Kata ibn bisa saja bermakna anak kandung, namun bisa juga berarti anaknya anak (cucu, keturunan), atau anaknya saudara (keponakan). Bani Adam bukan berarti anak Nabi Adam, tapi seluruh keturunannya. Bani Israil bukan terbatas pada anak-anak Israil atau Nabi Ya’qub, tapi keturunannya.
Bahkan Ibn bisa bermakna setiap anak didik, baik anak kandung maupun bukan. Istilahnya, anak biologis dan anak ideologis.
Oleh karena itu Imam Nawawi memiliki julukan Abu Zakariya, padahal beliau tak menikah dan tak punya anak. Zakariya bagi beliau adalah anak didik, atawa anak ideologis, alias ‘Ibn’. Bukan Zakariya sebagai anak kandung.
Allah berfirman:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ [النساء: 23]
“(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak-anak yang dari shulb-mu (anak kandungmu, atau menantu).” (QS. Al-Nisa: 23)
Al-Qur’an menambahkan frase “yang dari shulb-mu” menurut al-Qurthubi, karena alasan berikut ini:
قَوْلُهُ تَعَالَى: (الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ) تَخْصِيصٌ لِيُخْرِجَ عَنْهُ كُلَّ مَنْ كَانَتِ الْعَرَبُ تَتَبَنَّاهُ مِمَّنْ لَيْسَ لِلصُّلْبِ. تفسير القرطبي (5/ 116)
“Sebuah pengkhususan, untuk mengeluarkan setiap anak yang ‘diangkat sebagai anak’ atau diadopsi oleh orang, yang memang bukan shulb-nya.”
Tafsir ini meneguhkan penjelasan tadi, bahwa ibn bisa digunakan untuk membahasakan anak kandung dan bukan anak kandung.
Berbeda dengan penamaan walad. Ia hanya terkhusus bagi anak kandung. Nama ini identik dengan wiladah, atau kelahiran. Karena memang anak sebagai walad adalah anak yang dilahirkan dari hubungan yang sah, sehingga menjadi shulb-nya.
Anak-anak yang menjadi ahli waris yang dijelaskan dalam ayat-ayat waris, misalnya dalam al-Nisa ayat 11, dibahasakan dengan walad (tunggal) atau awlad (plural). Karena yang menjadi ahli waris tentunya anak kandung, sementara yang bukan anak kandung tak menjadi ahli waris. Sebagaimana walad juga mencakup makna laki-laki (al-dzakar) maupun perempuan (untsa).
Menurut keterangan sebagian tafsir, karena Kan’an bukan anak kandung Nabi Nuh, tapi anak istrinya yang kafir, maka dalam al-Qur’an ia dibahasakan dengan ibn.
Allah berfirman:
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي [هود: 45]
Nabi Nuh membahasakan Kan’an dengan “Inna ibni”, bukan dengan “Inna Waladi”. Dalam al-Qurthubi dijelaskan:
وَقَالَ الْحَسَنُ: كَانَ مُنَافِقًا، وَلِذَلِكَ اسْتَحَلَّ نُوحٌ أَنْ يُنَادِيَهُ. وَعَنْهُ أَيْضًا: كَانَ ابْنُ امْرَأَتِهِ، دَلِيلُهُ قِرَاءَةُ عَلِيٍّ” وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهَا”. تفسير القرطبي (9/ 45)
“al-Hasan berkata, ia (Kan’an) seorang munafik, karena itu Nuh berteriak memanggilnya. Diriwayatkan pula dari al-Hasan bahwa Kan’an adalah anak istri Nuh. Dalilnya adalah bacaan Ali – yang artinya: Nuh memanggil anak istrinya.” (al-Qurthubi, 9/45)
Para ulama memang membahas tentang identitas Kan’an ini. Sebagian mereka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ia bukan anak kandung Nabi Nuh. Misalnya keterangan al-Tanthawi dalam al-Wasith (7/214), mengutip penjelasan Ibnu Katsir yang merujuk pada pendapat Ibnu Abbas.
‘Ala kulli haal, apapun itu, mari perbanyak ibn dan walad.
Perbanyak anak biologis dan perbanyak anak ideologis.
Berikhtiar mendidik mereka dengan baik.
Semoga di antara mereka ada yang menarik tangan kita ke surga.
Amin ya Rabbal ‘Alamin..