ALHAMDULILLAH, PRINSIP-PRINSIP NAHDLATUL ULAMA SELALU MENGIKUTI MAYORITAS ULAMA (1)
Dalam berbagai prinsip, NU yang dibuat oleh para ulama selalu diikuti jumhur atau diterima ulama. Mulai dari akidah hingga amaliah, mulai bid’ah hasanah hingga tawassul, prinsip NU selalu beristiqamah di jalur jumhur. Berikut beberapa penjelasannya.
(1)
Aswaja NU mengikuti prinsip akidah al-Asy’ari dan al-Maturidi, golongan yang diterima ulama dalam bidang teologi.
Pertemuan Asy’ari dan Maturidi (Asya’irah dan Maturidiyah) mendukung semua umat Islam sepanjang zaman. Mengenai hal ini, Imam Murtadha al-Zabidi dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqin (Vol. 2, 6) sampai menyatakan:
إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتريدية اه .
” Jika kalimat Ahlussunnah Wal-Jama’ah disebut pengikut maka maksudnya adalah pengikut Asy’ari dan Maturidi.”
Al-Imam al-‘Allamah Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Nayl al-Maram Syarh ‘Aqidat al-Islam , hal. 8 menjelaskan pula tentang umat Islam dalam bidang teologi adalah pengikut Asy’ari. Dia menjelaskan:
اعلم أن مذهب الأشاعرة في الاعتقاد هو ما كان عليه جماهير أمة الإسلام علماؤها ودهماؤها , إذ المنتسبون إليهم والسالكون طريقهم كانوا أئمة أهل العلوم قاطبة على مر الأيام والسنين , وهم أئمة علم التوحيد والكلام والتفسير والقراءة والفقه وأصوله والحديث وفنونه والتصوف واللغة والتاريخ اه .
“ Ketahuilah bahwa madzhab Asy’ari dalam teologi adalah yang diikuti oleh umat Islam, baik ulama dan umatnya, karena mereka yang menisbatkan diri pada nama Asya’irah dan berjalan jalannya adalah para imam ahli ilmu pengetahuan di setiap hari dan tahun. Mereka adalah para imam dalam Ilmu Tauhid, Kalam, Tafsir, Qiraah, Fiqih, Ushul Fiqih, Hadits dan cabang-cabangnya, Tashawwuf, Bahasa dan Sejarah. “
(2)
Aswaja NU mengakui menyetujui bid’ah hasanah. Lagi-lagi ini adalah opini yang ditambahkan pada ulama empat madzhab.
Mayoritas ulama dari empat madzhab dibagi bid’ah menjadi dua, yaitu baik dan jelek ( hasanah wa madzmumah ). Artinya, menurut mereka, tidak semua bid’ah itu jelek. Mayoritas ulama ini mengakui prioritas bid’ah hasanah. Beberapa ulama bahkan dibagi bid’ah menjadi lima dengan syarat-syaratnya. Misalnya Ibnu Abidin dari madzhab Hanafi dalam kitab Raddul Muhtar (Vol. 1, 560), al-Qarafi dari madzhab Maliki dalam Anwar al-Buruq fi Anwa ‘al-Furuq (Vol. 4, 202-204) , Sulthanul’ Ulama Izzuddin bin Abdussalam dari madzhab Syafi’i dalam Qawa’id al-Ahkam (Vol. 2, 204) , dan al-Safaraini dari madzhab Hanbali di Lawami ‘al-Anwar al-Bahiyyah.
Sementara kelompok ulama kedua yang tidak dapat dipisahkan bid’ah adalah al-Syathibi dalam al-I’tisham (Vol. 1, 246 dan Vol. 2, 36) dan Ibnu Taimiyah al-Harani di dalam Majmu ‘al-Fatawa (Vol. 10 , 370). Menurut semua, tidak ada bid’ah hasanah. Paradigma semua dalam memandang bid’ah inilah yang lalu diikuti oleh mayoritas umat Islam sekarang ini.
Mengenai topik Bid’ah ini, telah kami ulas dalam tulisan lain berikut ini:
Bid’ah Haqiqiyah dan Bid’ah Idhafiyah
http://fariskhoirulanam.com/aswaja/bidah-haqiqiyah-dan-bidah-idhafiyah.html
Contoh-Contoh Bid’ah Hasanah Menurut Mayoritas Ulama
http://fariskhoirulanam.com/aswaja/contoh-contoh-bidah-hasanah-menurut-mayoritas-ulama.html
Tidak Ada yang Baru dalam Konsep BId’ah
http://fariskhoirulanam.com/aswaja/tidak-ada-yang-baru-dalam-konsep-bidah.html
Prinsip-prinsip lain yang ada di baris jumhur dapat dilihat dalam tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat.
Bersambung
http://fariskhoirulanam.com/aswaja/alhamdulillah-prinsip-prinsip-nahdlatul-ulama-selalu-mengikuti-mayoritas-ulama-1.html
ALHAMDULILLAH, PRINSIP-PRINSIP NAHDLATUL ULAMA SELALU MENGIKUTI MAYORITAS ULAMA (2)
(3)
Aswaja NU mengakui tradisi baik di tengah masyarakat.
Mayoritas ulama mengakui pengamalan tradisi baik. Sementara membahas, para ulama hampir bersepakat tentang kehujjahannya, berdasarkan beberapa dalil dan argumen, yaitu (1) Firman Allah dalam Surat al-A’raf ayat 199, (2) Hadits Riwayat Ahmad, (3) Kaidah Ushul, dan (4) Kaidah Fikih.
Hal ini diulas oleh al-‘Utaibi di dalam Usus al-Siyasah al-Syar’iyyah berikut ini:
حجيته : الفقهاء على شبه الاتفاق على الاحتجاج بالعرف, وإن كانوا اختلفوا في شروط الأخذ به, وفي مرتبته بين المصادر التشريعية الأخرى إذا ما وقع التعارض بينه وبينها , واستدلوا لحجيته بأدلة منها :
أ – قوله تعالى : ( خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين ) ( الأعراف : 199) , فهذه الآية الكريمة على التسليم بأن المراد بالعرف فيها المعنى اللغوي له لا المعنى الشرعي , حيث المراد بالعرف فيها الشيء المعروف المستحسن, إلا أن فيها استئناسا إلى اعتبار العرف الشرعي, حيث إن العرف الشرعي ما هو إلا ما تعارفه الناس وألفوه واستحسنوه غالبا . وهو قوله : (فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئا ) رواه أحمد, فهو وإن لم يصح رفعه إلى النبي طريق صحيح , لكنه صح وقفه على ابن مسعود, وهو مما لا يعرف بالرأي, فكان في حكم المرفوع . وقد أوضح الفقهاء مدى احتجاجهم بالعرف وتمسكهم به في عبارات كثيرة , منها ما ذكر في شرح الأشباه للبيري قوله : ( الثابت بالعرف ثابت بدليل شرعي ) , وفي المبسوط للسرخسي : ( الثابت بالعرف كالثابت بالنص ). وقد بنى الفقهاء قواعد فقهية عديدة على أساس الاحتجاج بالعرف , منها : ( العادة محكمة ) و ( الحقيقة تترك بدلالة العادة ) و (استعمال الناس حجة يجب العمل بها ) و ( المعروف عرفا كالمشروط شرطا ) وغيرها . د . سعد العتيبي , أسس السياسة الشرعية ) ص 90) .
(4)
Aswaja NU mengamalkan tawassul.
Anda jadi ragu bertawassul setelah mendengar ceramah ustadz-ustadz di TV dan radio? Biasanya, mereka menyebut diri dengan ‘ustadz-ustadz Sunnah’.
Jangan ragu, bolehnya bertawassul – termasuk dengan orang shalih yang sudah wafat – seharusnya juga pendapat yang disetujui ulama!
Ulama memang berbeda pendapat tentang kebolehan tawassul dengan Nabi Muhammad SAW setelah kewafatan beliau, misalnya dengan mengatakan dalam doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُك بِنَبِيِّك
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُك بِجَاهِ نَبِيَّك
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُك بِحَقِّ نَبِيَّك
Tapi bagaimana sebenarnya peta perbedaan pendapat para ulama tentang hukum tawassul ini? Coba telusuri kitab-kitab mereka, semisal Syarh al-Mawahib, 8 / 304-305, al-Madkhal dan 1/248 dari Madzhab Maliki, I’anah al-Thalibin, 2/315 dari Madzhab Syafi’i, al-Mughni ( 2/113) dari Madzhab Hanbali, al-Kamal bin al-Humam, Fath al-Qadir, 2/337, al-Ikhtiyar, 1 / 174-175, Maraqi al-Falah bi Hasyiyah al-Thahthawi, hal 407, Hasyiyah al -Thahthawi ‘ala al-Durr al-Mukhtar, 1/562, al-Fatawa al-Hindiyah, 1/266) .
Abu Yusuf dalam Hasyiyah Ibn Abidin , 5/254 , al-Fatawa al-Hindiyah , 1/266 dan 5/318, Fath al-Qadir 8 / 497-498.
Setelah itu, kami meluncurkan tinjauan dengan menyetujui Ibnu Taimiyah yang tidak memperbolehkan tawassul dengan “dzat atau diri Nabi” dalam Majmu ‘Fatawa , 1/106, dan mengulas dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 7/263. Perlu kita catat sebelumnya, dia setuju dengan persetujuan ulama tentang bolehnya tawassul dengan “pokok iman dan Islam” dan “doa dan syafaat Nabi Muhammad SAW”, sedang tawassul ini dilakukan saat Nabi hidup).
Setelah membaca perut-perut kita warisan para ulama itu, kita akan mendapatkan kesimpulan tentang hukum tawassul dengan orang yang telah meninggal dunia, seperti ini:
Pertama, disetujui ulama (Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, ulama mutaakhhirin dari madzhab Hanafi, dan pendapat yang disarankan dalam madzhab Hanbali): Hukumnya Boleh.
Kedua, Imam Abu Hanifah menurut laporan Abu Yusuf: Tidak boleh.
Ketiga, Ibnu Taimiyah: Tidak bisa.
Melalui penjelasan tersebut, ternyata tawassul dengan orang shalih yang telah meninggal dunia, sesuai disetujui ulama hukumnya boleh.
Bagaimana dengan pihak-pihak tertentu yang memusyrikkan tawassul dengan orang shalih yang sudah wafat dan mengkafirkan orang yang melakukan?
Wah, mereka ikut opini siapa ya? Kata orang Jakarte, ikut serta ulama kagak, ikut Ibnu Taimiyah juga kagak.
Dapat dicek, Ibnu Taimiyah menerima bahwa tawassul dengan orang shalih yang sudah wafat itu bukan kemusyrikan. Dalam Majmu’ Fatawa (1/106), Penghasilan kena pajak menjelaskan beberapa Pendapat ulama Yang BERBEDA Pendapat Mengenai hukum tawassul, beliau menegaskan, masalah hukum tawassul Penyanyi Adalah khilafiyah ( debateble ), Dan bahwa pengkafiran hearts masalah tersebut Adalah Perbuatan haram Dan dosa. Berikut redaksi dijelaskannya:
ولم يقل أحد : إن من قال بالقول الأول فقد كفر, ولا وجه لتكفيره, فإن هذه مسألة خفية ليست أدلتها جلية ظاهرة, والكفر إنما يكون بإنكار ما علم من الدين بالضرورة , أو بإنكار الأحكام المتواترة والمجمع عليها ونحو ذلك . بل المكفر بمثل هذه الأمور يستحق من غليظ العقوبة والتعزير ما يستحقه أمثاله من المفترين على الدين , لا سيما مع قول النبي صلى الله عليه وسلم : أيما رجل قال لأخيه : يا كافر فقد باء به أحدهما . ( مجموعة فتاوى ابن تيمية1/106)
Alhamdulillah – awwalan -, Aswaja NU tidak mudah mengkafirkan. Cara pandang dan paham yang mudah mengkafirkan sesama umat Islam ( fikrah takfiriyah ) kontradiktif dengan ciri Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang senantiasa bermanfaat kebersamaan (lihat: al-Farqu Ba i na al-Firaq , hal. 282)
Alhamdulillah – tsaniyan -, semakin mengambil prinsip-prinsip yang diambil oleh para pemimpin Jam’iyah Nahdlatul Ulama. NU memang organisasi moderat ( tawassuthi ) dan dinamis (tathawwuri), namun kumpulan ulama ini juga berprinsip metodologis (manhaji).
Pemodelan kesinambungan dan tradisi ini tentu saja harus diajarkan dan dijaga. Begitulah wasiat Hadlratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Pendiri Jam’iyyah NU ini menuturkan:
ﻓﻴﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻷﺗﻘﻴﺎﺀ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺃﻫﻞ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﺃﻧﺘﻢ ﻗﺪ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﻣﻤﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻣﻤﻦ ﻣﻤﻦ ﻣﻤﻦ ﻗﺒﻠﻪ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻭﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ ﻭﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ ، ، ، ، ﻓﻤﻦ ﻓﻤﻦ إ إ إ إ قد خاضوا بحار الفتن, و أخذوا بلبدع دون السنن, وأرز المؤمنون المحقون اكثرهم, و تشدق المبتدعون السارقون كلهم, فقلبوا الحقائق وأنكروا المعروف وعرفوا المنكر .
” Wahai ulama dan para pemimpin yang bertakwa di kalangan Ahlussunnah wal Jamaa’ah keluarga madzhab Imam Empat; Kalian telah menimba ilmu dari orang-orang sebelum kamu, dan orang-orang sebelum kamu menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalinan sanad yang bersambung sampai kamu sekalian. Anda sekalian selalu membaca dari siapa Anda menimba ilmu agama Anda itu. Maka Anda-lah para penjaga dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Jangan biarkan rumah-rumah dari pintu-pintunya. Barangsiapa memasukinya tidak melalui pintu-pintunya, akan disebut pencuri. “( Hasyim Asy’ari,” Mukaddimah Qanun Asasiy Jam’iyyah Nahdlatil Ulama “lihat: Khittah dan Khidmah: Kumpulan Tulisan Majma ‘Buhuts an-Nahdliyyah [Forum Kajian Ke-NU- an] , [Pati: Roudhoh al-Thohiriah, 2014], hal. 23-24)