Apakah Thaghut Kafir?

Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menyatakan secara tegas bahwa thaghut itu kafir. Beberapa ayat yang menyebut kata thaghut menjelaskan tentang keharusan untuk ingkar atau kafir pada thaghut, bukan mengkafirkan thaghut. Inilah kekeliruan golongan takfiri, yang meyakini thaghut adalah kafir, bahkan halal dibunuh. Padahal fakta ilmiahnya tidak demikian.

Allah SWT berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [البقرة/256]

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)

Ayat tersebut mengandung perintah agar seorang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah. Pada ayat ini secara ekslipit dijelaskan bahwa sesuatu selain Allah yang diimani adalah thaghut.

Terdapat beberapa ayat lain dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata thaghut. Misalnya adalah Surat al-Baqarah ayat 257. Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah adalah Pelindung orang-orang beriman. Sementara orang-orang kafir pelindung-pelindungnya adalah thaghut.

Surat an-Nisa ayat 60 kembali menyebut kata thaghut. Ayat tersebut menegaskan bahwa orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya hendak berhakim kepada thaghut. Padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu.

Ayat lain yang menyebut kata thaghut adalah Surat an-Nisa ayat 76 (bahwa orang kafir berperang di jalan thaghut); Surat al-Maidah ayat 60 (terdapat manusia yang menyembah thaghut); Surat an-Nahl ayat 36 (perintah agar manusia menjauhi thaghut); dan Surat az-Zumar ayat 17 (kabar gembira bagi manusia yang menjauhi thaghut).

Beberapa ayat tersebut meniscayakan makna secara umum bahwa thaghut adalah sesuatu yang tidak baik dan harus dijauhi manusia. Hal ini tentu sudah menjadi kesepakatan bersama. Namun yang menjadi masalah dewasa ini adalah munculnya pemikiran dan tindakan teror, dengan menuduh pihak yang dia serang sebagai thaghut. Dengan kata lain, mereka mengkafirkan thaghut tersebut.

Makna thaghut tidak boleh diartikan secara sepihak atau satu versi saja, dengan menutup mata dari pendapat lainnya. Padahal thaghut memiliki banyak makna, dan belum ada satu pun definisi yang disepakati oleh para ulama.

Senarai Makna Thaghut

Para ulama, baik ulama terdahulu (salaf) maupun kontemporer (khalaf), memberi beberapa versi pengertian tentang thaghut ini. Berikut ini beberapa makna thaghut menurut para ulama.

Pertama, thaghut berarti dukun yang didatangi oleh setan. Pengertian ini sesuai dengan hadits riwayat Jabir:

كَانَتْ الطَّوَاغِيتُ الَّتِي يَتَحَاكَمُونَ إِلَيْهَا: فِي جُهَيْنَةَ وَاحِدٌ، وَفِي أَسْلَمَ وَاحِدٌ، وَفِي كُلِّ حَيٍّ وَاحِدٌ، كُهَّانٌ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ.

“Thaghut-thaghut yang dijadikan rujukan hukum dulunya di Juhainah satu orang, di Bani Aslam satu orang, dan di setiap kam,pung ada satu orang. (Mereka adalah) dukun-dukun yang didatangi oleh setan.” (HR. Bukhari, nomor 4583)

Kedua, thaghut bermakna setan. Pengertian ini berdasarkan pendapat Sayyidina Umar.

الْجِبْتُ: السِّحْرُ، وَالطَّاغُوتُ: الشَّيْطَانُ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: الْجِبْتُ بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ: شَيْطَانٌ، وَالطَّاغُوتُ: الْكَاهِنُ.

“Al-Jibt adalah sihir, sementara thaghut adalah setan. Menurut Ikrimah, al-Jibt dalam Bahasa orang Habasyah adalah setan, sedang thaghut adalah dukun.” (al-Bukhari, Kitab al-Tafsir, nomor 4583)

Ketiga, thaghut adalah setiap sesuatu yang disembah selain Allah. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, hal 44.

Keempat, thaghut adalah sekutu dan berhala, dan setiap sesuatu yang disembah selain Allah karena seruan setan. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid 2, halaman 446-447.

Kelima, Thaghut itu macamnya banyak. Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:

وَالطَّوَاغِيْتُ كَثِيْرُوْنَ، وَرُؤُوْسُهُمْ خَمْسَةٌ: إِبْلِيْسُ لَعَنَهُ اللَّهُ، وَمَنْ عُبِدَ وَهُوَ رَاضٍ، وَمَنْ دَعَا النَّاسَ لِعِبَادَةِ نَفْسِهِ، وَمَنْ ادَّعَى شَيْئاً مِنْ عِلْمِ الغَيْبِ، وَمَنْ حَكَمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ.

“Thaghut-thaghut itu banyak. Pimpinan mereka ada lima, Iblis la’natullah, setiap yang disembah dan dia ridha, orang yang menyeru orang lain untuk menyembah dirinya, orang yang mengklaim sesuatu dari ilmu ghaib, dan orang yang menghukumi dengan selain yang diturunkan oleh Allah.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Tsalasah al-Ushul, lihat: Majmu’ al-Fatawa karya Ibn Utsaimin, 6/156)

Keenam, menurut Ibnu al-Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in, jilid 1, halaman 50:

وَالطّاغُوْتُ كُلُّ مَا تَجَاوَزَ بِهِ العَبْدُ حَدُّهُ مِنْ مَعْبُوْدٍ أَوْ مَتْبُوْعٍ أَوْ مُطَاعٍ.

“Thaghut adalah setiap sesuatu yang seseorang melampaui batasnya, baik berupa sesuatu yang disembah (ma’bud), diikuti (matbu’), atau dipatuhi (mutha’).”

Lalu berikutnya, ketujuh, ternyata Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki pengertian lain tentang thaghut. Ia mengatakan:

وَالطّوَاغِيْتُ كَثِيْرَةٌ, وَالمُتَبَيِّنُ لَنَا مِنْهُمْ خَمْسَةٌ: أَوَّلُهُمْ الشَّيْطَانُ وَحَاكِمُ الجُوْرِ وَآكِلُ الرَّشْوَةِ وَمَنْ عُبدَ فَرَضِيَ وَالعَامِلُ بِغَيْرِ عِلْمٍ.

“Thaghut itu banyak, yang jelas bagi kita di antara mereka ada lima, utamanya adalah setan, pemerintah yang lalim, pemakan riba, orang yang disembah dan dia rela, dan orang yang mengamalkan sesuatu tanpa ilmu.” (Ad-Durar al-Saniyyah, 1/137)

Ibnu Taimiyah juga memiliki versi lain tentang pengertian thaghut. Menurutnya thaghut adalah setan, berhala, dukun, dinar dan dirham, serta lainnya. (Majmu’ al-Fatawa, 16/565)

Menurut beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan, thaghut dapat berarti dukun, setan, segala sesuatu yang disembah selain Allah, dan berhala. Sementara menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, pentolan thaghut ada lima, yaitu: Iblis; orang yang diibadahi selain Allah dan ia rela pada penyembahan kepadanya itu; orang yang menyeru manusia untuk menyembah dirinya; orang yang mengklaim mengetahui ilmu ghaib; dan orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah.

Sementara menurut Ibnu Qayyim, thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas; baik sesuatu itu dari hal yang diibadahi, diikuti, atau ditaati. Bahkan menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, thaghut dapat berupa penguasa yang zhalim, pemakan suap (risywah), dan orang yang beramal tanpa ilmu.

Jadi, Apakah Semua Thaghut Kafir?

Menurut beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tidak semua thaghut adalah kafir. Apakah patung dapat dihukumi kafir? Ia adalah benda mati yang tak dapat dihukumi sebagai mukmin atau kafir. Demikian pula dinar dan dirham (yang menjadi thaghut bagi orang yang mencintai dan rakus padanya atau pada harta benda), adalah benda mati yang tak dapat dihukumi kafir atau mukmin.

Pemakan suap, meskipun ia adalah pelaku dosa besar, namun memakan suap tak dapat dikatakan menjadi perbuatan yang menyebabkan pelakunya murtad atau kafir. Orang yang beramal tanpa ilmu, juga tak dapat dihukumi kafir secara mutlak. Karena meski ia melakukan dosa karena ketidaktahuannya pada ilmu, belum tentu yang ia lakukan itu menyebabkan kemurtadan atau kekafirannya.

Penguasa zhalim juga tak dapat digeneralisasi sebagai orang yang kafir. Rasulullah bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ.

Sesungguhnya kalian nanti akan menemui “atsarah” (pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di telaga”  (HR Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845)

Perintah bersabar (dan larangan keluar dari ketaatan) merupakan nash bahwa atsarah (pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat) tersebut tidaklah dihukumi kafir (murtad).

Demikian pula pengertian thaghut menurut Ibnu al-Qayyim – ulama yang banyak menjadi rukukan kaum Salafi Wahabi. Menurutnya thaghut adalah “segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas; baik sesuatu itu dari hal yang diibadahi, diikuti, atau ditaati.” (I’lam al-Muwaqqi’in, 1/50).

Bila kita perhatikan, berdasarkan pengertian Ibnu Qayyim di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua thaghut itu kafir. Karena tidak semua yang menyebabkan seseorang melampaui batas itu menjadikan ia kafir atau murtad. Menurut Ibnu Qayyim, seseorang dikatakan thaghut bila ia melampaui batas, bukan karena perbuatan dosa yang dia lakukan. Perbuatan dosa seseorang memang terkadang menjadikan dia kafir, namun terkadang juga tidak.

Lebih dari itu, tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menyatakan secara tegas bahwa thaghut itu kafir. Beberapa ayat yang telah dirilis sebelumnya menjelaskan tentang keharusan untuk ingkar atau kafir pada thaghut, bukan mengkafirkan thaghut itu sendiri.

Inilah kekeliruan golongan takfiry (pengkafiran) dalam menyikapi thaghut. Menurut kelompok yang mudah mengkafirkan tersebut, semua yang disebut thaghut adalah kafir, bahkan halal dibunuh. Padahal fakta ilmiahnya tidak demikian.

Hukum Thaghut

Kelompok takfiri menyimpulkan bahwa penguasa yang berhukum pada selain syariat Islam dinilai kufur, demikian pula yang ridha pada keputusan mereka. Mereka berdalih pada keterangan al-Qurthubi berikut ini:

قولُهُ تَعَالَى: {فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ} أَيْ غَيْرِ الكُفْرِ. {إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ} فَدَلَّ بِهَذَا عَلَى وُجُوْبِ اجْتِنَابِ أَصْحَابِ المَعَاصِي إِذَا ظَهَرَ مِنْهُمْ مُنْكَرٌ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَجْتَنِبْهُمْ فَقَدْ رَضِيَ فِعْلَهُمْ، وَالرِّضَا بِالكُفْرِ كُفْرٌ. (تفسير القرطبي 5/417)

“Allah berfirman (yang artinya): ‘Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain’, yaitu pembicaraan lain selain kekufuran. (Bila berbuat demikian)‘Tentulah kamu serupa dengan mereka. Ayat ini menjelaskan kewajiban meninggalkan para pelaku maksiat jika muncul dari mereka suatu perbuatan munkar, karena orang yang tidak menjauhi mereka maka dia telah merestui perbuatan mereka. Sementara meridhai kekufuran adalah kufur.” (Tafsir al-Qurthubi, jilid 5, halaman 417)

Secara eksplisit, penjelasan al-Qurthubi ini memang seakan memberikan kesimpulan bahwa merestui perbuatan munkar adalah munkar, merestui perbuatan kufur adalah kufur. Jadi, penguasa yang berhukum pada selain syariat Islam dinilai kufur, demikian pula yang ridha pada keputusan mereka.

Benarkah mutlak demikian?

Ternyata al-Qurthubi sendiri pada bagian lain menjelaskan, tidak semua orang yang ridha pada orang kafir itu dihukumi kafir. Dalam ayat yang sama, terdapat ‘potongan’ ayat:

{إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ}

“Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” Menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi menjelaskan:

أيْ إِنَّ الرِّضَا بِالمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ؛ وَلِهَذَا يُؤَاخِذُ الفَاعِلَ وَالرَّاضِيَ بِعُقُوْبَةِ المَعَاصِي حَتَّى يهلِكُوْا بِأَجْمَعِهِمْ. وَهَذِهِ المُمَاثَلَةُ لَيْسَتْ فِي جَمِيْعِ الصِّفَاتِ، وَلَكِنَّهُ إِلْزَامُ شِبْهٍ بِحُكْمِ الظَّاهِرِ مِنَ المُقَارَنَةِ. ( تفسير القرطبي 5/417)

“Artinya, rela pada perbuatan maksiat adalah maksiat. Oleh karena itu, pelaku dan orang yang rela itu diberi sanksi kemaksiatan (sanksi sama, penj), sehingga mereka semua binasa. Dan persamaan ini tidak pada semua sifat, namun (hal ini adalah) menyamakan sesuatu yang sama dengan suatu hukum yang tampak melalui adanya qarinah atau bukti.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/417)

Penjelasan tersebut secara tegas menyatakan bahwa penyamaan perbuatan itu tidak pada semua hal. Penjelasan semacam ini terkadang memang muncul dari permasalahan, apakah berarti orang yang tidak berhukum pada hukum Allah, dihukumi kafir? Secara tegas al-Qurthubi tidak mengatakan demikian. Al-Qurthubi menjelaskan pada bagian lain dalam kitab tafsirnya:

قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} و {الظَّالِمُونَ} و {الْفَاسِقُونَ} نَزَلَتْ كُلُّهَا فِي الكُفَّارِ؛ ثَبَتَ ذَلِكَ فِي صَحِيْحِ مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيْثِ البَرَّاءِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ. وَعَلَى هَذَا المُعْظَمُ. فَأَمَّا المُسْلِمُ فَلاَ يُكَفَّرُ وَإِنِ ارْتَكَبَ كَبِيْرَةً. تفسير القرطبي 6/188

“Firman Allah SWT (yang artinya): ‘Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.’ (QS. Al-Maidah: 44), ‘mereka itu zalim’ (QS. Al-Maidah: 45), dan ‘mereka itu fasiq’ (QS. Al-Maidah: 47), semua ayat ini turun mengenai orang-orang kafir. Hal itu disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits al-Barra. Pemahaman inilah yang kebanyakan diambil (bahwa ayat-ayat tersebut berbicara mengenai orang kafir). Adapun orang Islam, (bila tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah), maka tidak dihukumi kafir, meskipun ia telah melakukan dosa besar.” (al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an/Tafsir al-Qurthubi, jilid 6, halaman 188)

Berdasarkan penjelasan tersebut, kita tidak boleh mengkafirkan orang Islam atau suatu pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam. Dalam ranah tertentu orang Islam tersebut memang berdosa, sehingga padanya perlu ditegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Namun tidak boleh menyerang bahkan membunuh mereka dengan alasan jihad terhadap orang kafir. Wallahu a’lam.

Faris Khoirul Anam

Artikel dimuat Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi Syawal 1437 H, Juli 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *