Dalil merupakan salah satu petunjuk yang penting dalam Islam. Karena dalil menjadi bukti untuk menentukan kebenaran suatu peristiwa atau kejadian. Dalil digunakan untuk menghilangkan segala keraguan yang masih ada dalam diri manusia.
Dalil-dalil tersebut dapat diambil dari Al Quran, hadist, ijma’, dan qiyas. Ijma’ merupakan suatu proses mengumpulkan perkara dan memberi hukum atasnya serta meyakininya. Sedangkan qiyas merupakan suatu proses mengukurkan sesuatu atas lainnya dan menyamaratakannya.
Sangat penting untuk memahami isi dari dalil-dalil tersebut. Sehingga tidak membuat kesimpulan yang justru memiliki makna berlainan. Diperlukan ketelitian dalam memahaminya.
Dalil menurut Bahasa adalah petunjuk. Sedangkan menurut istilah yaitu bukti yang dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah. Kebenaran dan kesalahan dapat diyakini jika ada bukti-bukti atau alasan yang kuat yang menunjukkan atau menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau salah.
Dalil adalah suatu hal yang menunjuk pada apa yang dicari, baik berupa alasan, keterangan atau juga pendapat yang merujuk pada pengertian, hukum dan juga hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dicari.
Pengertian lainnya mengenai dalil adalah sebuah keterangan yang dijadikan sebagai bukti atau alasan mengenai suatu kebenaran terutama yang didasarkan pada Al Quran, bisa juga dikatakan sebagai petunjuk atau tanda bukti dari suatu kebenaran.
Makna dalil tidak bisa hanya dibatasi pada Al Quran dan hadis saja. Dalil yang muttafaq atau disepakati saja ada empat. Diantaranya dan paling utama adalah Al Quran dan hadis serta ijma dan qiyas.
Selain itu adapula dalil yang tidak disepakati tapi digunakan oleh para ulama untuk mengistinbath atau mengetahui suatu hukum. Seperti qaul shahabi (Pendapat para sahabat), istihsan, maslahah mursalah, urf (adat yang tidak bertentangan dengan syara’), syaru man qablana (syariat umat terdahulu), saddudz dzariah dan istishab.
Dalil secara umum dibagi menjadi dua, yakni Qhot’iy (absolut/mutlak), dan Dhonni(teoritis/tidak mutlak). Para ulama berijtihad pada dalil-dalil yang bersifat Dhonni, tidak pada dalil yang bersifat Qhot’iy.
Hasil ijtihad para ulama’ pada sesuatu yang bersifat Dhonni, bila sama maka disebut sebagai ijma’(konsensus/kesepakatan) para ulama’. Bila hasilnya berbeda, maka disebut sebagai ikhtilaf bainal ulama’(perbedaan pendapat di antara para ulama’).
Kaidah mengatakan al-hakam al-qhothi’yyah (hukum-hukum yang Qhot’iy) dan sesuatu yang ma’lumun min ad-din bidhoruroh tidak boleh diingkari. Karena barang siapa yang mengingkarinya, maka dia kafir.Sedangkan masalah-masalah khilafiyah kelompok yang berbeda tidak boleh mengingkari satu sama lain. Maka dari itu, sebagai seorang muslim yang berilmu, kita tidak boleh mengingkari suatu masalah yang diperselisihkan para ullama’.
Vonis sebagai pelaku maksiat hanya boleh diberikan kepada orang yang melanggar hukum Qhot’iy, tidak boleh diberikan kepada penganut pendapat berbeda dalam masalah ke Qhot’iy an suatu ikhtilaf.
Contoh hukum qhot’iy adalah kewajiban sholat, keharaman khamer, keharaman zina, dan lain-lain. Contoh masalah Thoniyyah Ikhtilafiihi adalah hukum isbal, peringatan maulid nabi, menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal (ibadah badaniyah), qunut shubuh, dan lai-lain.
Sementara, secara umum, umat islam terbagi menjadi dua bagian, yakni:
- Mujtahid: mampu menyimpulkan hukum dari dalil
- Muqallid: orang yang mengikuti hasil ijtihad seorang mujtahid