Syaikh Mutawalli Sya’rawi mengatakan: “Ruqyah ‘Ilmiyyah Aqwa Minar Ruqyah Bashariyah (Informasi yang Dihasilkan dari Pendekatan Ilmiah itu Lebih Mendalam dari Informasi yang Dihasilkan dari Penglihatan).”.
Kaidah tersebut menjelaskan bahwa untuk mengetahui sesuatu, aktivitas melihat bukanlah satu-satunya cara. Bahkan terkadang informasi yang dihasilkan dari penglihatan, tidak lebih valid daripada yang dihasilkan oleh yang lainnya.
Kita ambil contoh sebagai berikut. Terjadi tabrakan di jalan raya antara sepeda motor dengan minibus. Kita yang tergesa-gesa, atau karena memiliki sifat trauma tertentu, tidak sempat berhenti lama. Namun kita tahu, di tempat itu telah terjadi kecelakaan.
Informasi yang kita dapat melalui penglihatan ini tidak begitu mendalam. Kita hanya tahu telah terjadi kecelakaan, tanpa mengetahui siapa korbannya, dari mana dia berasal, bagaimana kondisinya, siapa pengendara minibus naas itu, dan seterusnya. Informasi yang kita dapat terbatas, karena kita tidak meneliti lebih lanjut.
Berbeda misalnya, bila kita mengetahui kejadian kecelakaan itu melalui pemberitaan media massa. Wartawan melaporkan kejadian kecelakaan itu dengan detail. Kita jadi tahu siapa pengendara sepeda motor itu, siapa namanya, asalnya dari mana, bagaimana kondisinya, demikian pula tentang pengendara minibus itu, bahkan sampai plat nomor kedua kendaraan itu dijelaskan secara detail hingga kita dapat mengetahuinya. Padahal, kita tidak melihat kejadian itu secara langsung.
Itu artinya, informasi dari penglihatan terbatas, sementara informasi melalui pendekatan ilmiah itu lebih mendalam dan meyakinkan.
Bagaimana dengan informasi tentang kehidupan setelah dunia fana?
Surat kabar kita adalah al-Qur’an, wartawannya adalah Nabi Muhammad, saksinya adalah Malaikat Jibril, narasumbernya adalah Sang Maha Benar, Allah SWT.
Dengan demikian, untuk mengetahui – bahkan meyakini -kehidupan barzakh, akhirat, termasuk surga dan neraka, kita tak perlu melihatnya terlebih dulu. Kewajiban kita adalah mempelajari penjelasan al-Qur’an dan Nabi Muhammad tentang hal-hal yang kita tak dapat melihatnya secara langsung itu.
Hal itulah yang telah dilakukan dan diyakini oleh orang-orang yang sempat disindir oleh seorang tokoh nasional sebagai “para peramal masa depan”.

Al-Qur’an menyatakan:
“Maka apakah mereka tidak melihat unta bagaimana ia diciptakan.” (QS. Al Ghasyiyah: 17).
“Melihat” dalam ayat tersebut adalah rukyah ‘ilmiyah, bukan ruqyah bashariyah.
Wallahu a’lam bish-shawab.