Menyambungkan dan mengikatkan hati dengan orang-orang baik, terutama terhadap guru, adalah dengan cinta pada mereka. Sementara cinta itu harus dimanivestasikan dalam dua hal. Orang yang mengaku cinta pada sesuatu, namun tidak dapat membuktikannya, maka dikatakan cintanya itu palsu.
Dua wujud cinta itu adalah ingat dan taat.
Pertama, cinta diekspresikan dengan banyak mengingat dan menyebut sesuatu yang dicintainya. Disebutkan bahwa man ahabba syai-an katsura dzikruhu (Orang yang mencintai sesuatu akan banyak mengingat dan menyebutnya).
Terkait sikap terhadap guru secara khusus, al-Imam al-Sukri dalam Hidayatul Murid mengatakan:
أنه يجب على المريد أن يذكر دائما, أنه بين يدي شيخه في كل نفس من أنفاسه.
“Wajib bagi seorang murid untuk selalu mengingat bahwa dia berada di depan gurunya dalam setiap tarikan nafasnya.”
Mengingat guru ini bermakna luas. Bisa diartikan bahwa kita senantiasa harus mengenang jasa beliau dan mendoakannya. Tiap hari kita harus mendoakan orang yang telah membuat kita jadi tahu itu. Seusai shalat misalnya, kita bacakan istighfar untuk para masyayikh dan asatidz kita. Doa tersebut dapat pula kita bingkai dalam bentuk pembacaan Surat al-Fatihah untuk mereka.
Mengingat guru dapat pula dimaknai dengan senantiasa mengingat ilmu yang telah mereka ajarkan. Ajaran-ajaran itulah yang menjadi tuntunan bagi kita dalam menjalani kehidupan ini. Menaati guru sesungguhnya tidak hanya ketika kita berada di hadapan mereka, namun – sebagaimana dinasihatkan al-Sukri tersebut sebelumnya – dalam setiap tarikan nafas selalu kita hadirkan nasihat dan ajaran baik mereka. Hal itu berhubungan dengan ekspresi cinta kedua berikut ini.
Kedua, cinta diekspresikan dengan mematuhi aturan guru. Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsah (hal. 56) mengatakan:
يتَعَيَّن عَلَيْهِ (المريد )الاستمساك بهديه (الشيخ ) وَالدُّخُول تَحت جَمِيع أوامره ونواهيه ورسومه حَتَّى يصير كالميِّت بَين يَدي الْغَاسِل، يقلبه كَيفَ شَاءَ.
“Seorang murid harus berpegang teguh pada petunjuk guru. Ia harus berada dalam koridor ketaatan terhadap perintah, larangan, dan garis-garis yang telah diberikannya. Murid itu seperti orang meninggal yang berada di hadapan orang yang memandikannya, dibalik-balik sesuai kehendak yang memandikan.”
Demikianlah sikap seharusnya seorang murid terhadap gurunya. Ulama hingga mengatakan, “Lan yufliha syakhshun qaala lisyaikhihi “lima? (Tidak akan berbahagia orang yang suka mengatakan pada gurunya “mengapa?).”
Hari ini kita menyaksikan turunnya kepercayaan murid terhadap guru. Sampai ada ungkapan, kalau dulu orang mengatakan “Opo jare pak guru” (apa kata pak guru), sekarang bergeser menjadi “Jare pak guru opo?” (kata pak guru apa?).
Kenyataan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, bisa dari murid itu sendiri, atau bahkan dari pihak guru. Suatu fakta yang seharusnya menjadi perhatian dan instropeksi bersama.
🌐Kunjungi website official Darul Faqih
www.darulfaqih.com
Akun media sosial official Darul Faqih :
Instagram Darul Faqih
https://instagram.com/darulfaqih.official
Facebook Darul Faqih
www.facebook.com/darulfaqihpandanlandungmalang
Youtube Darul Faqih
https://youtube.com/@santripandan-darulfaqihmalang