Oleh: Faris Khoirul Anam
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki standar dalam kaidah dan metode penetapan hukum syari’at (istinbath al-hukm). Secara metodologis (manhaji) dan pendapat hukum (qauli), organisasi ini merujuk kepada madzhab empat (al-madzhahib al-arba’ah), yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. NU berbeda dengan liberal. NU memang organisasi moderat (tawassuthi) dan dinamis (tathawwuri), namun kumpulan ulama ini juga berprinsip metodologis (manhaji).
Manhaj yang meniscayakan aturan-aturan prinsip itu, dalam fikih berpegang pada manhaj imam madzhab empat (‘ala manhaj al-immah al-arba’ah); dalam tauhid sesuai manhaj Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi (‘ala ma ‘alayhi al-Imam Abu al-Hasan al-Ash’ary wa al-Imam Abu Mansur al-Maturidy); sementara dalam tasawwuf sesuai manhaj al-Imam al-Ghazali wa al-Junaid al-Baghdadi (‘ala manhaj al-Imam al-Ghazali wa al-Junaid al-Baghdadi).
Dalam rumusan Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang disusun oleh Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari disebutkan bagaimana kesinambungan modeling istinbat al-hukm dengan para ulama madzhab empat itu. Modeling dan sanad ini harus dirawat dan dijaga. KH. M. Hasyim Asy’ari mengatakan:
ﻓﻴﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻷﺗﻘﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺃﻫﻞ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﺃﻧﺘﻢ ﻗﺪ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻣﻤﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻭﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻣﻤﻦ ﻗﺒﻠﻪ ﺑﺎﺗﺼﺎﻝ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﻭﺗﻨﻈﺮﻭﻥ ﻋﻤﻦ ﺗﺄﺧﺬﻭﻥ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻓﺄﻧﺘﻢ ﺧﺰﻧﺘﻬﺎ ﻭﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ،ﻭﻻ ﺗﺆﺗﻮﺍﺍﻟﺒﻴﻮﺕ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ،ﻓﻤﻦ ﺃﺗﺎﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ ﺳﻤﻲ ﺳﺎﺭﻗﺎ، وإن قوما قد خاضوا بحار الفتن،و أخذوا بلبدع دون السنن، وأرز المؤمنون المحقون اكثرهم، و تشدق المبتدعون السارقون كلهم، فقلبوا الحقائق وأنكروا المعروف وعرفوا المنكر.
“Wahai ulama dan para pemimpin yang bertakwa di kalangan Ahlussunnah wal Jamaa’ah keluarga madzhab Imam Empat; Kalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda, dan orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalinan sanad yang bersambung sampai kepada anda sekalian. Anda sekalian selalu meneliti dari siapa anda menimba ilmu agama anda itu. Maka anda-lah para penjaga dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Jangan memasuki rumah-rumah kecuali dari pintu-pintunya. Barangsiapa memasukinya tidak lewat pintu-pintunya, akan disebut pencuri.” (Hasyim Asy’ari, “Mukaddimah Qanun Asasiy Jam’iyyah Nahdlatil Ulama”, lihat: Khittah dan Khidmah: Kumpulan Tulisan Majma’ Buhuts an-Nahdliyyah [Forum Kajian Ke-NU-an], [Pati: Roudhoh al-Thohiriah, 2014], hal. 23-24)
Pengambilan keputusan hukum NU yang memiliki acuan ulama empat madzhab, baik secara metodologi (manhaj) maupun pendapat hukum (qauli) ini tercermin dalam keputusan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992 tentang Sistem Pengambilan Hukum dalam Bahtsul Masail di lingkungan NU. Disebutkan, yang dimaksud bermadzhab secara metodologis (manhajy) adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Sementara yang dimaksud bermadzhab dengan mengikuti pendapat hukum (qauli) adalah mengikuti pendapat imam madzhab. Terdapat terma lain, yaitu bermadzhab dengan mengikuti wajah, atau pendapat para ulama madzhab. (Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Kombes Nahdlatul Ulama (1926 – 1999), (Surabaya: LTN NU, 2005), hal. 470)
Secara praksis menurut Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh, istinbat al-hukm di kalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi –sesuai dengan sikap dasar bermadzhab- memberlakukan (mentatbiqkan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. (MA. Sahal Mahfudh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek” Kata Pengantar Ahkamul Fuqaha, xii.)
Keputusan Munas tersebut juga menegaskan, dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq (1) karena tidak adanya kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh suatu kitab mu’tabar (2) (mulhaq bih) dan sisi penyamaan (wajh al-ilhaq) sama sekali dalam kitab, maka dilakukan istinbat secara jama’i, yaitu dengan mempraktikkan kaidah-kaidah Usul (qawa’id usuliyah) dan kaidah-kaidah Fiqh (qawa’id fiqhiyyah) oleh para ahlinya.
Kesimpulan dari penjelasan ini adalah bahwa kaidah Usul dan kaidah Fiqh sangat dihormati oleh NU dalam penentuan keputusan, apalagi terkait dengan hukum agama. Warga NU (nahdliyyin) mengakui bahwa secara umum, ajaran-ajaran Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu ajaran statis (shaqqun tsabit, atau qath’i) dan ajaran dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadi). Ajaran statis (tsabit) adalah ajaran yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dikondisikan dengan waktu atau tempat, meliputi pokok-pokok aspek teologi (ahkam ‘aqa’idiyah), pokok-pokok aspek ibadah (ahkam ‘amaliyah), dan pokok-pokok aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah).
Ajaran universal dan statis dalam muatan ajaran al-Qur’an yaitu: Pertama, ajaran akidah, yakni sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ajaran pertama dan kedua ini sifatnya tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun.
Sementara jenis ajaran ketiga, yakni ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya, masih harus dipilah antara yang thawabit/qat’iyyat dan ijtihadiyyat.
Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah.
Penjelasan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qat’iyyat tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunnah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.
Berdasarkan penjelasan ini, NU dan segala produk resminya sama sekali tidak memberikan tempat bagi kepentingan dan gejala liberalisme. Apabila liberalisme diartikan sebagai “penempatan suatu agama dalam proses sejarah” sehingga menelurkan ciri relativisme kebenaran, atau keharusan mengubah konsep tentang al-Qur’an, atau mengubah konsep tafsirnya (relatifisme tafsir) hingga pada hal-hal yang qath’i, maka hal semacam ini tidak akan mendapatkan tempat di tubuh NU dilihat dari sisi prinsip yang dipegangnya.
Demikian pula, apabila liberalisasi agama sampai menurunkan keyakinan bahwa Islam dianggap sebagai agama sejarah (historical religion), lalu meyakini al-Qur’an itu sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi), hingga meniscayakan pembongkaran konsep otentitas dan finalitas al-Qur’an, maka ajaran liberalisme semacam ini juga tidak akan mendapatkan tempat di tubuh NU dilihat dari sisi prinsip yang dipegangnya.
Apabila pemikiran-pemikiran liberalisme semacam itu keluar dari seorang aktifis NU, atau dia “mengaku” sebagai orang NU, perlulah wacananya ditashihkan pada prinsip-prinsip yang selama ini diusung oleh NU. Kesinambungan modeling istinbat al-hukm dengan para ulama madzhab empat sangat dirawat dan dijaga oleh organisasi yang didirikan oleh para ulama ini.
Selain melalui pemikiran-pemikiran Hadlratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari, lalu diterjemahkan dalam Qanun Asasi NU, modeling tersebut juga terus dikawal melalui keluarnya Khiththah Nahdhiyah dan Fikrah Nahdliyah dalam sejarah organisasi ini. Kelompok liberal tidak sejalan dengan modeling itu. Mereka tidak menggunakan kaidah dan metode penetapan hukum syari’at (istinbat al-hukm ) seperti yang diterapkan oleh NU.
Pada poin khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nahdliyah, terdapat aspek fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran). Artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
Hidup berdampingan bukan berarti membenarkan akidah berbeda atau pikiran dan budaya menyimpang. Namun NU sebagai gerbong dakwah melakukan pendekatan tertentu dalam berdakwah terhadap mereka.
Saat berbicara tentang keharusan mengikuti pola NU dalam berdakwah dan tradisi ulama sejak dulu, Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin menjelaskan, umat harus dijaga dari aliran sesat dan pemikiran menyimpang. “NU tidak seperti kelompok takfiri yang radikalis, tidak seperti liberal yang mengubah-ubah nash,” tegas KH. Ma’ruf Amin (wawancara, pada Minggu, 20 Desember 2015.)
Maslahat yang tidak bertentangan dengan syari’at diakomodasi. Jika terdapat maslahat yang tidak bertentangan dengan nash maka di sana terdapat syariat Allah (idza wujidat maslahah lam tu’arid an nas fa thamma shar’ullah). Hal ini menurut KH. Ma’ruf Amin berbeda dengan kelompok liberal yang membatalkan nash demi mashlahat (naqd nas bi al-maslahah).
Wallahu a’lam
Catatan:
Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaq al-masail bin nazhairiha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”).
Kitab mu’tabar menurut keputusan Munas tersebut adalah kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke XXVII). (lihat: Ahkamul Fuqaha, hal. 470)
Faris Khoirul Anam
Aswaja NU Center Jawa Timur