Langsung Takbiran

Peserta menabuh beduk saat mengikuti Festival Dulag atau menabuh beduk sambil mengucapkan takbir di jalan KK. Singawinata, Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (4/6/2019). Festival tersebut untuk melestarikan tradisi dan menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1440 H. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.

Seorang kiai pernah didebat bahwa menghidupkan malam hari raya dengan ibadah itu bid’ah, termasuk dipertanyakan mengapa begitu masuk Maghrib 1 Syawal umat Islam langsung bertakbir?

Beliau menjawab, bertakbir dengan sempurnanya pelaksanaan puasa Ramadhan itu perintahnya ada dalam al-Qur’an. Allah berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ]البقرة: 185[

“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Mengenai ayat ini, Imam Syafi’i menjelaskan:

لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِدَّةَ صَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَتُكَبِّرُوا اللَّهُ عِنْدَ إكْمَالِهِ عَلَى مَا هَدَاكُمْ، وَإِكْمَالُهُ مَغِيبُ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ شَهْرِ رَمَضَانَ. الأم للشافعي (1/ 264 )

“Kamu menyempurnakan bilangan, yaitu bilangan puasa bulan Ramadhan dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir) ketika kamu telah menyempurnakannya atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu. Kesempurnaan puasa adalah dengan terbenamnya matahari pada akhir hari bulan Ramadhan.” (al-Syafi’i, al-Umm, 264)

Imam al-Qurthubi yang bermadzhab Maliki juga menjelaskan bahwa sempurnanya bilangan itu memiliki dua penafsiran, salah satunya adalah bilangan hilal, baik 29 atau 30 hari. Beliau jelaskan:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ” فِيهِ تَأْوِيلَانِ: أَحَدُهُمَا- إِكْمَالُ عِدَّةِ الْأَدَاءِ لِمَنْ أَفْطَرَ فِي سَفَرِهِ أَوْ مَرَضِهِ. الثَّانِي- عِدَّةُ الْهِلَالِ سَوَاءً كَانَتْ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثِينَ. تفسير القرطبي (2/ 302)

“Hendaknya kalian menyempurnakan bilangan. Ayat ini memiliki dua penafsiran, yaitu: Pertama, menyempurnakan jumlah pelaksanaan puasa bagi orang yang tak berpuassa karena bepergian atau sakit. Kedua, bilangan hilal, baik 29 atau 30 hari.” (Tafsir al-Qurthubi, jilid 2, hal. 302)

Bertakbir pada akhir Ramadhan atau pada malam hari raya hukumnya sunnah. Imam al-Qurthubi menjelaskan:

وَمَعْنَاهُ الْحَضُّ عَلَى التَّكْبِيرِ فِي آخِرِ رَمَضَانَ فِي قَوْلِ جُمْهُورِ أَهْلِ التَّأْوِيلِ. تفسير القرطبي (2/ 306)

“Maknanya adalah anjuran untuk bertakbir pada akhir Ramadhan, sesuai pendapat mayoritas ulama. Beliau lantas mengutip penjelasan Sahabat Abdullah bin Abbas yang mengatakan:

حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ إِذَا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَنْ يُكَبِّرُوا. تفسير القرطبي (2/ 306)

“Keniscayaan bagi kaum muslimin, jika mereka melihat hilal Syawal untuk bertakbir.” . (al-Qurthubi, jilid 2, hal. 306)

BISA BERJAMA’AH, BISA SENDIRI-SENDIRI, DAN TAK HARUS DI MASJID

Termasuk hal yang dipermasalahkan adalah takbir bersama atau takbir jama’i. Ulama-ulama salafi mengingkari takbir Jama’i ini. Bahkan Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mufti Saudi melarang takbir jama’i. Sebenarnya takbir bisa dilakukan secara berjama’ah dan sendiri-sendiri. Imam Syafi’i menjelaskan:

فَإِذَا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يُكَبِّرَ النَّاسُ جَمَاعَةً، وَفُرَادَى فِي الْمَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ، وَالطُّرُقِ، وَالْمَنَازِلِ، وَمُسَافِرِينَ، وَمُقِيمِينَ فِي كُلِّ حَالٍ، وَأَيْنَ كَانُوا، وَأَنْ يُظْهِرُوا التَّكْبِيرَ، وَلَا يَزَالُونَ يُكَبِّرُونَ حَتَّى يَغْدُوَا إلَى الْمُصَلَّى، وَبَعْدَ الْغُدُوِّ حَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَدَعُوا التَّكْبِيرَ. الأم للشافعي (1/ 264)

“Maka jika mereka telah melihat hilal Syawal, aku suka umat Islam bertakbir bersama-sama atau sendiri-sendiri, di masjid, pasar-pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, baik dalam keadaan bepergian maupun tidak, dalam segala kondisi, di manapun mereka berada, dan hendaknya mereka menampakkan takbir itu. Mereka terus bertakbir sampai mereka pergi ke tempat pelaksanaan shalat Id, dan setelah pergi sampai imam keluar ke tempat itu untuk shalat., kemudian mereka tidak bertakbir lagi.” (al-Syafi’i, al-Umm, 264)

Penjelasan Imam Syafi’i ini sekaligus menerangkan bahwa takbiran tidak harus di masjid, namun bisa pula di rumah-rumah. Terutama di masa pandemi ini.

Bagaimana dengan menghidupkan hari raya dengan ibadah? Imam Syafi’i menganjurkannya, bahkan amaliah ini memiliki keutamaan khusus. Ulama salaf ini menjelaskan:

عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: ” مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْعِيدِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ حِينَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ “.(قَالَ الشَّافِعِيُّ : وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ: إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِي خَمْسِ لَيَالٍ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى، وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ، وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ، وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ. الأم للشافعي (1/ 264)

“Diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Darda, beliau berkata, “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya karena mengharap ridha Allah, hatinya tidak bakal mati di saat hati mati.” Imam Syafi’i berkata, “Telah sampai riwayat kepada kami bahwa doa itu mustajab pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan Rajab, dan malam Nishfu Sya’ban.” (al-Syafi’i, al-Umm, 264)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *