Mengukur Kemanfaatan Ilmu

Oleh: H. Faris Khoirul Anam
(Pengasuh PP Darul Faqih Malang)

Kita yang istiqamah hadir di majelis taklim, pengajian, atau ngaji “ndeprok’ ngasahi kitab, ngaji “damparan”, bagaimanakah cara mengukur kemanfaatan ilmu kita?

Seorang ulama bernama Syaikh Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah memberikan standarnya, dengan mengungkap apakah hakikat ilmu itu. Menurut beliau:

العِلْمُ مَا يَدُلُّ عَلَى أَثَرٍ يَتَمَيَّزُ بِهِ الشَّخْصُ عَنْ غَيْرِهِ.

“Ilmu adalah sesuatu yang menunjukkan pada suatu dampak yang dapat membedakan seseorang dengan yang lainnya.”

Menurut pengertian ini, ilmu itu harus melahirkan sebuah distingsi. Sementara distingsi itu berbeda dengan semata diferensi.

Diferensi sekedar “perbedaan”. Namun distingsi adalah “derajat perbedaan sikap”. Maksudnya, dalam menyikapi sesuatu orang yang sudah tahu harus punya “derajat sikap yang berbeda” dengan orang yang belum tahu.

Contoh sederhana, cara wudhu orang yang sudah tahu ilmunya tentu berbeda dengan orang yang belum tahu ilmunya. Sikap orang menghadapi musibah, gejala alam, atau misalnya penyebaran virus corona hari-hari ini, harus berbeda antara orang yang sudah tahu ilmunya dengan orang yang belum tahu.

Keluarga yang sudah disiapkan memahami ilmu waris, saat orang tuanya wafat, akan punya sikap yang berbasis ilmu dalam melihat tinggalan warisan orang tuanya. Potensinya kecil mereka akan berebut warisan atau membagi warisan dengan tanpa ilmu; sesuatu yang sering kita jumpai pada keluarga yang belum disiapkan untuk memahami ilmu faraid dengan baik.

Inilah yang namanya distingsi. Dalilnya adalah QS. Az-Zumar [39] ayat 9. Terdapat beberapa ayat lain dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang distingsi ini, dibahasakan dengan “hal yastawi”, “hal tastawi”. Misalnya dalam Surat al-An’am ayat 50, ar-Ra’d ayat 16, dan an-Nahl ayat 76. Insya Allah tafsir “Ayat-Ayat Distingsi” ini akan kami tulis di rubrik Tafsir Majalah Cahaya Nabawiy edisi depan.

Pengertian ini senada dengan teori pembelajar behavioristik; bahwa belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Aliran behavioristik ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Pengertian tentang ilmu yang ciamik dan praktis tersebut konon dinisbatkan pada seorang ulama bernama Syaikh Ibnu Faris – artinya: “anaknya Faris”. Semoga anak-anak saya jadi ulama alias orang-orang yang berilmu manfaat, juga putra-putri panjenengan semua…

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *