi al-suluk ‘alaiha al-mubalaghah fi al-ta’abbud lillahi Subhanah. (Pengertian bid’ah ini dikemukakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham, 1/26)

Sedangkan penggunaan lambang bulan sabit, bukanlah suatu cara dalam agama, namun merupakan perkara biasa, juga tidak diniati untuk beribadah atau berlebih-lebihan dalam beribadah, pun tidak bertentangan dengan syari’at.

Selain ITU, seperti dijelaskan Mahmud Mushthafa hearts Ahkam al-Masjid wa Mukawwinatuh fi al-Syari’ah al-Islamiyah , persetujuan ( iqrar ) Nabi Muhammad untuk review bendera Yang bergambar bulan sabit Milik Sa’ad bin Malik menunjukkan bahwa Hal Penyanyi Adalah Sesuatu Yang masyru ‘ (dilegitimasi oleh syari’at), bukan bid’ah. Demikian pula, persetujuan Sayyidina Umar dan kaum muslimin, terhadap cetakan gambar bulan sabit di kepingan uang dari tembaga di zaman Khalifah Umar, menunjukkan bagaimana penggunaan bulan sabit agar bisa, tidak didukung.

Wallahu a’lam.

Faris Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *