Pornografi dalam Pandangan Fikih

Pornografi sering diidentikkan dengan tampilan gambar mengumbar aurat. Sedang pornoaksi merupakan tindakan atau perilaku berbau porno dalam media visual (layar kaca), atau penampilan seronok di depan khalayak umum.

Beberapa definisi menyebutkan, yang dimaksud dengan pornoaksi adalah ‘pornografi yang diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan materi’. Tak hanya melalui visualisasi, sesuatu yang berbau porno atau cabul, dapat pula didapati dalam pemberitaan, tulisan, atau cerita.

Gambar memiliki efek besar bagi jiwa dan mental seseorang. Sebab penglihatan pada suatu objek, fantasi manusia dapat tenggelam dalam lautan khayalan. Tidak sedikit pula yang lalu terjerumus dalam jurang dosa, sebab “terinspirasi” dari sebuah visualisasi.

Seorang penyair bersenandung:

كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ
كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها فِعْلَ السهامِ بلا قوسٍ ولا وتـرِ
والمرءُ ما دامَ ذا عينٍ يُقَـلِبُها في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ
يَسرُّ مُقلَتَهُ ما ضرَّ مُهجَـتَهُ لا مرحباً بسرورِ عادَ بالضـررِ

Semua kejadian, sebabnya adalah penglihatan

Mayoritas penghuni neraka, mereka yang meremehkan keburukan

Berapa banyak pandangan meresap dalam hati orang yang melakukan

Melesat seperti anak panah bagai tanpa busur dan senar tak terkendalikan

Selama punya mata dan mampu menggerakkan, anak manusia akan selalu dalam ancaman

Dia suka melihat suatu nuansa, yang sebenarnya membahayakan perasaan

Tak ada kata gembira, yang berujung pada kesengsaraan

Fikih Islam dalam kajiannya menembus ranah hukum ini. Dalam disiplin keilmuan Islam ini, dikenal berbagai istilah, antara lain: aurat (bagian tubuh yang tak boleh ditampakkan atau tak boleh dilihat), ghaddlul bashar (menahan pandangan), ajnabiyyah (wanita yang tak mempunyai hubungan nasab atau pernikahan), mahram (yang tak boleh dinikahi dari kerabat dekat), dan sebagainya.

Fikih mengklasifikasikan manusia dalam beberapa kelompok dan masing-masing mempunyai konsep hukum berbeda. Seorang wanita ajnabiyyah tak boleh dilihat seluruh auratnya. Sebaliknya, seorang istri boleh dilihat oleh suami bagian manapun dari tubuhnya. Aurat wanita di dalam Islam adalah semua bagian tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Allah SWT berfirman:

أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS al-Ahzab: 59).

Kalau wanita banyak diperintahkan menutup aurat, maka laki-laki banyak diperintahkan menundukkan pandangan. Allah SWT berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Dalam hadits shahih al-isnad (shahih sanadnya), dari Hudzaifah r.a Nabi SAW bersabda:

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ، فمَنْ تَرَكَهَا مِنْ خَوْفِ اللهِ أَنَابَهُ اللهُ إِيمَانًا يَجِد حَلاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ

“Pandangan adalah panah beracun di antara banyak panah yang dimiliki iblis. Barang siapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, pasti Allah menggantinya dengan keimanan yang rasa manisnya akan dirasakan dalam hati.” (HR. al-Hakim)

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah SWT menetapkan pada setiap Bani Adam sesuai dengan bagiannya asing-masing, berupa perbuatan zina. Ia akan menemuinya tidak bisa tidak. Zina mata dengan penglihatan, zina lisan dengan perkataan. Lalu hati akan berandai-andai dan menginginkan, sedang kemaluan adakalanya membenarkan hal itu atau membohongkannya.” (HR. Bukhari, Vol 8, 54 dan 125)

Objek penglihatan yang dimaksud itu bermacam-macam, dapat berupa objek hidup secara langsung, atau objek mati seperti foto atau gambar.

