MELETAKKAN PRO DAN KONTRA DALAM BINGKAI KOMPROMI

Pro dan kontra atau polemik senantiasa menghiasi perjalanan sejarah umat Islam. Pun saat ini: di masa arus informasi mengalir deras bak air bah, siap menggerus ukhuwah dan menghancurkan kekuatan barisan.

Ternyata, para ulama yang dikenal sebagai figur moderat (wasathi) punya jurus jitu menangkal fitnah tersebut. Caranya adalah dengan meletakkan pro dan kontra itu dalam bingkai kompromi. Manfaatnya, hati akan kembali menyatu, kekuatan kembali terbangun.

Kita ambil contoh bagaimana sikap dua ulama, yaitu al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Syafi’i. Keduanya adalah figur panutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Pada masa al-Asy’ari, terdapat beberapa kelompok dan aliran. Mereka adalah Ahlussunnah, Hashawiyah, Mu’tazilah, Mulhidin, Qaramithah, dan Zanadiqah. Ahlussunnah terdiri dari kalangan fukaha dan ahli hadits, yang mendalami keilmuan tanpa diwarnai perdebatan dan pertentangan. Sedangkan Hashawiyah meyakini Allah menyerupai makhluk (tashbih) dan meyakini Allah berbentuk dan memiliki anggota tubuh (tajsim).

Mu’tazilah menafikan sifat-sifat dari Allah, mendahulukan akal dari naql, meyakini kemakhlukan al-Qur’an, menafikan rukyatullah di akhirat, mengingkari adanya syafaat. Sementara Mulhidin, Qaramithah, dan Zanadiqah, membuat kerusakan dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah (Mushthafa bin Abdurrahman al-Aththas, Aqidah al-Imam al-Asy’ari: Madzhab al-Sawad al-A’zham min al-Muslimin fi al-Ushul, hal 45.)

Pada beberapa waktu, belum muncul ulama yang dapat mematahkan argumen dan paradigma pemikiran Hashawiyah, Mu’tazilah, Qaramithah, dan kelompok-kelompok itu. Setiap kelompok sibuk dengan dirinya sendiri, atau sibuk dalam perseteruan antar pemikiran (Muqaddimah al-Kautsary untuk Tabyin Kidzb al-Muftary karya Ibnu Asakir [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby], hal. 5)

Melihat fakta keumatan ini, al-Asy’ari berupaya mendamaikan berbagai paradigma pemikiran saat itu. Hamudah Gharabah dalam Abu al-Hasan al-Asy’ari menjelaskan:

رَأَى أَنَّ طَرِيْقَةَ المُعْتَزِلَةِ سَتُؤَدِّي بِالإِسْلاَمِ إِلَى الدَّمَارِ، كَمَا أَنَّ طَريْقَةَ المُحَدِّثِيْنَ وَالمُشَبِّهَةَ سَتُؤَدِّي إِلَى الجُمُوْدِ وَالاِنْهِيَارِ مَعَ مَا فِي ذَلِكَ مِنْ تَفْرِقَةِ كَلِمَةِ الأُمَّةِ وَغَرْسِ بُذُوْرِ الشِّقَاقِ بَيْنَهَا وَأَنَّهُ مِنَ الخَيْرِ لِهَذِهِ الجَمَاعَةِ أَنْ يَلْتَقِيَ العَقْلِيُّوْنَ وَالنَّصِّيُّوْنَ مِنْهَا عَلَى مَذْهَبِ وَسَطٍ يُوَحِّدُ القُلُوْبَ وَيُعِيْدُ الوَحْدَةَ إِلَى الصُّفُوْفِ مَعَ احْتِرَامِ النَّصِّ وَالعَقْلِ مَعاً.

Al-Asy’ari melihat bahwa metode Mu’tazilah akan menyebabkan kehancuran Islam, sementara metode muhadditsin dan musyabbihah akan menyebabkan kejumudan. Bersamaan dengan itu, persatuan umat akan terkoyak, benih perpecahan umat akan terus tertanam. Oleh karena itu, langkah terbaik, kelompok ‘aqliyyun (rasionalis) dan nashshiyyun (tekstualis) harus bertemu pada madzhab wasath (moderat) yang dapat menyatukan hati dan mengembalikan persatuan barisan, seraya menghormati nash dan akal dalam waktu bersamaan.” (Hamudah Gharabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, hal 66.)

Analisa Hamudah Gharabah tentang aktifitas al-Asy’ari tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, terjadinya kontroversi dan pro dan kontra di tengah umat Islam, apalagi ulamanya, akan menyebabkan rusaknya persatuan umat dan tertanamnya benih-benih perpecahan. Kedua, dalam kondisi seperti itu, kelompok pro dan kontra harus bertemu pada madzhab wasath (moderat) yang dapat menyatukan hati dan mengembalikan kekuatan barisan.

Oleh karena itu, usaha mempertemukan dua pihak yang terlibat pro kontra dalam suatu jalan tengah dan kompromi merupakan hal penting. Semangat inilah yang disebut sikap moderat yang dimiliki oleh al-Asy’ari, perumus kembali ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu.

Apabila al-Asy’ari dikenal sebagai ulama moderat yang mengompromikan polemik dalam bidang teologi, maka al-Syafi’i dikenal sebagai ulama moderat yang mengompromikan polemik dalam bidang fikih.

Bahkan, sikap al-Imam al-Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’I, itu berhasil mendamaikan polemik antara Ahli Hadits dengan Ahli Ra’yi (gerakan pemikiran keislaman berpusat di Baghdad, Irak, yang dalam mengambil sebuah fatwa terhadap ilmu fiqih lebih dominan berpikir dengan akal dari pada hadits).

Syaikh Abdul Fattah Shalih Qudaisy al-Yafi’I dalam Kitab ath-Thariq ila al-Ulfah, hal. 181. mengungkap, banyak ulama Ahli Hadits yang sebelumnya mengklaim, “Kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah) adalah Ahli Hadits.” Statemen ini bertujuan untuk mengenyahkan Ahli Ra’yi dari barisan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Namun al-Imam al-Syafi’i berhasil meletakkan polemik tersebut dalam bingkai kompromi, dengan cara menggabungkan antara hadits dan fikih. Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartib al-Madarik menjelaskan pengakuan Imam Ahmad bin Hanbal dari kalangan Ahli Hadits dalam masalah ini.

قَالَ أَحْمَدُ بُنُ حَنْبَلٍ مَا زِلْنَا نَلْعَنُ أَهْلَ الرَّأْيِ وَيَلْعَنُوْنَنَا حَتَّى جَاءَ الشَّافِعِيُّ فَمَزجَ بَيْنَنَا يُرِيْدُ أَنَّهُ تَمَسَّكَ بِصَحِيْحِ الآثَارِ وَاسْتَعْمَلَهَا، ثُمَّ أَرَاهُمْ أَنَّ مِنَ الرَّأْيِ مَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ وَتَنْبَنِي أَحْكَامُ الشَّرْعِ عَلَيْهِ، وَأَنَّهُ قِيَاسٌ عَلَى أُصُوْلِهَا وَمُنْتَزَعٌ مِنْهَا. وَأَرَاهُمْ كَيْفِيَّةَ انْتِزَاعِهَا، وَالتَّعَلُّقَ بِعِلَلِهَا وَتَنْبِيْهَاتِهَا.

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, ‘Kami terus mengecam Ahli Ra’yi, sementara merekapun terus mengecam kami, hingga datanglah al-Syafi’i. Ia mencairkan polemik di antara kami.’ Makud Imam Ahmad bahwa al-Syafi’i berpegang teguh dan menggunakan atsar-atsar yang shahih. ‘Aku melihat, di antara pendapat atau ra’yu itu ada yang dibutuhkan dan menjadi pijakan hukum-hukum syari’at. Selain itu, rak’yu merupakan analogi hukum (qiyas) atas dalil dan diambil dari dalil. Saya juga tahu bagaimana cara pengambilan itu, ikatannya dengan illat dan batasan-batasannya.” (Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik [Maroko: Fadhalah al-Muhammadiah, 1983], Vol 1, hal. 91.)

Berdasarkan peran moderat yang dikembangkan oleh al-Imam al-Syafi’i ini, antar kelompok yang berpolemik dapat saling memahami posisi dan sikap kelompok lain. Al-Qadhi ‘Iyadh menuturkan:

فَعَلِمَ أَصْحَابُ الحَدِيْثِ أَنَّ صَحِيْحَ الرَّأْيِ فَرْعُ الأَصْلِ، وَعَلِمَ أَصْحَابُ الرَّأْيِ أَنَّهُ لاَ فَرْعَ إِلاَّ بَعْدَ الأَصْلِ، وَأَنَّهُ لَا غِنَى عَنْ تَقْدِيْمِ السُّنَنِ وَصَحِيْحِ الآثاَرِ أَوَّلاً.

Para ulama ahli hadits akhirnya memahami bahwa pendapat atau ra’yu yang shahih merupakan cabang dari dalil. Sebaliknya pula, para ulama Ahli Ra’yi memahami bahwa tidak boleh ada cabang (ra’yu) kecuali berpijak pada pokok (dalil), serta harus mendahulukan sunnah dan atsar-atsar shahih terlebih dulu.” (Tartib al-Madarik, Vol 1, hal. 91.)

Dalam sejarahnya, mayoritas umat Islam adalah mereka yang memiliki pemahaman moderat atau tawassuth ini. Dengan kata lain, sejarah umat Islam selalu dikawal oleh moderasinya.

Moderasi selalu meniscayakan jalur kompromi dalam menghadapi pendapat pro dan kontra. Tujuannya, sebagaimana analisa Hamudah Gharabah, untuk “menyatukan hati dan mengembalikan kekuatan barisan” pihak-pihak yang untuk sementara terlibat dalam pro dan kontra.

Semoga Allah senantiasa menjaga persatuan umat ini, menjauhkan mereka dari polemik-polemik yang dapat menghabiskan energi dan melemahkan kekuatannya.

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *