Dalam perjalanan sejarah Islam, sosok Abu Lahab dikenal dengan ketidaksetiaannya pada Nabi Muhammad dan penolakannya terhadap ajaran Islam. Kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an melalui surat Al-Masad yang menegaskan nasibnya di neraka. Namun, dibalik peranannya sebagai musuh Islam, terdapat kisah unik mengenai keringanan siksaan baginya setiap hari Senin. Kisah ini memberi kita refleksi mendalam tentang dampak kebaikan sekecil apapun, bahkan bagi seseorang yang secara terang-terangan menolak iman
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia merupakan salah satu paman Nabi Muhammad yang sangat menentang risalah yang dibawa oleh keponakannya. Sebagai paman yang tampan dengan wajah bercahaya, ia dijuluki “Abu Lahab,” yang berarti “bapak dari api yang menyala,” yang kelak menjadi simbol dari nasibnya di akhirat. Di sisi lain, panggilan aslinya adalah Abu ‘Utbah, diambil dari nama anaknya. Perjalanan hidupnya yang keras kepala pada akhirnya menemui nasib tragis, dengan ancaman siksaan yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Sebuah riwayat yang banyak dikutip dalam kitab-kitab hadits seperti Sahih Bukhari dan Jami’ul Ushul karya Ibnu Atsir, mengisahkan bahwa setiap hari Senin, Abu Lahab mendapatkan sedikit keringanan siksaan di neraka. Keringanan ini berupa air yang ia rasakan melalui rongga di bawah ibu jarinya. Hal ini diberikan sebagai imbalan atas kegembiraan yang pernah ia rasakan ketika mendengar kelahiran Nabi Muhammad. Dalam riwayat disebutkan bahwa Tsuwaibah, budak Abu Lahab, adalah orang yang pertama kali menyampaikan kabar kelahiran Nabi. Dalam kegembiraan spontan, Abu Lahab langsung memerdekakan Tsuwaibah sebagai ungkapan syukur.
Kisah ini juga menjadi bahan renungan para ulama tentang makna kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad. Bahkan jika Abu Lahab, seorang kafir yang namanya dicantumkan di Al-Qur’an sebagai penghuni neraka masih diberi keringanan atas kebahagiaan tersebut, maka bagaimana dengan umat Islam yang terus bershalawat dan bersyukur atas kelahiran Rasulullah?
Melalui kisah Abu Lahab ini, banyak ulama melihat nilai positif dalam peringatan Maulid sebagai bentuk penghormatan dan kegembiraan terhadap sosok yang paling mulia dalam Islam. Dalam konteks perayaan Maulid Nabi, kegembiraan atas kelahiran Rasulullah ini bukan hanya dilihat sebagai ungkapan cinta semata, melainkan juga sebagai amal yang penuh harapan akan rahmat dan keberkahan.
Bagi umat Islam, kisah Abu Lahab menjadi refleksi bahwa meski hanya sedikit kegembiraan atas kelahiran Rasulullah, dampaknya bisa mempengaruhi kehidupan setelah mati. Apalagi bagi seorang Muslim yang terus-menerus berusaha mencintai dan menghormati Rasulullah sepanjang hidupnya. Setiap shalawat yang diucapkan dan setiap kenangan yang dihidupkan tentang Rasulullah diharapkan akan menjadi sebab datangnya rahmat dan kasih sayang Allah.
Kisah ini mengajak kita untuk melihat lebih jauh bahwa kebaikan sekecil apapun, ketika dilakukan dengan hati yang tulus, akan dihargai oleh Allah. Lebih dari itu, sebagai umat yang beriman, meneladani sosok Rasulullah dan terus menjaga kecintaan kepada beliau adalah bentuk pengharapan yang bisa membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.