Mengenai objek mati ini, memang beberapa ahli fikih berpendapat tentang tidak adanya keharaman untuk melihat bayangan wanita yang dipantulkan oleh media semacam cermin atau air. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Kitab I’anah at Thalibin:

أَيْ لاَ يَحْرُمُ نَظرُهُ لَهَا فِي نَحْوِ مِرْآةٍ كَمَاء وَذلِكَ لَأَنَّهُ لَمْ يَرَهَا فِيْهَا وَإِنَّمَا رَأَى مِثَالَهَا

“Tidak diharamkan seorang laki-laki melihat wanita melalui media semacam cermin atau air. Karena dia tidak melihat wanita itu secara langsung, tapi sekadar melihat pantulan atau bayangannya.” (I’anah, Vol 3, 301)

Namun hukum ini tidaklah mutlak. Ada dua syarat yang ditentukan ulama hingga melihat bayangan (gambar) wanita dikatakan boleh. Pertama, tidak ada kekhawatiran timbulnya fitnah yang dapat menimpa orang yang melihat tersebut. Kedua, orang itu tidak melihatnya dengan syahwat.

Disebutkan dalam Tuhfat al-Muhtaj:

وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلاَ شَهْوَةَ

“Dan kondisi tersebut, sebagaimana sudah jelas, sekira ia tidak mengkhawatirkan timbulnya fitnah atau syahwat.” (Tuhfat al-Muhtaj, Vol 7, 192)

Artinya, berdasar kaidah ini, jika ditakutkan terjadi fitnah atau jika dilihat dengan syahwat, maka melihat bayangan (gambar) wanita hukumnya adalah haram.

Sementara yang dimaksud dengan syahwat adalah sebagaimana dijelaskan Imam al-Qurthuby:

الشَّهَوَاتُ عِبَارَةٌ عَمَّا يُوَافِقُ الْإِنْسَانَ وَيَشْتَهِيهِ وَيُلَائِمُهُ وَلَا يَتَّقِيهِ

“Syahwat adalah sesuatu yang disukai, diinginkan, dianggap cocok, dan tidak dapat diantisipasi oleh seseorang.” (Tafsir al-Qurthuby, Jilid 11, hal. 125)

Ulama lain, Ibnu Abidin, memberikan standar atau ukuran syahwat tersebut. Dia menjelaskan:

)وَحَدُّهَا فِيهِمَا) أَيْ حَدُّ الشَّهْوَةِ فِي الْمَسِّ وَالنَّظَرِ تَحَرُّكُ الآلَةِ (قَوْلُهُ: أَوْ زِيَادَتُهُ) أَيْ زِيَادَةُ التَّحَرُّكِ إنْ كَانَ مَوْجُودًا قَبْلَهُمَا (قَوْلُهُ: بِهِ يُفْتَى)

“Standar dalam menilai syahwat sebab sentuhan atau pandangan adalah bergerak/bereaksinya alat kelamin, atau “bertambah bergerak” jika sejak awal sudah ada reaksi. Pendapat ini difatwakan (oleh ulama Madzhab Hanafi, pen).” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, Jilid 3, hal. 380)

Imam Baijuri menambahkan penjelasan mengenai syahwat ini. Beliau menyatakan:

ومثل الشهوة خوف الفتنة فلو انتفت الشهوة وخيفت الفتنة حرم النظر ايضا وليس المراد بخوف الفتنة غلبة الظن بوقوعها بل يكفي ان لايكون ذلك نادرا وان كان بغير شهوة وبلا خوف فتنة.

“Termasuk syahwat, kekhawatiran terjadinya fitnah. Jika syahwat tidak dirasakan, namun ditakutkan terjadi fitnah, maka haram pula melihat objek tersebut. Yang dimaksud dengan ‘takut terjadi fitnah’ bukan sangkaan yang dominan bahwa fitnah akan terjadi. Namun anggapan kecil yang mungkin jarang terjadipun, sudah masuk konteks ‘takut terjadi fitnah’, meski tanpa syahwat atau tanpa kekhawatiran timbulnya fitnah.” (Hasyiyah Bajuri, Vol 3, 96)

Tidak dapat dipungkiri, orang yang melihat gambar seronok, cabul, dan mengumbar aurat akan terkena fitnah dan akan terdorong untuk berlaku dosa. Orang tersebut tidak akan melihat gambar tersebut kecuali dengan syahwat. Jika tidak, lalu apa tujuannya untuk melihat? Apakah untuk mengingkari kemungkaran? Apakah untuk menahan pandangan?

Ulama berpendapat hukum seperti di atas, dengan permisalan melihat gambar bayangan wanita di semisal cermin atau air, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Tuhfah dan Hasyiyah Syarwani. Dalam pandangan logis, hal tersebut jarang sekali terjadi. Di masa ulama tersebut, belumlah ada gambar-gambar fotografi, tayangan televisi, kaset video, CD, internet, dan sebagainya.

Di zaman mereka, belum tersebar majalah-majalah porno yang menjual aurat wanita, gambar-gambar munkar dan mengkampanyekan tindakan ibahiyyat alias serba permisif. ‘Hidangan’ yang dinikmati secara terus menerus dan massif itu, telah menimbulkan berbagai tindakan amoral di tengah masyarakat sekarang ini; pemerkosaan, sodomi, pelecehan seksual, perzinahan yang merajalela. Na’udzubillah min dzalik.

Seandainya melihat kondisi zaman ini, para ulama tersebut pasti akan menghukumi haram secara mutlak dan tanpa kompromi, sebagai upaya pencegahan perbuatan munkar (sad ad daraa-i’) dan upaya menutup pintu fitnah.

Dalam statemen ulama-ulama Madzhab Syafi’i, terdapat makna yang menguatkan konklusi ini. Di antaranya adalah pemaparan Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Fatawi-nya, pada permulaan Bab Shalat Jama’ah, tentang kewajiban melarang wanita untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah, dengan memakai kaidah sad ad daraa-i’ (tindakan preventif).

Muhaqqiq Madzhab Syafi’i itu menguraikan,

وبذلك تعلم أنه يجب على من ذكر – أي الإمام ونحوهمنع النساء من الخروج مطلقا إذا فعلن شيئا مما ذكر في السؤال مما يجر إلى الافتتان بهن انجرارا قويا

“Dengan demikian dapat diketahui, wajib bagi orang yang disebutkan (yaitu imam dan semisalnya) melarang wanita secara mutlak untuk keluar, jika mereka melakukan perbuatan seperti disebutkan dalam pertanyaan (yaitu perbuatan yang sangat dapat menyebabkan fitnah).” (Fatawa Ibn Hajar, Vol 1, 200).

Selanjutnya Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hukum larangan ini, dikuatkan oleh penuturan Aisyah r.a.:

لَوْ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ بَعْدَهُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Seandainya Rasulullah SAW melihat kelakuan kaum wanita setelah beliau wafat, dia pasti akan melarang mereka untuk pergi ke masjid, seperti dilarangnya kaum wanita Bani Israil.”

Ada dua kemungkinan dalam menyikapi pendapat Aisyah di atas. Artinya, pelarangan kaum wanita untuk keluar, bisa berstatus wajib, dan bisa pula berstatus hukum jawaz (boleh). Ulama memang berbeda pendapat mengenai perginya kaum wanita ke masjid ini.

Ibnu Hajar kemudian menukil pendapat Imam Malik:

يُحْدَثُ لِلنَّاسِ فَتَاوى بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الفُجُوْرِ

“Fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan dosa model baru yang mereka lakukan.”

Pengarang Kitab Tuhfah ini kemudian melanjutkan,

وَإِنَّمَا نُسِبَ لِمَالِكٍ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ قَالَهُ، وَإِلاَّ فَغَيْرُهُ مِنَ الأَئِمَّةِ بَعْدَهُ يَقُوْلُوْنَ بِذَلِكَ كَمَا لاَ يَخْفَى مِنْ مَذَاهِبِهِمْ

“Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Malik karena beliaulah yang pertama kali melontarkannya. Namun tidak menutup persepsi bahwa ulama lain juga menempuh kaidah yang sama. Seperti yang bisa dicerna dari pendapat-pendapat yang ada dalam madzhab mereka.” (Fatawa Ibni Hajar, Vol 1, 200)

Teks-teks ‘tindakan preventif’ ini banyak didapati dalam pendapat para fuqaha (yuris). Di tengah pergeseran gaya hidup dan budaya manusia, tradisi fatwa ulama semacam ini perlu dijadikan teladan: peka psikologi sosial, memahami motif pelaku, dan mengantisipasi dampak suatu fatwa.

Wallahu al Musta’aan.

Faris Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *