Puasa merupakan kegiatan menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat tertentu. Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan di tahun ini, sudah sepatutnya kita menghindari hal-hal yang memicu tidak diterimanya ibadah puasa kita agar rasa lapar yang kita rasakan seharian tidak berakhir sia-sia. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui hal-hal yang sering menjadi perdebatan atas batal tidaknya sebuah puasa apabila mengerjakan beberapa aktivitas.
Dikutip dari buku karya KH. Dr Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I berjudul “ Fikih Praktis” beberapa permasalahan penting terkait puasa:
- Hukum suntik boleh jika darurat (sangat dibutuhkan). Namun para ulama berbeda pendapat, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.
- Pendapat pertama mengatakan suntik dapat membatalkan puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur makanan.
- Sedang pendapat kedua menyatakan, suntik tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur makanan tidak melalui lobang terbuka dalam tubuh.
- Pendapat ketiga memperinci; jika benda yang disuntikkan merupakan makanan, puasanya batal. Jika bukan merupakan makanan, maka dilihat: jika suntikan di urat, maka membatalkan puasa. Jika tidak, seperti di otot, maka tidak membatalkan puasa.
- Riak, hukumnya diperinci:
- Jika sampai keluar ‘batas luar’, kemudian ditelan, maka puasanya batal.
- Jika sampai ‘batas dalam’ saja, kemudian ditelan, maka puasanya tidak batal.
Batas luar adalah tempat keluarnya huruf kha’ (خ). Sedang batas dalam adalah tempat keluarnya huruf ha’ (ح).
- Hukum menelan air ludah, tidak membatalkan puasa, karena sangat sulit dihindari, namun dengan 3 (tiga) syarat:
- Air ludah tersebut murni, tidak bercampur benda atau materi lain.
- Air ludah tersebut suci, tidak bercampur benda najis seperti darah.
- Air ludah tersebut berada di dalam, seperti di mulut atau lidah. Dengan demikian, jika dia menelan air ludah yang sudah berada di bagian bibir yang berwarna merah, maka puasanya batal.
- Hukum masuknya air dengan tanpa sengaja saat mandi, diperinci:
- jika mandi tersebut disyari’atkan (diperintahkan oleh syariat), seperti mandi wajib/mandi janabah, atau mandi sunnah (seperti mandi sebelum shalat Jum’at), maka puasanya tidak batal, dengan syarat mandinya dengan cara menyiramkan air. Jika dengan cara menyelam di air, maka puasanya batal.
- Jika mandinya tidak disyariatkan, seperti mandi hanya untuk menyegarkan badan, atau untuk membersihkan badan, maka jika ada air masuk, batal puasanya, meskipun tidak disengaja, baik mandi dengan cara menyiramkan air atau menyelam di air.
- Hukum jika ada air yang tertelan tanpa disengaja saat berkumur atau memasukkan air ke dalam hidung. Dalam hal ini hukumnya terperinci:
a. Jika berkumur itu disyariatkan, misalnya dalam wudhu atau mandi besar, maka dilihat dahulu:
– Jika berkumurnya tidak dengan sangat, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya tidak batal.
– Jika berkumur dengan sangat, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya batal. Karena terlalu berlebihan dalam berkumur saat puasa hukumnya makruh.
b. Jika berkumurnya bukan termasuk perkara yang disyari’atkan, seperti berkumur dalam berwudhu atau mandi namun yang keempat kalinya (padahal yang disunnahkan hanya tiga kali), atau berkumur untuk menyegarkan mulut, dan sebagainya, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya batal, meskipun berkumurnya tidak dengan sangat.
7. Mengeluarkan mani (sperma), baik dengan tangan, atau tangan istrinya, atau dengan berkhayal, atau dengan melihat (jika dengan berkhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma), atau dengan tidur berbaring bersama istrinya. Jika sperma keluar dengan salah satu sebab di atas, maka puasanya batal. Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi:
يَدَع طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي. متفق عليه
“Ia meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya, karena-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ringkasan masalah dalam permasalahan ini adalah, bahwa keluarnya air mani terkadang membatalkan dan terkadang tidak membatalkan.
I. Membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:
- Dengan cara mengeluarkannya dengan sengaja, dengan cara apapun.
- Jika menyentuh atau berhubungan dengan istrinya secara langsung tanpa penutup/pembatas semacam kain atau yang lain.
II. Tidak membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:
- Jika air mani keluar tanpa menyentuh atau berhubungan, seperti sebab berkhayal atau melihat sesuatu (kecuali jika dengan berkhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma, maka puasanya batal).
- Jika keluar karena menyentuh, namun dengan menggunakan penutup/pembatas.
Catatan:
Hukum mencium saat puasa adalah haram jika sampai membangkitkan syahwat. Jika tidak sampai membangkitkan syahwat maka hukumnya makruh. Mencium tidak membatalkan puasa, kecuali jika sampai mengeluarkan air mani.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ. متفق عليه
“Nabi saw mencium dan menyentuh (istrinya) sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
8. Muntah dengan sengaja.
Muntah dapat membatalkan puasa, walau hanya sedikit. Yang dimaksud dengan muntahan adalah makanan yang keluar lagi, setelah sampai di tenggorokan, walaupun berupa air, atau makanan, walaupun belum berubah rasa dan warnanya. Jika muntah dengan tidak disengaja, puasanya tidak batal.
مَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاء وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْداً فَلْيَقْضِ. حديث صحيح رواه أبو داود
“Barangsiapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak diwajibkan mengqadha. Dan barangsiapa yang sengaja muntah, maka ia harus mengqadha.” (Shahih Abu Dawud)
Jika seseorang muntah maka mulutnya menjadi najis, dengan demikian dia wajib:
- membersihkan mulutnya dengan air, dan
- menyangatkan dalam berkumur sampai air kumuran dapat membersihkan seluruh bagian mulutnya dalam batas luar (tempat keluarnya huruf kha’/ ). Dalam kasus ini, jika ada air yang tertelan dengan tanpa sengaja, puasanya tidak batal, karena menghilangkan najis termasuk perkara yang disyari’atkan (diperintah oleh syari’at).