FIKIH PRAKTIS – Panduan Mudah dan Lengkap Memahami Tatacara Bersesuci, Shalat, Puasa, Zakat Fitrah

Faris Khoirul Anam, Lc., MHI

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Bab Thaharah (Bersesuci)

Udara

Wudlu

Istinja

Mandi Wajib

Najis-Najis

Tayammum

Haid, Nifas dan Istihadhah

Hal-Hal Yang Dilarang Ketika Berhadats

Bab Shalat

Ketentuan Wajib Shalat

Ketentuan Sah Shalat

Rukun-Rukun Shalat

‘Udzur-Udzur Shalat

Hal-hal yang disetujui Shalat

Waktu-Waktu yang Diharamkan untuk Shalat

Kewajiban Menutup Aurat

Bab Puasa

Fadhilah Puasa

Pengertian Puasa

Hukum Meninggalkan Puasa Ramadhan

Hukum-Hukum Puasa

Ketentuan Sah Puasa

Ketentuan Wajib Puasa

Rukun-Rukun Berpuasa

Waktu Wajib Puasa Ramadhan

Permasalahan-Permasalahan Penting tentang Terlihatnya Hilal

Sunnah-Sunnah Berpuasa dan Bulan Ramadhan

Hal-Hal yang Dimakruhkan dalam Berpuasa

Hal-Hal yang Dapat disetujui Puasa

Beberapa Permasalahan Penting dalam Puasa

Bab Zakat Fitrah

Siapakah yang wajib berzakat?

Niat Zakat

Berapakah yang harus disetujui?

Delapan kategori orang yang berhak menerima zakat:

Hukum Memindah Zakat

Syarat-syarat penerima zakat

Kata Pengantar

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Was shalatu was salamu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du:

Segala puji kami haturkan kepada Allah SWT atas terbitnya buku kecil ini, semoga makin menambah khazanah ilmu pengetahuan agama kita, terutama dalam bidang fikih yang sangat terkait dengan amaliah sehari-hari.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini pada mulanya adalah makalah-makalah “terserak”, yang kami gunakan sebagai pegangan mengajar di beberapa tempat, di antaranya di daerah Nongkojajar, lereng Bromo, Pasuruan (Bab Shalat, selama 10 hari), di desa Pronojiwo, lereng Semeru, Lumajang (Bab Shalat dan Puasa, selama 20 hari), kawasan kampung kumuh Cipete, Jakarta (Bab Bersesuci), Masjid Agung Jami’ Kota Malang (Bab Puasa, selama bulan suci Ramadhan 1431 H serta Bab Bersesuci dan Shalat tiap Ahad pagi sampai saat ini).

Rujukan utama Fikih Praktis ini adalah Kitab al-Taqrirat al-Sadidah karya Sayyid Hasan al-Kaff, murid al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Madinah al-Munawwarah, dan Kitab Matn al-Ghayah wa al-Taqrib yang dialihbahasakan oleh KH. Basori Alwi, Singosari Malang menjadi buku Hukum Islam Jilid I, serta beberapa rujukan lainnya.

Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Kota Malang yang berkenan memperbanyak buku ini, sehingga dapat dibagikan kepada umat dan dapat dimanfaatkan secara luas. Kita mengharap semoga ikhtiar ini senantiasa diridhai oleh Allah SWT, menjadi amal yang kelak akan memberatkan timbangan amal kebajikan kita di akhirat. Amin ya Mujibas sa-ilin.

Malang, 20 April 2012

Penyusun

BAB I

THAHARAH (BERSESUCI)

Thaharah (bersesuci) adalah salah satu pekerjaan dari 5 hal berikut ini:

menghilangkan hadats dengan cara wudlu dan mandi besar

menghilangkan najis, misalnya istinja’/cebok dengan menggunakan air, atau membasuh baju yang terkena najis

yang semakna dengan menghilangkan hadats, seperti tayammum (karena sebenarnya hadats tidak hilang dengan bertayammum)

semakna dengan menghilangkan najis, seperti istinja’ dengan batu (karena bekas najis pasti masih ada)

seperti menghilangkan hadats, misalnya mandi-mandi sunnah.

Air

Menurut hukum penggunaannya, air dibedakan menjadi dua:

Air suci dan mensucikan (air muthlaq/air murni).

Seperti air sumur, air laut, dan sebagainya. Air murni bisa digunakan untuk bersesuci. Namun, air musyammas (panas terkena matahari), atau air yang sangat panas, atau air yang sangat dingin, makruh untuk digunakan bersesuci.

Air murni tidak bisa lagi digunakan untuk berwudlu (tapi masih suci) jika:

Air tersebut telah berubah (di mana perubahan itu karena terkena benda suci, adapun jika berubah karena benda najis, maka air menjadi najis).

Air tersebut berubah karena benda yang bisa larut, seperti bubuk kopi. Jika tidak larut, seperti kayu, maka masih bisa digunakan untuk bersesuci.

Air tersebut benar-benar telah berubah, seperti menjadi juice, teh, dan lain-lain.

Air suci tapi tidak mensucikan

Seperti air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk bersesuci (misalnya wudlu, mandi wajib, dan sebagainya) atau digunakan untuk membasuh basuhan wajib dalam wudlu atau mandi wajib itu. Adapun basuhan sunnah (seperti basuhan ke-2 dan ke-3 dalam wudlu) tidak menjadikan air menjadi musta’mal.

Air dihukumi musta’mal, jika air tersebut memenuhi 3 hal:

sedikit (yaitu kurang dari 2 kolah/217 liter);

telah digunakan untuk bersesuci (seperti untuk wudlu, mandi besar, atau menghilangkan najis);

telah menetes dari anggota tubuh yang dibasuh, dan tidak dengan niat mencibuk. Adapun jika seseorang, misalnya, setelah membasuh wajah berniat mencibuk air lagi untuk membasuh kedua tangannya, kemudian air bekas basuhan wajah yang ada di tangannya menetes ketika mencibuk, maka hal itu tidak menjadikan air menjadi musta’mal, selagi dia berniat untuk mencibuk).

Hukum air yang terkena najis:

Jika air sedikit (yakni kurang dari 2 kolah/217 liter), maka hukum air yang terkena najis tersebut menjadi najis, walaupun air tidak berubah.

Jika air tersebut banyak (2 kolah/217 liter, atau lebih), maka air tersebut masih dihukumi suci, kecuali jika menjadi berubah warna, atau rasa, atau baunya, maka air tersebut menjadi najis.

Wudlu

Wudlu adalah membasuh anggota-anggota tubuh tertentu, dengan niat tertentu.

Fardlu-Fardlu/Hal-Hal Wajib dalam Wudlu, ada 6, yaitu:

Niat.

Dengan mengatakan dalam hati: “saya niat wudlu untuk menghilangkan hadats, fardlu, karena Allah SWT” (nawaitul wudlu-a li raf’il hadatsil asghari fardlan lillaahi ta’aala).

Waktu niat adalah ketika awal kali membasuh wajah.

Membasuh wajah.

Batas wajah yang wajib dibasuh adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala, hingga akhir dagu (batas memanjang), dan antara dua telinga (batas melebar).

Membasuh dua tangan sekaligus kedua siku.

Mengusap sebagian kepala.

Membasuh kedua kaki sekaligus kedua mata kaki.

Berurutan.

Sunnah-Sunnah Wudlu, ada banyak, diantaranya:

Melafadzkan niat dengan lisan.

Membaca Basmalah (Bismillaahirrahmaanirahiim) dan Ta’awwudz (A’uudzu billaahi minassyaithoonirrojiim).

Bersiwak.

Membasuh kedua telapak tangan.

Berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung.

Memulai basuhan wajah dari bagian atas.

Mengusap kedua telinga dengan air.

Menggosok anggota tubuh dengan air.

Menyela-nyelai jari tangan dan kaki.

Menggerakkan cincin yang ada di jari tangan ketika dibasuh.

Menghadap Kiblat.

Duduk tatkala berwudlu.

Menggunakan air secukupnya.

Tidak berbicara ketika berwudlu.

Tidak melebihi basuhan lebih dari 3 kali.

Syarat-Syarat Wudlu, ada 15, yaitu:

Islam.

Tamyiz (sekira bisa cebok sendiri atau merawat diri sendiri).

Khusus perempuan harus bersih dari darah haid (darah datang bulan) dan darah nifas (darah setelah melahirkan).

Bersih dari benda yang sekiranya bisa menghalangi sampainya air ke kulit, seperti cat atau lem kayu.

Tidak ada benda di kulit yang bisa mengubah air, seperti sabun, tinta, dan sebagainya.

Mengetahui bahwa hukum wudlu adalah wajib.

Tidak menganggap hal-hal fardlu dalam wudlu adalah sunnah, seperti anggapan bahwa membasuh muka adalah sunnah, padahal hukumnya wajib.

Menggunakan air yang suci mensucikan.

Menghilangkan najis yang terlihat oleh mata (‘ainiyyah).

Mengalirnya air di seluruh anggota wudlu yang wajib dibasuh, tidak cukup dengan hanya mengusap dengan kain atau es.

Yakin bahwa dia wajib berwudlu.

Niat terus menerus sampai awal hingga akhir secara hukum (artinya, tidak ada hal yang bisa membatalkan niat tersebut, seperti murtad/keluar dari Islam, atau niat yang lain selain wudlu).

Tidak mengikat niat dengan sesuatu yang lain (murni niat untuk wudlu).

dan 15. Wudlu harus dikerjakan ketika sudah masuk waktu Shalat dan terus menerus tanpa putus. Kedua syarat ini khusus bagi orang yang selalu berhadats, seperti orang yang selalu keluar air kencingnya, atau air madzinya, atau wanita yang ber-istihadlah (keluar darahnya bukan karena haid atau nifas).

Hal-Hal yang Membatalkan Wudlu, ada 4 yaitu:

Keluarnya sesuatu dari qubul (kemaluan depan) atau dubur (kemaluan belakang), baik angin atau bukan, kecuali air mani.

Hilangnya akal sebab tidur, gila, pingsan, mabuk, atau lainnya, kecuali tidur dengan posisi duduk yang rapat antara pantat dengan tempat duduknya.

Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan, yang kedua-duanya sudah besar (mengerti syahwat terhadap lawan jenis), bukan mahram, tanpa menggunakan batas (seperti kain, dan sebagainya).

Yang menjadi mahram seorang laki-laki ada 18: ibu, anak perempuan, saudari, bibi saudari ayah, bibi saudari ibu, anak perempuannya saudara laki-laki, anak perempuannya saudari perempuan, ibu susuan, anak perempuan sesusuan, saudari sesusuan, bibi saudari ayah sesusuan, bibi saudari ibu sesusuan, anak perempuannya saudara laki-laki sesusuan, anak perempuannya saudara perempuan sesusuan, ibunya istri (mertua perempuan), anak perempuannya istri (anak perempuan tiri), istrinya ayah (ibu tiri), istrinya anak (menantu).

Menyentuh kemaluan depan manusia atau lobang pantat, dengan menggunakan telapak tangan atau telapak jari.

Istinja’ (Cebok)

Yaitu menghilangkan najis dan kotoran yang keluar dari kemaluan, dengan menggunakan air atau batu.

Cara ber-istinja’ ada 3, yaitu:

Dengan menggunakan batu dan air. Cara ini yang paling utama. Batu untuk menghilangkan najis, dan air untuk menghilangkan bekasnya.

Dengan menggunakan air saja.

Dengan menggunakan batu.

Benda yang bisa digunakan ber-istinja’, harus memenuhi 4 hal:

Suci, bukan najis atau yang terkena najis.

Padat/keras.

Bisa mengangkat najis, karena itu tidak boleh menggunakan kaca.

Bukan benda yang terhormat, maka tidak diperbolehkan menggunakan tulang dan makanan manusia, demikian juga tidak boleh menggunakan kertas yang terdapat tulisan yang terhormat, seperti kertas yang terdapat catatan ilmu.

Mandi Wajib

Mandi wajib adalah membasuh seluruh badan dengan air secara merata, dengan niat khusus.

Hal-hal yang mewajibkan mandi, ada 6 yaitu:

Hubungan suami istri.

Keluarnya air mani.

Perbedaan antara air mani, madzi, dan wadi:

Mani: berwarna putih, pekat, Jika masih basah baunya seperti adonan roti, jika sudah kering baunya seperti putih telur.

Madzi: berwarna putih samar dan lengket, keluar sebab hasrat seksual, sebelum hasrat betul-betul sempurna.

Wadi: berwarna putih tebal dan keruh, keluar setelah kencing, atau ketika membawa barang bawaan yang berat.

Hukumnya:

Mani mewajibkan mandi, tidak membatalkan wudlu, dan hukumnya suci.

Madzi dan Wadi hukumnya seperti air kencing (membatalkan wudlu dan hukumnya najis).

Haid (wajib mandi setelah darah berhenti).

Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).

Melahirkan. Wajib mandi walaupun melahirkan berupa gumpalan darah atau gumpalan daging.

Mati.

Kewajiban-Kewajiban ketika Mandi Wajib, ada 2, yaitu:

Niat

Waktu niat: Ketika pertama kali membasuh badan.

Cara niat pada mandi wajib: niat dalam hati, dan disunnahkan untuk diucapkan dengan lisan, dengan mengatakan: “Aku niat menghilangkan hadats besar” (nawaitu raf’al hadatsil akbar), atau “aku niat mandi wajib” (nawaitu fardlal ghusli), atau “aku niat bersesuci untuk shalat” (nawaitut thaharah lis shalaati).

Jika wajib bagi seseorang untuk 2 mandi wajib sekaligus, seperti mandi sehabis bersetubuh (jima’) dan mandi karena keluar mani, maka cukup dengan satu niatan saja, misalnya dengan berniat, “aku niat mandi wajib”.

Dan jika wajib bagi seseorang mandi wajib dan mandi sunnah, seperti mandi sehabis bersetubuh dan mandi untuk Shalat Jum’at, maka dia diharuskan berniat untuk kedua-duanya, dengan berniat, “aku niat mandi wajib”, dan “aku niat mandi sunnah sebelum Shalat Jum’at”.

Meratakan air ke seluruh badan.

Karena itu orang yang mandi wajib hendaknya selalu memperhatikan bagian-bagian tubuh yang dikhawatirkan tidak terkena air, seperti ketiak, lipatan-lipatan perut, lobang telinga, bagian dalam antara dua pantat, lobang pusar, dan sebagainya.

Kesunnahan-Kesunnahan ketika mandi wajib, di antaranya:

Membaca “Bismillahirrahmanir rahim”.

Wudhu sebelum mandi.

Menghadap kiblat.

Berdiri.

Menggosokkan tangan ke seluruh tubuh.

Bersambung (tidak terputus-putus).

Mendahulukan bagian tubuh yang kanan dari yang kiri.

Mandi-mandi sunnah, antara lain:

Mandi untuk Shalat Jum’at.

Mandi hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Mandi hendak Shalat Istisqa (shalat mohon hujan).

Mandi hendak Shalat Gerhana Bulan.

Mandi hendak Shalat Gerhana Matahari.

Mandi sehabis memandikan mayat.

Mandi bagi orang kafir ketika masuk Islam.

Mandi bagi orang gila setelah sembuh.

Mandi bagi orang pingsan setelah sadar.

Mandi hendak ihram (haji atau umrah).

Mandi hendak masuk Makkah.

Mandi hendak wuquf (berhenti) di Arafah.

Mandi hendak bermalam di Mudzdalifah.

Mandi untuk melempar tiga jumrah.

Mandi untuk thawaf (qudum, ifadlah, dan wada’).

Mandi untuk sa’i (berjalan cepat pergi dan kembali antara bukit Shafa dan Marwah 7 kali).

Mandi untuk masuk Madinah Al Munawwarah.

Najis-Najis

Najis adalah setiap benda kotor yang bisa mencegah keabsahan shalat, selagi tidak ada keringanan (misal keringanan adalah najis-najis yang dimaafkan/di-ma’fu, seperti darah yang sangat sedikit, najis yang tidak bisa terlihat, dan sebagainya).

Hukum-hukum seputar najis:

Setiap benda cair yang keluar dari kedua jalan (seperti air kencing dan lain-lain, termasuk kotoran manusia dan binatang) adalah najis, kecuali air mani (sperma).

Wajib membasuh semua yang terkena air kencing dan kotoran, baik kotoran manusia atau binatang, kecuali yang terkena air kencing anak kecil laki-laki yang belum makan makanan selain air susu ibunya. Air kencing anak tersebut bisa disucikan cukup dengan diperciki air sampai merata membasahi tempat yang dikenainya (keterangan lengkap lihat pembahasan tentang macam-macam najis).

Benda-benda najis yang dimaafkan adalah darah dan nanah yang sangat sedikit. Juga binatang kecil yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat dan nyamuk (jika jatuh ke dalam tempat yang beirisi benda cair dan mati di dalamnya, maka binatang tersebut tidak menyebabkan benda cair itu najis).

Semua binatang suci, kecuali anjing, babi dan binatang yang diperanakkan dari anjing dan babi atau dari salah satunya (misalnya peranakan anjing dan kambing, maka anaknya itu najis).

Semua bangkai najis, kecuali bangkai ikan, belalang, dan mayat manusia.

Bulu hewan yang bisa dimakan (seperti kambing) setelah lepas dari tubuhnya adalah suci. Sebaliknya, bulu hewan yang tidak bisa dimakan (seperti kucing) setelah lepas dari tubuhnya adalah najis. Adapun sebelum lepas dari tubuhnya, maka hukum bulu tersebut ikut hukum tubuhnya (jika tubuh hewan itu suci maka bulu yang masih menempel di tubuhnya suci. Demikian juga sebaliknya, jika tubuh hewan itu najis, maka bulu yang masih menempel di tubuhnya najis).

Seluruh macam darah najis, kecuali 10 macam darah dihukumi suci, yaitu:

Hati

Minyak misik

Limpa

Darah yang ada dalam bangkai ikan

Darah yang ada dalam bangkai belalang

Darah yang ada dalam bangkai yang mati karena tertekan/terjepit

Darah yang ada dalam bangkai yang mati karena tertusuk panah.

Air mani yang keluar dalam bentuk darah

Susu yang keluar dalam bentuk darah

Janin (bayi).

Hukum air susu binatang yang bisa dimakan (seperti susu kambing, susu sapi) adalah suci. Sebaliknya, susu binatang yang tidak bisa dimakan (seperti susu kucing) adalah najis, kecuali susu manusia (manusia tak boleh dimakan, namun air susunya suci).

Hukum “basah-basah” pada kemaluan wanita, yaitu air bening yang mempunyai sifat antara air madzi dan keringat, keluar dari bagian luar dan bagian dalam kemaluan wanita, hukumnya terbagi menjadi 3 macam:

Jika keluar dari bagian kemaluan wanita yang wajib dibasuh ketika istinja’ (cebok), hukumnya suci secara pasti.

Jika keluar dari bagian paling dalam kemaluan wanita, hukumnya najis secara pasti.

Jika keluar dari bagian yang tidak wajib dibasuh ketika istinja’ (cebok), namun bukan berasal dari bagian yang paling dalam, suci menurut pendapat yang terkuat.

Macam-macam najis yang dimaafkan ada 4, yaitu:

Dimaafkan jika mengenai baju dan air: yaitu semua najis yang tidak dapat terlihat oleh mata.

Dimaafkan jika mengenai baju, tapi tidak dimaafkan jika mengenai air: seperti darah yang sedikit.

Dimaafkan jika mengenai air, tapi tidak dimaafkan jika mengenai baju: yaitu bangkai binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti lalat, nyamuk, semut, kutu, dan sebagainya.

Tidak dimaafkan sama sekali (tetap najis): yaitu semua najis selain yang disebutkan di atas.

Macam-Macam Najis dan Cara Menghilangkannya:

Najis Mughalladzah (Najis Berat)

Yaitu najis anjing, babi atau peranakan salah satunya. Cara menghilangkannya: setelah dihilangkan benda najisnya, dibasuh dengan 7 basuhan, salah satunya dengan debu.

Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)

Disebut sebagai najis ringan jika memenuhi 4 syarat, yaitu:

merupakan air kencing

dari anak laki-laki (bukan bayi perempuan)

umur anak laki-laki tersebut tidak lebih dari 2 tahun.

tidak pernah makan selain susu (adapun selain susu tapi bukan untuk makan, maka tidak mengapa, seperti minum minuman sebagai obat, dan sebagainya)

Jika salah satu syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka dihukumi sebagai najis mutawassithah (najis sedang).

Cara menghilangkan najis ringan/mukhaffafah adalah dengan cara memerciki air di tempat najis tersebut, sekira air percikan lebih banyak dari air kencing, dan dengan menghilangkan benda najis (air kencing tersebut) serta sifat-sifatnya (bau, warna, dan rasa).

Najis Mutawassithah (Najis Sedang)

Yaitu seluruh najis selain najis mughalladzah (berat) dan najis mukhaffafah (ringan). Najis mutawassithah dibedakan menjadi dua:

  1. Najis hukmiyah, yaitu yang tidak punya warna, tidak punya bau, dan tidak punya rasa. Cara mensucikannya: dengan mengalirkan air di tempat najis tersebut.
  2. Najis ‘ainiyyah, yaitu yang mempunyai warna, bau, dan rasa. Cara menghilangkannya: dibasuh dengan air hingga hilang warna, bau, dan rasanya.

Tayammum

Tayammum adalah meratakan debu ke wajah dan kedua lengan tangan, dengan niat tertentu.

Syarat-syarat tayammum ada 5 perkara:

Adanya halangan menggunakan air untuk berwudlu, misalnya karena bepergian atau sakit.

Telah masuk waktu shalat.

Berusaha mencari air (waktu mencari air harus setelah masuk waktu shalat).

Tidak bisa mendapatkan air, atau berhasil mendapatkannya, namun air tersebut diperlukan untuk yang lain, misalnya untuk minum.

Memakai tanah suci yang berdebu. Bila debu tersebut bercampur kapur, tepung, pasir, atau sebagainya, maka tidak bisa dipakai untuk tayammum.

Kewajiban-kewajiban dalam bertayammum, ada 5:

Memindah debu (dari tempatnya ke wajah dan kedua tangan, artinya dengan tidak, misalnya, menghadapkan wajah atau kedua tangan di tempat berhamburannya debu karena terpaan angin).

Niat. Dengan berniat: “saya niat bertayammum agar bisa mengerjakan shalat” (nawaitut tayammuma li ibaahatis shalaati). Waktu niat adalah mulai dari memindah debu hingga mengusapkannya ke muka.

Mengusap muka.

Mengusap kedua tangan sekaligus kedua siku.

Berurutan.

Sunnah-sunnah dalam bertayammum, ada 3:

Membaca “Bismillahirrahmanirrahim”.

Mendahulukan mengusap tangan kanan dari tangan kiri.

Bersambung (artinya, antara tiap-tiap pengusapan tidak berhenti).

Yang membatalkan tayammum ada 3:

Semua yang membatalkan wudlu.

Sebelum melaksanakan shalat, melihat air.

Murtad (keluar dari Islam).

Darah Haid, Nifas, dan Istihadhah

Ada 3 macam darah yang keluar dari kemaluan wanita, yaitu:

Darah haid (darah datang bulan).

Darah nifas.

Darah istihadhah.

Darah haid: darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam keadaan sehat, bukan karena bersalin, dan bukan darah penyakit.

Paling sedikit waktu haid adalah sehari semalam (24 jam). Dan paling banyaknya 15 hari. Umumnya 6 atau 7 hari.

Paling sedikit masa suci yang memisahkan antara dua haid adalah 15 hari.

Darah nifas: darah yang keluar setelah melahirkan.

Paling sedikit waktu nifas adalah sekejap mata. Paling banyaknya 60 hari (beserta malamnya). Umumnya 40 hari.

Hukum Wanita yang Sedang Haid atau Nifas:

Diharamkan bagi orang yang sedang haid atau nifas 8 macam:

Shalat.

Puasa.

Membaca Al-Qur’an.

Menyentuh dan membawa Al-Qur’an.

Masuk ke dalam masjid.

Thawaf.

Bersetubuh (melakukan hubungan suami istri).

Menikmati bagian tubuh antara pusar dan lutut.

Darah istihadhah: darah yang keluar pada selain hari-hari haid dan nifas.

Wanita yang mengeluarkan darah istihadhah hukumnya berbeda dengan wanita yang mengeluarkan darah haid atau nifas. Wanita yang mengeluarkan darah istihadhah tetap wajib shalat, shalatnya sah dan tidak perlu diqadla lagi. Jika datang bulan Ramadlan wajib untuk berpuasa, dan boleh bagi suaminya untuk menyetubuhinya walaupun disertai dengan keluarnya darah.

Wanita ber-istihadhah yang ingin melaksanakan shalat harus melakukan hal-hal sebagai berikut:

Membersihkan najis di tubuhnya, baik darah maupun najis-najis lain.

Kemudian menyumpal tempat keluarnya darah dengan kain atau yang lain, kecuali jika terasa sakit, atau sedang berpuasa, karena hal itu bisa membatalkan puasanya. Jika tidak cukup sumpalan itu, wajib untuk dibalut lagi di atasnya.

Setelah itu, dia harus segera berwudlu. Syarat wudlu tersebut harus setelah masuk shalat, dan dilakukan bersambungan tanpa berhenti.

Setelah itu, dia wajib bersegera untuk shalat, tidak boleh diundur-undur, kecuali jika pengunduran itu karena untuk kepentingan shalat, seperti menjawab adzan, atau shalat qabliyyah/sunnah sebelum shalat, dan lain-lain.

Haram bagi orang junub (berhadats besar) mengerjakan 5 hal:

Shalat.

Membaca Al-Qur’an.

Menyentuh dan membawa mushaf (Al-Qur’an).

Thawaf.

Berdiam di masjid.

Haram bagi orang yang berhadats kecil (orang yang kencing, kentut, dan sebagainya) mengerjakan 3 hal:

Shalat.

Thawaf.

Menyentuh dan membawa mushaf (Al-Qur’an).

BAB II

SHALAT

Syarat Wajib Shalat

Syarat-syarat yang mewajibkan shalat itu 3 hal:

Islam.

Baligh.

Seseorang dihukumi baligh jika didapati salah satu tanda:

Jika seseorang telah berumur 15 tahun qamariyyah/hijriyyah (meskipun belum bermimpi basah).

Atau bermimpi basah (sampai keluar air mani), baik dialami oleh laki-laki maupun perempuan yang telah berumur 9 tahun qamariyyah/hijriyyah (bulan Arab).

Atau telah keluar haid, bagi wanita yang telah berumur 9 tahun qamariyyah/hijriyyah (bulan Arab).

Berakal (tidak gila).

Syarat Sah Shalat

Shalat tidak sah kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat di bawah ini:

Telah masuk waktu shalat.

Menghadap kiblat.

Suci dari hadats kecil dan hadats besar.

Suci dari najis, baik yang ada di baju, badan, atau tempat shalat.

Menutup aurat.

Jika auratnya tersingkap ketika shalat, kemudian langsung ditutupi, maka shalatnya tetap sah. Adapun jika ditunda-tunda atau tidak segera ditutupi, maka shalatnya batal.

Mengetahui kefardluan/kewajiban hukum shalat. Jika dia bingung, shalat yang dikerjakannya wajib atau sunnah, maka shalatnya tidak sah.

Tidak menganggap hal yang wajib sebagai hal yang sunnah. Misalnya dengan menganggap hukum takbiratul ihram adalah sunnah, padahal hukum sebenarnya adalah wajib.

Rukun-Rukun Shalat

Rukun shalat terbagi menjadi 4 macam:

Rukun Qauliyah (Rukun Ucapan): ada 5. Dinamakan rukun ucapan karena orang yang shalat harus melafadzkannya dalam lisan sekira dia bisa mendengarnya sendiri. Kelima rukun ucapan itu adalah: takbiratul ihram, membaca surat Al Fatihah, tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW ketika tasyahhud akhir, dan salam.

Rukun Fi’liyyah (Rukun Perbuatan): ada 6, yaitu: berdiri, ruku’, i’tidal (berdiri setelah ruku’), sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahhud akhir.

Rukun Ma’nawi (bukan merupakan ucapan ataupun perbuatan): ada 1, yaitu mengurutkan urutan rukun-rukun sesuai urutannya.

Rukun Qalbiyyah (ada di hati): ada 1, yaitu niat.

Keterangan tentang Rukun-Rukun Shalat tersebut serta urutannya adalah sebagai berikut:

Niat.

Tempatya adalah hati. Adapun melafadzkannya dengan lisan adalah sunnah. Waktu niat adalah ketika takbiratul ihram.

Takbiratul Ihram.

Yaitu dengan mengucapkan “Allahu Akbar”.

Berdiri bagi orang yang mampu, pada shalat fardlu/wajib.

Berdiri tidak wajib ketika shalat sunnah (boleh duduk). Adapun dalam shalat wajib, tidak boleh duduk, kecuali bagi orang yang tidak mampu berdiri.

Membaca Al Fatihah.

Wajib membaca Surat Al Fatihah pada tiap rakaat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, baik oleh makmum, imam, atau orang yang shalat sendirian (tidak berjama’ah).

Ruku’.

I’tidal (berdiri setelah Ruku’).

Lamanya i’tidal tidak boleh melebihi ukuran bacaan yang dibaca ketika i’tidal (yaitu bacaan: Rabbana wa lakal hamdu mil-us samaawaati wa mil-ul ardli wa mil-u maa syikta min sya-in ba’du) dan ukuran membaca Surat Al Fatihah. Jika lebih dari itu, maka shalatnya batal, karena i’tidal adalah rukun pendek dalam shalat, yang disyariatkan sebagai pemisah antara ruku’ dan sujud. Karena itu tidak boleh terlalu dipanjangkan terlalu lama, kecuali i’tidal pada raka’at terakhir, maka boleh dipanjangkan, karena itu adalah tempat qunut.

 

Dua Sujud.

Tujuh bagian tubuh yang harus menempel ke tempat shalat ketika bersujud adalah dahi, kedua telapak tangan, dua lutut, dan telapak jari kedua kaki. Yang harus menempel adalah sebagian saja dari bagian-bagian tubuh tersebut. Misalnya dahi, yang harus menempel adalah sebagiannya saja, tidak harus seluruh dahi.

Duduk diantara Dua Sujud

Duduk diantara dua sujud juga merupakan rukun pendek seperti i’tidal, karena itu tidak boleh dipanjangkan terlalu lama, sekira melebihi ukuran bacaan yang dibaca ketika duduk tersebut (yaitu bacaan: Rabbighfirlii warhamnii wajburnii… dan seterusnya) dan ukuran bacaan tasyahhud yang terpendek (yaitu bacaan Attahiyyaatul mubaarakaatus shalawaatut thayyibaatu lillaah… dan seterusnya).

Tasyahhud Akhir

Bacaan tasyahhud akhir harus dengan bahasa Arab, jika tidak bisa, maka dengan terjemahannya. Huruf-huruf dalam bacaan tasyahhud akhir harus jelas, orang yang shalat harus pula memperhatikan tasydid-tasydid yang ada dalam bacaan tersebut.

Duduk ketika Tasyahhud Akhir.

Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Salam (yang wajib adalah salam pertama, sedang salam yang kedua adalah sunnah).

Berurutan.

Catatan: merupakan rukun shalat juga, adalah thuma’ninah (berhenti tanpa melakukan gerakan yang banyak atau yang bisa membatalkan shalat) pada masing-masing rukun di atas.

Udzur-Udzur Shalat

Udzur shalat adalah halangan-halangan yang memperbolehkan seseorang mengakhirkan shalat dengan tanpa berdosa. Udzur shalat ada 4, yaitu:

Tidur.

Tidur menjadi udzur shalat jika sesorang tidur sebelum waktu shalat. Adapun jika dia tidur setelah masuk waktu shalat, maka tidurnya tersebut tidak menjadi alasan dia boleh mengakhirkan shalat. Kecuali jika telah menjadi kebiasaannya untuk bangun sebelum waktu shalat habis, atau telah berpesan kepada orang yang dipercayainya untuk membangunkannya sebelum habis waktu shalat.

Lupa

Lupa menjadi udzur shalat jika sebabnya adalah perkara yang boleh. Adapun jika sebabnya adalah perkara yang makruh atau yang haram, maka tidak dianggap sebagai udzur shalat.

Men-jama’ (mengumpulkan dua shalat)

Artinya: mendahulukan shalat dari waktunya, atau mengakhirkannya, karena di-jama’ (digabungkan dengan shalat yang lain), dengan alasan bepergian atau sakit. Contoh: Shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur (taqdim/mendahulukan), atau Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Ashar (ta’khir/mengakhirkan), dengan syarat-syarat tertentu.

Dipaksa

Termasuk udzur shalat adalah apabila seseorang dipaksa dengan disertai ancaman untuk melakukan shalat di luar waktunya, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:

Adanya kemampuan orang yang memaksa untuk melakukan ancaman yang dikeluarkannya.

Ketidakmampuan orang yang dipaksa untuk menghindari ancaman yang ditujukan padanya.

Adanya sangkaan dari orang yang dipaksa bahwa jika dia tidak menuruti, maka orang yang memaksa akan benar-benar melakukan ancamannya.

Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa orang yang dipaksa melakukan itu karena pilihan atau kehendaknya sendiri (misalnya dengan tujuan agar dia mempunyai alasan untuk bisa mengakhirkan shalat).

Hal-Hal yang Membatalkan Shalat

Yang membatalkan shalat ada 11 hal:

Berkata dengan sengaja.

Mengerjakan sesuatu yang banyak (yang bukan pekerjaan shalat).

Hadats besar (misalnya: keluar darah haid) atau hadats kecil (misalnya: kentut).

Kejatuhan najis.

Terbuka auratnya.

Mengubah niat.

Membelakangi kiblat.

Makan.

Minum.

Berdehem (kecuali karena terpaksa).

Murtad (keluar dari Islam).

Waktu-Waktu yang Diharamkan untuk Shalat

Waktu-waktu yang diharamkan untuk shalat ada 5, yaitu:

Mulai terbitnya matahari hingga naik seukuran tombak (sekitar 16 menit).

Ketika matahari pas di atas kepala/pas di tengah langit, hingga bergeser sedikit (waktunya sebentar saja).

Sejak langit menguning di sore hari hingga matahari terbenam.

Setelah melakukan Shalat Subuh hingga matahari terbit

Setelah melakukan Shalat Ashar hingga matahari terbenam.

Namun ada pengecualian, di mana shalat tidak diharamkan untuk dilakukan pada di lima waktu tersebut, yaitu:

Shalat Qadla

Shalat Sunnah yang didahului oleh sebab, seperti: shalat sunnah setelah wudlu, shalat tahiyyat masjid, dan sebagainya.

Shalat sunnah yang sebabnya bersamaan, seperti: shalat Kusuf (Gerhana Matahari), shalat khusuf (Gerhana Bulan).

Kewajiban Menutup Aurat

Aurat adalah bagian tubuh yang wajib ditutup dan haram untuk dilihat.

Syarat Alat Penutup aurat:

Menutupi bagian tubuh dengan cara dipakaikan (dalam bentuk pakaian). Dengan demikian tidak cukup dengan hanya masuk di lobang atau ruangan gelap.

Bisa menghalangi warna kulit dari penglihatan.

Aurat Laki-laki:

Ketika sendirian adalah kemaluan depan dan kemaluan belakang.

Ketika shalat, atau pada wanita semahram (keterangan tentang mahram lihat hal 4), dan kaum laki-laki secara umum adalah bagian antara pusar dan lutut.

Pada wanita yang bukan semahram adalah seluruh badan

Untuk istrinya: boleh dilihat semua.

Aurat wanita:

Ketika sendirian, atau pada wanita dan orang laki-laki semahram adalah antara pusar dan lutut.

Pada wanita fasiq dan wanita-wanita kafir adalah yang tidak tampak ketika bekerja, dengan demikian yang biasa tampak ketika berkerja bukanlah aurat pada wanita fasiq dan wanita-wanita kafir, yaitu: kepala, wajah, leher, kedua tangan hingga lengan, kedua kaki hingga lutut (selain bagian-bagian ini adalah aurat). Wanita fasiq (jahat) dan wanita kafir dikhususkan dalam hal ini, sehingga ada batasan-batasan khusus bagian tubuh yang boleh diperlihatkan pada mereka, karena ditakutkan mereka menceritakan aurat seorang wanita muslimah kepada laki-laki kafir.

Dalam shalat: seluruh badan kecuali wajah dan kedua tangan (sampai pergelangan).

Kepada laki-laki yang bukan mahram: seluruh badan. Adapun wajah dan kedua tangan, menurut satu pendapat, bukan termasuk aurat, artinya boleh dibuka dengan syarat aman dari fitnah dan tidak mengundang syahwat orang yang melihatnya, serta tidak ada perhiasan di wajah dan tangan tersebut. Jika tidak aman dari fitnah dan mengundang syahwat orang lain, maka tidak boleh dibuka.

Untuk suaminya: boleh dilihat semua.

BAB III

PUASA

Fadhilah Puasa

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ .

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap (ridha) Allah, niscaya ia akan diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda:

بُعداً لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، إِذَا لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِيْهِ؛ فَمَتَى؟

“Sangat rugi bagi orang yang mendapati bulan Ramadhan namun ia tidak diampuni. Kalau ia tidak diampuni di bulan itu, lalu kapan?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan al-Thabrani)

Rasulullah saw bersabda:

قال الله عز وجل: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.

“Allah swt berfirman, ‘Setiap perbuatan ibnu Adam (manusia) adalah baginya, kecuali berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.’ Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا.

“Tidak ada dari seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun (jarak tempuh perjalanan selama tujuh puluh tahun, penj), sebab (puasa) di hari itu.” (HR. Muslim)

Ibnu Rajab menyebutkan, sampainya seseorang pada bulan Ramadhan dan kesempatan berpuasa di bulan itu adalah nikmat besar yang telah dikaruniakan oleh Allah swt. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Nabi Muhammad saw tentang tiga orang yang dua di antaranya menjadi syahid (gugur di medang perang karena membela agama Allah, penj). Kemudian orang ketiga meninggal dunia di atas tempat tidurnya (bukan syahid, penj). Maka dilihat dalam mimpi bahwa orang ketiga ini mendahului kedua temannya. Sahabat menanyakan hal itu. Maka Nabi saw bersabda:

أَلَيْسَ بَعْدَهُمَا كَذَا وَكَذَا صَلاَة، وَأَدْرَكَ رَمَضَانَ فَصَامَهُ، فَوَالّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنَّ بَيْنَهُمَا لَأَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ.

“Bukankah setelah keduanya (dua orang syahid, penj) ada sekian-sekian shalat, dan ia (orang ketiga) mendapati bulan Ramadhan dan ia berpuasa di dalamnya. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya antara keduanya pasti lebih jauh dari pada jarak langit dan bumi.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Hibban)

Pengertian Puasa

Puasa adalah menahan diri dari semua hal yang bisa membatalkannya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat khusus.

 

Hukum Meninggalkan Puasa Ramadhan

Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. البقرة 183

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Hukum orang yang meninggalkan puasa Ramadhan, seperti hukum orang yang meninggalkan shalat. Jika dia meninggalkan karena mengingkari hukumnya yang wajib, maka dia dihukumi kafir. Demikian pula dengan rukun Islam yang lain (zakat, haji, dan sebagainya).

Jika meninggalkan puasa karena malas dan menganggap remeh, sebagian ulama tidak menghukuminya kafir, namun dianggap tidak lengkap Islamnya, karena Rasulullah saw mengibaratkan Islam seperti bangunan yang dibangun di atas lima penyangga. Jika lengkap kelima penyangga tersebut, bangunan akan kokoh. Jika kurang lengkap, bangunan akan mudah roboh. Rasulullah saw bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَة أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَام الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً .متفق عليه

“Islam dibangun di atas lima penyangga: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke baitullah bagi yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang meninggalkan puasa, hakim atau pemerintah wajib memerintahkannya untuk bertaubat dan memberinya sanksi. Jika tidak mau bertaubat, dalam hukum Islam, orang tersebut dipenjara dan tidak diberi makan dan minum sampai terbenamnya matahari (Maghrib). Orang tersebut tidak dihukumi kafir, namun dikhawatirkan akhir hayatnya mati dalam keadaaan su-ul khatimah. Na’udzubillah…

Rasulullah saw bersabda:

بَيْنا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعيَّ فَأَتَيَا بِي جَبَلاً وَعِراً، فَقَالاَ: اصْعدْ. فَقَلْتُ: إِنِّي لاَ أُطِيْقُهُ. فَقَالاَ: إِنَّا سَنُسهِلُهُ لَكَ. فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ، قُلْتُ: مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ؟ قَالُوْا: هَذَا عوَاءُ أَهْلِ النَّارِ. ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيْبِهِمْ، مُشَقَّقَةً أَشْدَاقِهِمْ، تُسِيْلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قاَلَ: هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ. رواه ابن خزيمة

“Ketika tidur, aku bermimpi didatangi dua orang membawa pundakku. Keduanya membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, Naiklah! Aku menjawab, “Aku tidak mampu.” Keduanya mengatakan, “Kami akan membantu memudahkanmu.” Maka aku mendaki, ketika sampai di puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara melengking keras. Aku bertanya: “Suara apa itu? Mereka menjawab, “Itu adalah suara penghuni neraka.” Kemudian dia berangkat lagi membawaku, ternyata aku dapati suatu kaum yang bergantungan, tubuhnya mulutnya pecah dan mengeluarkan darah. Saya bertanya, ”Siapa mereka?” Dia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum dibolehkan (waktunya) berbuka puasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Hukum-Hukum Puasa

Puasa mempunyai 4 (empat) macam hukum:

Wajib, yaitu dalam 6 macam puasa:

Puasa Ramadhan

Puasa Qadla

Puasa Kaffarah/penebus [seperti kaffarah dzhihar (menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya), atau kaffarah sebab berhubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan].

Puasa saat haji dan umrah, sebagai ganti dari menyembelih hewan ternak dalam pembayaran fidyah.

Puasa dalam ritual shalat Istisqa (shalat memohon turunnya hujan), jika diperintahkan oleh pemerintah.

Puasa nadzar.

Sunnah, terbagi menjadi 3 (tiga) macam:

Terulang tiap tahun, seperti puasa hari Arafah, puasa Tasu’a (tanggal 9), ‘Asyura (tanggal 10), dan tanggal 11 bulan Muharram, puasa 6 hari di bulan Syawwal, puasa pada bulan-bulan suci (yaitu bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab), puasa 10 hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, dan sebagainya.

Tidak terulang tiap tahun, seperti puasa al ayyam al biidh (“hari-hari putih”, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriyyah), dan puasa al ayyam as suud (“hari-hari hitam”, yaitu tanggal 28, 29, dan 30 pada tiap bulan hijriyyah).

Terulang tiap minggu, seperti puasa hari Senin dan Kamis.

Catatan:

Puasa sunnah yang paling afdhal adalah puasa Nabi Dawud, yaitu satu hari puasa satu hari tidak.

Makruh, seperti puasa hari Jum’at saja, atau Sabtu saja, atau Ahad saja. Tidak makruh, jika digabung dengan yang lain, misalnya Jum’at dengan Sabtu, atau Sabtu dengan Ahad, atau 3 hari berturut-turut (Jum’at, Sabtu, dan Ahad). Makruh juga puasa tiap hari sepanjang tahun (puasa dahr) bagi orang yang khawatir puasa tersebut dapat membahayakan dirinya.

Haram, terbagi menjadi 2 (dua) bagian:

Haram namun puasanya sah, yaitu puasanya seorang istri tanpa seizin suaminya, dan puasanya seorang budak sahaya tanpa seizin tuannya.

Haram dan puasanya tidak sah, dalam 5 (lima) kasus:

Puasa saat hari Raya Idul Fitri (1 Syawwal)

Puasa saat hari Raya Idul Adha (10 Dzul Hijjah)

Puasa saat hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzul Hijjah.

Puasa separuh terakhir di bulan Syakban, yaitu tanggal 16, 17, 18 sampai akhir bulan Syakban.

Puasa hari syak (ragu), yaitu puasa hari ke-30 pada bulan Syakban, jika sudah ramai dibicarakan tentang terlihatnya bulan/hilal.

Catatan:

– Kapankah boleh berpuasa pada hari syak (30 Syakban) atau pada separuh terakhir bulan Syakban?

Boleh dalam 3 (tiga) hal:

Jika puasanya merupakan puasa wajib, seperti puasa qadla, kaffarah atau nadzar.

Jika dia punya kebiasaan puasa sunnah, seperti puasa hari Senin dan Kamis. Sudah dihukumi menjadi kebiasaannya meskipun baru satu kali berpuasa sunnah tersebut.

Jika separuh terakhir pada bulan tersebut sambung dengan hari sebelumnya, contohnya, seseorang berpuasa pada tanggal 15 Syakban, maka boleh baginya puasa tanggal 16. Jika boleh puasa tanggal 16, maka boleh baginya puasa tanggal 17, dan seterusnya sampai akhir bulan. Namun jika terputus dengan tidak puasa 1 hari, misalnya tanggal 18 Syakban kemudian dia tidak berpuasa, maka tanggal 19 dan seterusnya dia tidak boleh berpuasa lagi.

Syarat Sah Puasa

Artinya, jika sudah terpenuhi syarat-syarat 4 (empat) di bawah ini sah puasanya, yaitu:

Islam

Dengan demikian dia harus terus dalam keadaan Islam sepanjang siang, jika sampai murtad/keluar dari agama Islam, –na’udzubillah– meskipun hanya sekejap, maka puasanya batal. Allah swt berfirman:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ .الزمر65.

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Al-Zumar: 65)

Berakal

Disyaratkan sepanjang hari itu dia harus terus dalam keadaan berakal. Jika seumpama sekejap saja dia gila, maka puasanya batal. Adapun hilangnya akal karena pingsan atau mabuk, akan dibahas secara terperinci pada pembahasan tentang hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

Tidak haid atau nifas.

Dengan demikian, bagi orang wanita yang ingin berpuasa, dia harus suci dari haid dan nifas sepanjang siang. Jika keluar darah haid pada akhir siang (meskipun waktu berbuka tinggal sekejap saja), maka puasanya batal. Begitu juga jika dia suci/terputus haidnya di siang hari, kemudian dia berniat puasa, maka puasanya tersebut tidak sah, namun disunnahkan baginya untuk menahan diri dari hal yang bisa membatalkan puasa (dengan tanpa niat untuk berpuasa). Rasulullah saw bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا .رواه البخاري

“Bukankah jika seorang wanita haid, ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari)

Mengetahui bahwa di hari itu dia boleh berpuasa.

Artinya, bukan di hari yang dilarang untuk berpuasa, sebagaimana telah dibahas.

Syarat Wajib Puasa

Artinya, jika sudah terpenuhi 5 (lima) syarat ini, seseorang wajib berpuasa, yaitu:

Islam

Dengan demikian, orang kafir tidak dituntut di dunia untuk berpuasa. Adapun orang murtad, dia wajib meng-qadla puasa yang ditinggalkan saat dia murtad, jika dia sudah kembali lagi masuk Islam.

Mukallaf

Yaitu baligh dan berakal. Adapun anak kecil, wajib bagi walinya (orang tua, kakek, dan sebagainya) untuk menyuruhnya berpuasa saat dia berumur 7 tahun. Jika sudah berumur 10 tahun tidak mau berpuasa, sang wali wajib memukulnya jika hal tersebut memungkinkan.

Mampu

Baik secara indrawi maupun syar’i. Mampu secara indrawi maksudnya bukan orang yang sakit parah, atau sulit sembuh, atau sangat tua. Mampu secara syar’i, artinya bukan orang yang sedang haid atau nifas.

Allah berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ. البقرة 184

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Sehat

Karena itu orang yang sakit tidak wajib berpuasa.

Ukuran sakit yang menjadikannya boleh tidak berpuasa: sekira jika tetap berpuasa, dikhawatirkan sakitnya tambah parah, atau sembuhnya menjadi lama. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:

هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيْرُ وَالمَرْأَةُ الكَبِيْرَةُ لاَ يَسْتَطِيْعَانِ أَنْ يَصُوْمَا: فَلْيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْن. رواه البخاري

“Dia (orang yang membayar fidyah, penj) adalah orang laki-laki atau perempuan lanjut usia, keduanya tidak mampu berpuasa, maka keduanya memberi makan (untuk) setiap harinya satu orang miskin.” (HR. Bukhari)

Muqim

Dengan demikian, puasa tidak wajib bagi orang yang sedang bepergian jauh (minimal 82 KM) dan perjalanannya merupakan perjalanan yang mubah/boleh, bukan untuk maksiat. Disyaratkan pula, dia berangkat sebelum terbitnya fajar. Dalilnya adalah Surat al-Baqarah ayat 184 di atas.

Hukum yang afdhal bagi musafir adalah tetap berpuasa, jika tidak membahayakan dirinya. Jika membahayakan, maka diutamakan untuk tidak berpuasa.

Rukun-Rukun Berpuasa

Ada 2 (dua), yaitu:

Niat, baik puasa sunnah maupun puasa wajib. Niat wajib untuk dilakukan setiap hari. Dan disunnahkan pada awal bulan Ramadhan untuk berniat puasa selama sebulan.

Niat puasa wajib, harus dilakukan pada malam hari. Waktunya sejak matahari terbenam (maghrib) dan berakhir hingga terbenamnya fajar (subuh). Rasulullah saw bersabda:

مَنْ لَمَ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

“Barangsiapa tidak mengumpulkan (berniat) puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya (puasanya tidak sah, penj).” (HR. Turmudzi dan Nasai)

Adapun niat puasa sunnah, waktunya berakhir hingga waktu dzuhur. Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ. صحيح مسلم

“Nabi saw masuk ke rumahku pada suatu hari, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah kalian memiliki sesuatu (untuk dimakan?’ Kami jawab, ‘Tidak.’ Beliau lalu berkata, ‘Kalau demikian, aku berpuasa.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, niat puasa sunnah, sah dilakukan meski setelah terbitnya fajar, namun dengan 2 (dua) syarat:

Niat tersebut dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur.

Sejak terbitnya fajar sampai masuk waktu Dzuhur tidak melakukan sesuatu pun yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan sebagainya.

Lafadz niat adalah:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى.

Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa-i fardli syahri Ramadlaana haadzihis sanati fardlan lillaahi ta’aala” (saya niat berpuasa besok untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala).

Perbedaan antara niat puasa wajib dengan niat puasa sunnah:

No Niat Puasa Wajib Niat Puasa Sunnah
1 Masuk waktunya sejak terbenamnya matahari (waktu Maghrib) sampai terbitnya fajar, dengan demikian wajib niat di malam hari. Masuk waktunya sejak terbenamnya matahari (waktu Maghrib) sampai bergesernya matahari di siang hari (waktu dzhuhur), dengan demikian tidak wajib niat di malam hari.
2 Wajib menentukan jenis puasanya, seperti puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar, atau puasa qadla Tidak wajib menentukan jenis puasanya, kecuali jika puasa sunnahnya merupakan puasa yang waktunya tertentu, seperti puasa hari Arafah
3 Tidak boleh menggabungkan 2 puasa fardlu dalam satu hari, misalnya niat puasa nadzar dan niat puasa qadla Ramadlan. Boleh menggabungkan 2 puasa sunnah atau lebih dalam satu hari, misalnya niat puasa hari Senin dan niat puasa hari Arafah sekaligus (seumpama harinya bertepatan).

Catatan:

Dalam kasus yang bagaimanakah, sah puasa sunnah dengan niat yang dilakukan setelah terbitnya fajar, meskipun telah melakukan hal yang dapat membatalkan puasa (telah makan, atau minum, dan sebagainya)?

Contohnya adalah jika sudah menjadi kebiasaan seseorang berpuasa sunnah pada hari tertentu, seperti hari Senin atau hari Arafah. Kemudian di hari itu dia lupa dan makan di pagi hari misalnya, setelah itu dia ingat bahwa hari itu adalah hari Senin atau hari Arafah, maka sah niatnya dengan syarat dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur.

Meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

Allah swt berfirman:

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ. البقرة 187.

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Namun tidak batal jika hal-hal itu dilakukan karena lupa, atau dipaksa, atau karena tidak tahu, yang ketidaktahuannya karena udzur.

Sedang ketidaktahuan seseorang dianggap udzur jika:

Hidup jauh dari ulama.

Baru masuk atau mengenal Islam.

Waktu Wajib Puasa Ramadhan

Wajib Puasa Ramadhan setelah didapati salah satu dari 5 (lima) hal. Dua hal bersifat umum, dan tiga hal bersifat khusus.

Adapun dua hal yang bersifat umum adalah:

Setelah sempurnanya bulan Sya’ban 30 hari.

Rasulullah saw bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً. متفق عليه

“Berpuasalah karena kalian melihat hilal dan berbukalah karena kalian melihatnya. Jika hilal tertutup bagi kalian, maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

Terlihatnya bulan/hilal dengan persaksian dari seorang yang adil (bukan fasiq), lelaki, merdeka, rasyid (bijaksana), tidak tuli, tidak buta, sadar, tidak melakukan dosa besar, tidak punya kebiasaan selalu melakukan dosa kecil, taatnya lebih banyak dari pada maksiatnya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata:

تَرَاءَي النَّاسُ الهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُوْلَ اللهِ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ. صحيح أبي داود.

“Orang-orang melihat hilal, kemudian aku memberitahu Rasulullah bahwa aku melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa.” (Shahih Abi Dawud)

Maksud “bersifat umum” adalah: wajib puasa bagi seluruh penduduk wilayah tersebut, juga bagi orang yang berada dalam satu mathla’ (terbit dan terbenamnya matahari waktunya sama), ini menurut pendapat Imam Nawawi. Sedang menurut Imam Rafi’i, wajib atas penduduk yang berada di wilayah tersebut dan juga penduduk yang berada sampai sepanjang jarak qashar (82 Km).

Adapun tiga hal yang bersifat khusus adalah:

Dengan melihat hilal, maka wajib bagi orang tersebut untuk berpuasa, meski dia orang yang fasiq.

Seseorang diberitahu tentang terlihatnya hilal. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan:

Jika pembawa berita adalah orang yang dapat dipercaya, wajib puasa di hari itu, baik yang menerima berita yakin dengan kebenaran beritanya atau tidak.

Jika pembawa berita bukan orang yang dapat dipercaya, maka tidak wajib puasa hari itu, kecuali jika si penerima berita yakin dengan kebenaran beritanya.

Dengan sangkaan yang merupakan hasil ijtihad, seperti mendengar semacam petasan atau ‘blenggur’ yang biasanya digunakan untuk menandai masuknya bulan Ramadhan.

Permasalahan-Permasalahan Penting tentang Terlihatnya Hilal

Seseorang mendapat berita dari orang yang dia yakini kebenaran beritanya, bahwa hilal telah terlihat, kemudian dia berpuasa Ramadhan. Setelah 30 hari berpuasa Ramadhan, hilal untuk menandai berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya bulan Syawwal tidak kunjung terlihat juga, apakah boleh dia tidak berpuasa pada hari ke-31, walaupun hilal saat itu tidak terlihat?

Menurut Imam Ramli, dia boleh tidak berpuasa, namun dengan cara yang tidak ditampak-tampakkan di depan umum. Sedang menurut Imam Ibnu Hajar, dia tetap wajib berpuasa.

Jika seseorang melakukan perjalanan, berangkat dari daerahnya di akhir bulan Syakban dan dia dalam keadaan tidak berpuasa karena di daerahnya hilal belum terlihat. Setelah sampai di daerah tujuan, dia mendapati penduduk daerah tersebut sedang berpuasa karena di wilayah tersebut hilal telah terlihat, bagaimanakah hukumnya? Atau sebaliknya, dia bepergian dalam keadaan berpuasa karena di daerahnya hilal telah terlihat, kemudian di daerah tujuan, penduduknya belum berpuasa, bagaimanakah hukumnya?

Dalam kasus pertama, jika orang tersebut mendapati mereka sedang berpuasa, maka orang tersebut wajib pula berpuasa seperti penduduk daerah tersebut. Sedang dalam kasus kedua, jika orang tersebut mendapati mereka belum berpuasa, menurut Imam Ramli dia membatalkan puasanya. Sedang menurut Imam Ibnu Hajar, dia tidak boleh membatalkan puasanya, karena puasanya tersebut dibangun atas keyakinan terlihatnya hilal, maka dia tidak boleh melanggar keyakinannya tersebut.

Jika seseorang melakukan perjalanan dari wilayahnya pada akhir bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa, karena hilal belum terlihat, atau sebaliknya, dia sudah tidak berpuasa lagi karena hilal telah terlihat. Setelah sampai di daerah tujuan, dia mendapati penduduknya sudah tidak berpuasa sedang dirinya masih berpuasa, atau sebaliknya, dia mendapati penduduk daerah tersebut masih berpuasa, sedang dirinya sudah tidak berpuasa, bagaimanakah hukumnya?

Dalam dua contoh kasus di atas, menurut pendapat terkuat, dia wajib mengikuti apa yang dilakukan oleh penduduk daerah tersebut, karena saat itu dia menjadi bagian penduduk daerah tersebut.

Sunnah-Sunnah Berpuasa dan Bulan Ramadhan

Mempercepat (ta’jil) buka puasa jika sudah yakin masuk waktu berbuka (yakni terbenamnya matahari). Jika ragu, maka dia harus berhati-hati dengan menunda sebentar buka puasa sampai merasa yakin dengan masuknya waktu berbuka. Rasulullah saw bersabda:

لَاتَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الفِطْرَ. متفق عليه

“Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbukanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sahur, walaupun dengan seteguk air. Masuk waktu sahur mulai pertengahan malam. Rasulullah saw bersabda:

تَسَحَّرُوْا وَلَوْ بِجُرْعَةِ مَاءٍ. صحيح

“Bersahurlah walaupun dengan seteguk air.” (Shahih)

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً. متفق عليه

“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu ada barakah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِكُمْ وَبَيْنَ صِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحرِ .رواه أحمد في المسند

“Pembeda antara puasa kalian dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Ahmad dan al-Musnad)

Mengakhirkan sahur di akhir malam. Disunnahkan untuk berhenti makan sebelum terbitnya fajar seukuran membaca 50 ayat (seperempat jam). Hal ini berdasarkan hadits riwayat Zaid:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْر خَمْسِيْنَ آيَة. متفق عليه

“Kami sahur bersama Nabi saw kemudian beliau berdiri untuk shalat. Aku (perawi) bertanya, ‘Berapakah waktu itu jarak antara adzan dan sahur? Zaid menjawab, ‘Seukuran (membaca) 50 ayat (al-Qur’an).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berbuka dengan ruthab (kurma muda), jika tidak ada maka dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air zamzam, jika tidak ada maka dengan air biasa, jika tidak ada maka dengan makanan manis yang masak tanpa menggunakan api (seperti madu atau kismis), jika tidak ada maka makanan manis yang masak dengan api. Diriwayatkan bahwa Nabi saw:

يفْطرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسا حَسَوَاتٍ مِنَ المَاءِ. صحيح أبي داود

“Berbuka dengan beberapa ruthab (kurma basah) sebelum shalat. Jika tida ada ruthab, beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Jika tidak ada maka beliau berbuka dengan air.” (Shahih Abu Dawud)

Berdoa saat berbuka, lafadz yang terpendek adalah: “Allahumma laka shumtu, wa bika aamantu, wa ‘ala rizqika afthartu”.

Selain teks doa di atas, terdapat riwayat lain tentang doa Rasulullah. Disebutkan bahwa Nabi saw jika berbuka, membaca doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوْقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ. صحيح أبي داود

“Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan telah pasti pahala (puasa) insya Allah.” (Shahih Abu Dawud)

Terkait fadhilah doa saat berpuasa, Rasulullah saw bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يفْطرُ وَالإِمَامُ العَادِلُ وَدَعْوَةُ المَظْلُوْمِ. صحيح الترمذي

“Tiga orang yang doanya tidak ditolak: Orang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terdzalimi.” (Shahih al-Turmudzi)

Memberi makan untuk orang yang berbuka.

Jika berhadats besar, disunnahkan mandi janabah/mandi besar sebelum terbit fajar. Aisyah meriwayatkan:

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ. متفق عليه

“Bahwa Nabi saw pernah memasuki waktu fajar dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mandi di malam hari setiap ba’da Maghrib di bulan Ramadhan, supaya lebih giat untuk qiyamul lail (tarawih, tadarrus, dan lain-lain).

Melaksanakan shalat Tarawih selama bulan Ramadhan.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. متفق عليه

“Barangsiapa menghidupkan (malam Ramadhan) karena iman dan mengharap (ridha Allah), maka akan diampuni baginya dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Senantiasa melaksanakan shalat Witir. Shalat Witir pada bulan Ramadhan mempunyai kekhususan hukum yaitu:

Disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah.

Disunnahkan bagi imam untuk memperkeras bacaan.

Disunnahkan untuk membaca qunut pada separuh kedua bulan Ramadhan.

Memperbanyak bacaan Al-Qur’an.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالخَيْرِ وَأَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَيُعْرِضُ عَلَيْهِ القُرْآنَ. رواه البخاري

“Rasulullah adalah orang yang paling baik dalam melakukan kebaikan dan paling baik dalam Ramadhan saat ditemui oleh Jibril dan ia membacakan al-Qur’an kepada Nabi.” (HR. Bukhari)

Memperbanyak melakukan kesunnahan-kesunnahan, seperti shalat Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, dan sebagainya.

Memperbanyak amal-amal shalih, seperti shadaqah, shilaturrahmi, menghadiri majlis taklim/pengajian, i’tikaf, umrah, menjaga hati dan anggota tubuh dari perbuatan maksiat, memperbanyak doa, dan sebagainya.

Lebih meningkatkan semangat ibadah pada 10 hari terakhir, mengejar lailatul qadar pada malam-malam tersebut, terutama pada tanggal-tanggal ganjilnya. Diriwayatkan dari Aisyah ra:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ العَشْرَ الأَوَاخِرَ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ المَئْزَرَ. متفق عليه

“Bahwa Nabi saw jika memasuki 10 hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malam, membangunkan istri beliau, dan meninggalkan hubungan suami istri (untuk dipergunakan ibadah). (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih memperbanyak dalam menafkahi keluarganya.

Meninggalkan banyak bergurau, terutama yang mengandung ejekan. Jika diejek oleh seseorang, harus segera ingat bahwa dirinya sedang berpuasa.

فَإِنْ امُرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ. رواه مسلم

“Jika seseorang menghina atau menengkarinya, maka hendaknya orang yang berpuasa itu mengatakan. ‘Sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa.” (HR. Muslim)

Hal-Hal yang Dimakruhkan dalam Berpuasa, ada 8 (delapan):

Mengunyah sesuatu tanpa ada yang sampai ke tenggorokan (jika ada yang sampai ke tenggorokan, puasanya batal).

Mencicipi makanan tanpa ada perlunya, (dengan syarat tidak ada makanan yang sampai ke tenggorokan, jika ada, puasanya batal). Adapun jika ada hajat, seperti untuk merasakan makanan, hukumnya tidak makruh. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ أَوْ الشَّيْءَ مَالَمْ يَدْخُلْ حلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ. رواه ابن أبي شيبة بسند حسن

“Tidak mengapa ia mencicipi cuka atau sesuatu, selama (benda itu) tidak masuk ke tenggorokannya dan ia dalam keadaan berbuasa.” (HR. Ibnu Syaibah dengan sanad hasan)

Hijamah (cantuk), yaitu mengeluarkan darah kotor, karena bisa menyebabkan tubuh menjadi lemah. Diriwayatkan dari Tsabit al-Bunani bahwa ia bertanya kepada Anas:

أَكُنْتُمْ تكْرهُوْنَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: لاَ, إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ. رواه البخاري

“Apakah dulu di zaman Rasulullah saw, kalian memakruhkan hijamah (cantuk) bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali bila menyebabkan tubuh lemah.” (HR. Bukhari).

Demikian pula dengan hukum donor darah. Hukumnya boleh, kecuali bila dapat menyebabkan tubuh menjadi lemah.

Membuang (Jawa: nglepeh) air dari mulut saat berbuka, karena bisa menghilangkan barakah puasa.

Mandi dengan cara berendam, walaupun mandinya merupakan mandi wajib.

Siwak/gosok gigi setelah Dzuhur, karena bisa menghilangkan bau mulut. Menurut Imam Nawawi, hukumnya tidak makruh.

Terlalu kenyang saat berbuka atau sahur, dan banyak tidur, serta melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Karena hal tersebut bisa menghilangkan hikmah puasa.

Melakukan keinginan-keinginan yang mubah (boleh), yang biasanya dilakukan oleh indra penciuman (hidung), indra penglihatan (mata), indra pendengaran (telinga), dan sebagainya.

Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Puasa, terbagi menjadi 2 (dua) macam:

Membatalkan pahala puasa, ada 6 (enam):

Ghibah, yaitu menyebutkan sesuatu tentang seseorang ketika orang tersebut tidak ada, sekiranya dia mendengar, dia akan merasa tidak suka, walaupun isi pembicaraan itu benar adanya.

Namimah, yaitu menyebarkan berita dengan tujuan terjadinya fitnah.

Bohong.

Melihat sesuatu yang diharamkan, atau melihat sesuatu yang halal namun dengan syahwat.

Sumpah palsu.

Berkata keji, atau melakukan perbuatan keji.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَة فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. رواه البخاري

“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan keji, maka tidak ada perlunya bagi Allah, orang itu meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)

Membatalkan puasa, baik membatalkan pahalanya maupun puasa itu sendiri (karenanya wajib qadla):

Murtad, yakni keluar dari Islam, baik dengan niat dalam hati, perkataan, perbuatan, walaupun perbuatan murtad tersebut sekejap saja.

Haid, nifas, atau melahirkan, walaupun sekejap saja di siang hari.

Gila, walaupun sebentar saja.

Pingsan dan mabuk (jika memakan waktu sepanjang siang). Adapun jika siuman, walaupun sebentar saja, menurut Imam Ramli sah puasanya. Menurut Ibnu Hajar, batal puasanya jika mabuknya disengaja, walaupun cuma sebentar.

Berhubungan badan, dengan sengaja, tahu bahwa hukumnya haram, dan tidak dipaksa.

Jika seseorang ‘merusak’ puasanya di bulan Ramadhan, di siang hari, dengan berhubungan badan ‘secara sempurna’ (masuknya kemaluan laki-laki ke kemaluan wanita), dengan melakukan itu dia berdosa karena dia sedang berpuasa (artinya, bukan sedang bepergian jauh dan mubah, dan bukan karena perbuatan zina dalam perjalanan itu), maka wajib atasnya ‘menerima’ 5 (lima) dampak:

Dia berdosa

Wajib untuk tetap tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan sebagainya)

Wajib di-ta’zir, yaitu menerima hukuman dari hakim/pemerintah, jika dia tidak bertaubat.

Wajib meng-qadla puasanya.

Wajib melakukan kaffarah ‘udzma, yaitu salah satu dari 3 hal (secara berurutan, artinya, tidak boleh pindah ke urutan kedua jika mampu melakukan urutan pertama), yaitu:

Membebaskan budak muslim, atau

Puasa dua bulan berturut-turut, atau

Memberi makanan 60 orang miskin, setiap orang miskin satu mud.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra,

أَنَّ رَجُلاً وَقَعَ عَلَى امْرَأَتِهِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ فاَسْتَفْتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ رقبه؟

قَالَ: لاَ. قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ صِيَامَ شَهْرَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً. رواه البخاري

“Bahwa seorang lelaki berhubungan badan dengan istrinya pada siang bulan Ramadhan, kemudian ia meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, ‘Apakah engkau memiliki budak (untuk dimerdekakan)?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Nabi bertanya, ‘Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan (berturut-turut)?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Nabi lalu bersabda, ‘Berilah makan 60 orang miskin.” (HR. Bukhari)

Catatan:

Kaffarah ini wajib atas orang laki-laki, tidak atas wanita, karena dengan masuknya kemaluan laki-laki, sang wanita sudah menjadi batal puasanya.

Kaffarah terulang dengan terulangnya hari. Artinya, jika dia melakukan hubungan badan tersebut, misalnya, selama dua hari, maka dia wajib membayar kaffarah dua kali.

Sampainya suatu benda (bukan angin yang tidak berwujud atau aroma rasa) ke tempat makanan dan obat (tenggorokan, lambung, otak, dan sebagainya) melalui lobang terbuka dalam tubuh.

Dengan demikian, tidak mengapa, misalnya, ada benda masuk melalui lobang yang tidak terbuka, seperti minyak yang masuk melalui pori-pori kulit. Menurut Madzhab Syafi’i, semua lobang adalah terbuka, kecuali mata.

Beberapa permasalahan penting dalam hal ini:

Hukum suntik boleh jika darurat (sangat dibutuhkan). Namun para ulama berbeda pendapat, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.

Pendapat pertama mengatakan suntik dapat membatalkan puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur makanan.

Sedang pendapat kedua mengakatan, suntik tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur makanan tidak melalui lobang terbuka dalam tubuh.

Pendapat ketiga memperinci; jika benda yang disuntikkan merupakan makanan, puasanya batal. Jika bukan merupakan makanan, maka dilihat: jika suntikan di urat, maka membatalkan puasa. Jika tidak, seperti di otot, maka tidak membatalkan puasa.

Riak, hukumnya diperinci:

Jika sampai keluar ‘batas luar’, kemudian ditelan, maka puasanya batal.

Jika sampai ‘batas dalam’ saja, kemudian ditelan, maka puasanya tidak batal.

Batas luar adalah tempat keluarnya huruf kha’ (خ). Sedang batas dalam adalah tempat keluarnya huruf ha’ (ح).

Hukum menelan air ludah, tidak membatalkan puasa, karena sangat sulit dihindari, namun dengan 3 (tiga) syarat:

Air ludah tersebut murni, tidak bercampur benda atau materi lain.

Air ludah tersebut suci, tidak bercampur benda najis seperti darah.

Air ludah tersebut berada di dalam, seperti di mulut atau lidah. Dengan demikian, jika dia menelan air ludah yang sudah berada di bagian bibir yang berwarna merah, maka puasanya batal.

Hukum masuknya air dengan tanpa sengaja saat mandi, diperinci:

jika mandi tersebut disyari’atkan (diperintahkan oleh syariat), seperti mandi wajib/mandi janabah, atau mandi sunnah (seperti mandi sebelum shalat Jum’at), maka puasanya tidak batal, dengan syarat mandinya dengan cara menyiramkan air. Jika dengan cara menyelam di air, maka puasanya batal.

Jika mandinya tidak disyari’atkan, seperti mandi hanya untuk menyegarkan badan, atau untuk membersihkan badan, maka jika ada air masuk, batal puasanya, meskipun tidak disengaja, baik mandi dengan cara menyiramkan air atau menyelam di air.

Hukum jika ada air yang tertelan tanpa disengaja saat berkumur atau memasukkan air ke dalam hidung. Dalam hal ini hukumnya terperinci:

  1. Jika berkumur itu disyari’atkan, misalnya dalam wudlu atau mandi besar, maka dilihat dahulu:

– Jika berkumurnya tidak dengan sangat, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya tidak batal.

– Jika berkumur dengan sangat, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya batal. Karena terlalu berlebihan dalam berkumur saat puasa hukumnya makruh.

  1. Jika berkumurnya bukan termasuk perkara yang disyari’atkan, seperti berkumur dalam berwudlu atau mandi namun yang ke-empat kalinya (padahal yang disunnahkan hanya tiga kali), atau berkumur untuk menyegarkan mulut, dan sebagainya, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya batal, meskipun berkumurnya tidak dengan sangat.
  1. Mengeluarkan mani (sperma), baik dengan tangan, atau tangan istrinya, atau dengan berhayal, atau dengan melihat (jika dengan berhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma), atau dengan tidur berbaring bersama istrinya. Jika sperma keluar dengan salah satu sebab di atas, maka puasanya batal. Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi:

يَدَع طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي. متفق عليه

“Ia meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya, karena-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ringkasan masalah dalam permasalahan ini adalah, bahwa keluarnya air mani terkadang membatalkan dan terkadang tidak membatalkan.

  1. Membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:

Dengan cara mengeluarkannya dengan sengaja, dengan cara apapun.

Jika menyentuh atau berhubungan dengan istrinya secara langsung tanpa penutup/pembatas semacam kain atau yang lain.

  1. Tidak membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:

Jika air mani keluar tanpa menyentuh atau berhubungan, seperti sebab berhayal atau melihat sesuatu (kecuali jika dengan berhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma, maka puasanya batal).

Jika keluar karena menyentuh, namun dengan menggunakan penutup/pembatas.

Catatan:

Hukum mencium saat puasa adalah haram jika sampai membangkitkan syahwat. Jika tidak sampai membangkitkan syahwat maka hukumnya makruh. Mencium tidak membatalkan puasa, kecuali jika sampai mengeluarkan air mani.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ. متفق عليه

“Nabi saw mencium dan menyentuh (istrinya) sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Muntah dengan sengaja.

Muntah dapat membatalkan puasa, walau hanya sedikit. Yang dimaksud dengan muntahan adalah makanan yang keluar lagi, setelah sampai di tenggorokan, walaupun berupa air, atau makanan, walaupun belum berubah rasa dan warnanya. Jika muntah dengan tidak disengaja, puasanya tidak batal.

مَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاء وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْداً فَلْيَقْضِ. صحيح أبي داود

“Barangsiapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak diwajibkan mengqadha. Dan barangsiapa yang sengaja muntah, maka ia harus mengqadha.” (Shahih Abu Dawud)

Jika seseorang muntah maka mulutnya menjadi najis, dengan demikian dia wajib:

membersihkan mulutnya dengan air, dan

menyangatkan dalam berkumur sampai air kumuran dapat membersihkan seluruh bagian mulutnya dalam batas luar (tempat keluarnya huruf kha’/ ). Dalam kasus ini, jika ada air yang tertelan dengan tanpa sengaja, puasanya tidak batal, karena menghilangkan najis termasuk perkara yang disyari’atkan (diperintah oleh syari’at).

Jika seseorang puasanya batal, maka apa yang diwajibkan atasnya?

Ada 4 (empat) macam hukum:

Wajib meng-qadla dan membayar fidyah, yaitu bagi dua kelompok orang:

Bagi orang yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan keselamatan atau kesehatan orang lain, seperti orang hamil yang menghawatirkan kondisi janinnya, atau wanita menyusui yang menghawatirkan kondisi bayi yang disusuinya.

Adapun jika dia menghawatirkan kondisinya sekaligus menghawatirkan kondisi janin/bayinya, maka hanya diwajibkan untuk meng-qadla saja, tanpa membayar fidyah.

Bagi orang yang mempunyai kewajiban meng-qadla, namun hingga datang bulan Ramadhan lain, dia belum juga meng-qadla, dengan tanpa adanya udzur/halangan.

Fidyah adalah satu mud tiap harinya, dari makanan pokok suatu daerah (beras, gandum, sagu, atau yang lain). Fidyah berulang dengan berulangnya tahun. Artinya, jika lewat Ramadhan sampai dua kali dia tidak meng-qadla puasanya, maka tiap hari di mana dia meninggalkan puasa, dia wajib membayar dua mud, demikian seterusnya.

Wajib qadla, tanpa membayar fidyah, yaitu bagi orang yang pingsan, atau lupa niat, atau sengaja membatalkan puasa, bukan dengan cara bersetubuh (karena dengan bersetubuh, ada pembahasan hukum tersendiri).

Wajib fidyah, tanpa wajib qadla, yaitu bagi orang yang sangat tua, dan orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya.

Tidak wajib membayar fidyah, juga tidak wajib qadla, seperti orang gila yang kegilaanya tidak disengaja.

Beberapa keadaan diwajibkan untuk qadla, namun tetap harus meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan lain-lain) sampai Maghrib, ada 6 keadaan, yaitu:

Bagi orang yang sengaja membatalkan puasanya.

Bagi orang yang tidak niat di malam hari, meskipun karena lupa.

Bagi orang yang sahur karena mengira masih malam/belum terbit fajar, ternyata tidak.

Bagi orang yang berbuka puasa karena mengira sudah Maghrib, ternyata belum.

Bagi orang yang tidak berpuasa karena mengira/meyakini masih tanggal 30 Syakban, ternyata hari itu sudah masuk Ramadhan.

Bagi orang yang kemasukan air karena perbuatan yang tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan oleh syariat), seperti berkumur, memasukkan air ke hidung, atau mandi untuk menyegarkan badan.

Beberapa kondisi yang tidak membatalkan puasa, walaupun kemasukan benda lewat lobang yang terbuka dalam tubuh, ada 7, yaitu:

Karena lupa.

Karena tidak mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan puasanya, dan ketidakmengertiannya memang termasuk udzur (sebagaimana telah dijelaskan).

Karena dipaksa (tentang syarat hukum paksaan, telah dijelaskan dalam Bab Shalat). Rasulullah saw bersabda:

مَنْ نَسِيَ فَأَكَلَ أَوْ شَربَ فَلْيُتِمّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ. متفق عليه

“Barangsiapa lupa, kemudian makan dan minum, maka sempurnakanlah (teruskan) puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرَهُوْا عَلَيْهِ. صحيح ابن ماجة

“Sesungguhnya Allah tidak menghisab dari umatku: kesalahan, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan padanya.” (Shahih Ibnu Majah)

Karena kemasukan melalui aliran ludah yang ada di antara gigi-giginya.

Karena kemasukan debu jalan.

Karena kemasukan hamburan ayakan tepung atau sejenisnya.

Karena kemasukan lalat yang terbang atau sejenisnya.

Atha’ mengatakan,

إِنِ ازْدَرَدَ رِيْقهُ لاَ أَقُوْلُ يفْطرُ. أخرجه البخاري

“Jika tertelah ludahnya, maka aku tidak mengatakan puasanya batal.” (HR. Bukhari)

Beberapa Permasalahan Penting dalam Puasa

Jika di siang hari seorang anak baligh, atau seorang musafir mukim (sampai di daerahnya, atau memutuskan untuk tinggal di suatu daerah), atau seorang yang sakit sembuh, dan mereka semua saat itu dalam keadaan berpuasa, haram bagi mereka untuk membatalkan puasanya dan wajib meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

Jika seorang wanita suci dari haid atau nifas, atau seseorang sembuh dari gilanya, atau seorang kafir masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan, mereka dianjurkan untuk meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dan bagi orang yang gila dan orang kafir tadi, tidak wajib qadla.

Seorang yang murtad (keluar dari Islam), wajib meng-qadla puasa yang ditinggalkannya selama dia murtad, walaupun di tengah kemurtadannya, dia gila.

Termasuk kesalahan yang sering terjadi di masyarakat adalah saat mereka mendengar suara adzan Subuh, mereka bersegera minum, dengan keyakinan bolehnya hal itu selama muadzzin masih mengumandangkan adzan. Padahal hal itu tidak boleh. Dengan demikian, jika dia melakukan hal itu, maka puasanya batal. Jika puasanya merupakan puasa wajib, dia wajib meng-qadla-nya.

Hal ini karena adzan tidak dikumandangkan kecuali sudah masuk waktu fajar/Subuh. Dengan demikian, jika orang tadi minum saat muadzzin mengumandangkan adzan, berarti dia minum saat fajar telah terbit, puasanya pun menjadi tidak sah (namun dia tetap harus meneruskan untuk tidak makan, minum, dan sebagainya sampai Maghrib).

Jika seseorang meninggal dunia, padahal dia masih punya tanggungan qadla puasa atau tanggungan kaffarah, maka boleh bagi walinya berpuasa untuk melunasi tanggungan kerabatnya yang meninggal dunia tersebut, atau mengeluarkan satu mud untuk tiap satu harinya.

Boleh bagi seseorang untuk membatalkan puasanya jika puasanya merupakan puasa sunnah, walaupun dengan tanpa udzur/halangan. Namun jika puasa wajib (Ramadhan, qadla, nadzar, atau yang lain), tidak boleh dibatalkan.

Puasa wishal (puasa dua hari berturut-turut tanpa buka puasa/makan, minum atau yang lainnya) hukumnya haram.

Jika seseorang melihat orang lain yang berpuasa sedang makan, jika dzahir sifat orang tersebut adalah taqwa, maka disunnahkan untuk diingatkan, namun jika dzahir sifatnya adalah suka meremehkan perintah-perintah Allah, maka wajib diingatkan.

BAB IV

ZAKAT FITRAH

Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):

“Zakat fitrah adalah pembersih bagi orang yang berpuasa dari segala kotoran, dan makanan bagi orang-orang fakir miskin”.

(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):

“Jagalah harta kalian dengan zakat. Obatilah penyakit kalian dengan shadaqah. Sambutlah deburan bencana dengan do’a dan tadlarru’.”

(HR. Abu Dawud)

Zakat ada dua macam, yaitu zakat harta dan zakat badan. Zakat harta ada enam, yaitu zakat binatang ternak (onta, sapi, dan kambing), emas dan perak, perdagangan, mu’asysyarat (makanan pokok dan buah-buahan), rikaz (emas dan perak peninggalan masa jahiliyah), dan ma’din (barang tambang). Dalam buku ini, untuk sementara yang akan dibahas adalah macam zakat yang kedua, yaitu zakat badan berupa zakat fitrah.

Zakat fitrah hukumnya wajib. Waktu mengeluarkannya ada 5 (lima) kemungkinan:

Waktu wajib: dengan ditemuinya sedikit waktu dari Bulan Ramadlan dan sedikit waktu dari Bulan Syawwal. Artinya, seseorang ada (hidup) dan memenuhi syarat wajib saat matahari terbenam pada malam hari raya.

Waktu fadhilah (utama): Pada hari raya, setelah terbit fajar (subuh) dan sebelum shalat ‘Ied dilaksanakan. Dan yang paling utama adalah setelah shalat Subuh.

Waktu boleh: yaitu sejak hari pertama bulan Ramadlan.

Waktu makruh: dengan mengakhirkan zakat sampai shalat ‘Ied selesai dilaksanakan hingga matahari terbenam. Kecuali untuk suatu kemaslahatan, seperti menunggu kerabat atau orang fakir shalih yang akan dia beri zakat.

Waktu haram: dengan mengakhirkan hingga waktu siang pada hari raya itu telah berlalu (hingga terbenam matahari pada tanggal 1 Syawwal), kecuali untuk suatu keperluan, misalnya karena belum menemukan orang yang berhak dizakati (zakat yang dikeluarkan saat itu dianggap qadla, namun dengan tanpa dosa).

Siapakah yang wajib berzakat?

Zakat Fitrah wajib atas setiap orang Islam yang merdeka, memiliki makanan cukup untuk siang hari raya dan malamnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang masih kecil (bayi, belum baligh, dan sebagainya) atau yang sudah besar/tua.

Jika seorang suami tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah bagi istrinya, maka dia tidak wajib membayarkan zakat istrinya tersebut. Dan sang istri juga tidak wajib membayar zakat untuk dirinya sendiri, namun tetap dianjurkan baginya untuk berzakat.

Jika seorang ayah sudah tidak wajib lagi menafkahi anaknya, misal karena anaknya sudah baligh, maka sang ayah tersebut tidak sah jika mengeluarkan zakat anaknya, kecuali jika sang anak sudah memberi ijin. Adapun anak yang belum baligh, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga istri dan seluruh orang yang wajib dinafkahi, tidak disyaratkan untuk minta ijin ketika akan mengeluarkan zakat mereka.

Niat Zakat

Niat zakat hukumnya wajib, guna membedakan antara zakat wajib dengan shadaqah sunnah. Dengan berniat, “saya berniat mengeluarkan zakat fitrah, fardlu, karena Allah SWT”. Waktu berniat adalah ketika si penerima zakat atau seorang wakil menerima zakat tersebut. Boleh juga seseorang menyerahkan urusan niat ini pada orang lain sebagai wakilnya. Sebagaimana diperbolehkan juga mendahulukan niat sebelum zakat dibayarkan pada si penerima atau sebelum diserahkan pada seorang wakil, dengan syarat: harta yang akan dizakatkan sudah ditentukan dan dipisahkan dari hartanya yang lain.

Berapakah yang harus dibayarkan?

Yang harus dibayarkan sebagai zakat fitrah adalah sebanyak satu sho’, atau 4 mud, atau seukuran 2,75 Kg. Sebagian kalangan mengatakan seukuran 3 Kg. Pendapat ini hendaknya yang dipakai untuk lebih berhati-hati (yaitu mengeluarkan zakat sebanyak 3 Kg).

Delapan kategori orang yang berhak menerima zakat:

Orang fakir.

Yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali. Atau, punya pekerjaan dan harta tapi jauh dari standar yang dibutuhkan, baik untuk mendapatkan makanan, baju, dan tempat tinggal. Dengan mempunyai penghasilan kurang dari separuh harta yang dia butuhkan. Misalnya: Dia membutuhkan Rp. 500.000,- perbulan, namun penghasilannya hanya Rp. 250.000,- perbulan.

Orang miskin.

Yaitu orang yang punya harta dan pekerjaan namun kurang begitu mencukupi. Dengan mempunyai penghasilan lebih dari separuh harta yang dia butuhkan. Misalnya: Dia membutuhkan Rp. 500.000,- perbulan, namun penghasilannya hanya Rp. 400.000,- perbulan.

Amil.

Yaitu orang yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memungut zakat dan menyerahkannya pada orang yang berhak menerima. ‘Amil berhak menerima zakat meskipun dia tergolong orang kaya. Hal ini jika pemerintah tidak menggajinya. Jika digaji, maka ‘amil tidak berhak menerima zakat.

Orang yang hatinya masih “lemah”.

Yaitu orang yang masuk Islam dan hatinya masih lemah karena baru memeluk Islam.

Budak mukatab.

Yaitu budak yang sedang membayar cicilan pada tuannya untuk memerdekakan dirinya.

Orang yang mempunyai hutang.

Dengan syarat dia berhutang tidak untuk keperluan maksiat. Termasuk ghorim adalah:

Orang yang berhutang untuk mencegah permusuhan antara dua belah pihak, meski dia termasuk orang yang kaya.

Orang yang berhutang untuk keperluan pembangunan masjid atau yang lainnya demi kemaslahatan umum, walaupun orang tersebut tergolong orang kaya.

Orang yang berhutang untuk keperluan dirinya atau untuk keluarganya.

Orang yang menanggung seseorang, dia berhak menerima zakat jika dia tidak mampu membayar hutang dan hutang yang harus dibayarnya sudah jatuh tempo, dan orang yang ditanggungnya dalam keadaan tidak mampu juga.

Orang yang berperang.

Yaitu sukarelawan perang yang tidak mengambil gaji.

Ibnussabil.

Yaitu orang yang berada dalam perjalanan atau orang yang hendak pulang ke daerahnya dan tidak mempunyai beaya untuk sampai ke tujuan, meski sebenarnya dia mempunyai harta di daerah asalnya tersebut.

Hukum Memindah Zakat

Tidak boleh memindah zakat dari daerah pembayar zakat ke daerah lain menurut pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’i. Namun menurut Imam Ibnu Ujail, ada 3 hal yang difatwakan dalam madzhab Syafi’i, meski ketiganya bukan pendapat yang terkuat, yaitu:

Boleh menyerahkan zakat untuk satu golongan saja dari 8 golongan (yang tersebut di atas).

Boleh seseorang membayar zakat kepada satu orang saja dari salah satu golongan delapan.

Boleh memindahkan zakat dari tempatnya ke tempat lain, dengan diserahkan kepada orang-orang yang berhak di daerah lain.

Syarat-syarat penerima zakat yang harus terpenuhi oleh 8 orang tersebut di atas:

Islam, dengan demikian orang kafir tidak boleh menerima zakat, kecuali dia seorang ‘amil.

Bukan orang kaya, kecuali dalam beberapa hal yang telah dijelaskan di atas.

Bukan orang yang telah dicukupi nafkahnya oleh orang yang wajib menafkahinya, seperti istri yang telah tercukupi oleh nafkah pemberian suaminya, atau seseorang yang telah tercukupi oleh nafkah pemberian kerabatnya.

Bukan keturunan Bani Hasyim (anak cucu Sayyidina Abbas, Imam Ali, Aqil, Ja’far, dan Harits bin Abdul Mutthalib), dan bukan keturunan Mutthalib. Ini merupakan pendapat terkuat. Sebagian ulama memperbolehkan mereka menerima zakat jika mereka tidak menerima jatah khusus dari pemerintah Islam.

Bukan orang yang mahjur ‘alaih (dihukum tidak boleh memegang uang karena bangkrut atau tidak bisa membelanjakan uang dengan baik, karena gila, idiot, atau terlalu menghambur-hamburkan uangnya).

Wallahu a’lam bish shawab
Tentang Penulis

Nama : Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.

Tempat/tanggal lahir : Lumajang, 6 Juni 1981

Alamat : Jalan AR. Hakim V/73 Malang Jawa Timur

E-mail : fk_anam@yahoo.com

Pendidikan Formal : – S2 IAIN Sunan Ampel Surabaya/Konsentrasi Syari’ah (2010)

– S1 Fakultas Syari’ah Universitas al-Ahgaff Hadhramaut Yaman (2004)

Pendidikan Non-Formal : – Pesantren Ilmu al-Qur’an Singosari Malang (1993-2000)

– Qubbah Murayyim li Tahfizh al-Qur’an al-Karim Tarim Hadhramaut

Aktifitas:

Pengasuh Kajian Tafsir dan Dialog Keagamaan Radio Madina 99,8 FM Masjid Agung Jami’ Malang

Koordinator Bidang Dakwah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kota Malang

Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Kepala Madrasah Diniyah al-Furqon Kauman Malang

Kepala Madrasah Diniyah Abul Yatama Masjid Agung Jami’ Malang

Narasumber Program Hujjah Aswaja TV9 Surabaya

Buku yang telah diterbitkan:

Aset-Aset Dakwah Pesantren Ilmu al-Qur’an (buku, diterbitkan oleh Pesantren Ilmu al-Qur’an Singosari Malang, 2005, sebagai penulis)

Rahasia Doa Mustajab (buku terjemahan, diterbitkan oleh Pustaka al-Tazkia Jakarta, 2007, sebagai penerjemah)

Sang Guru Qur’an – Biografi KH. Basori Alwi (buku, diterbitkan oleh Yayasan Alwi Murtadho Jakarta, 2008, sebagai anggota tim penulis)

Islam Menjawab Tuduhan (buku terjemahan, Pustaka al-Tazkia Jakarta, 2009, sebagai penerjemah)

Tarikh al-Khulafa (buku terjemahan, Qisthi Press Jakarta, 2009, sebagai penerjemah)

Latufsidunna fi al-Ardhi Marratain (buku terjemahan, Qisthi Press, Jakarta, editing, 2009, sebagai penerjemah)

Menshalati dan Mengkafani Jenazah – Hukum dan Tatacaranya (buku terjemahan, Pustaka al-Tazkia Jakarta, 2009, sebagai penerjemah)

Fikih Jurnalistik – Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam (buku, diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2009, sebagai penulis)

Dari Pesantren untuk Bangsa – Biografi Mantan Menteri Agama RI KH Mohammad Iljas (buku, diterbitkan oleh Yayasan KH. Saifuddin Zuhri Jakarta, 2009, sebagai anggota tim penulis).

Manaqib al-Imam al-Muhajir ilallah Ahmad bin Isa – Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia (buku, diterbitkan oleh Darkah Media Malang, 2010, sebagai penulis).

Maraji’
Al-Taqrirat al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaff. Tarim, Hadhramaut, Yaman: Dar al-‘Ilm wa al-Da’wah, 2003.
Matn al-Ghayah wa al-Taqrib (Hukum Islam – Jilid I), al-Qadhi Abu Ahmad bin Husan al-Ashfihani, alih bahasa KH. M. Basori Alwi. Malang: CV. Rahmatika, 1997.

Sampul belakang

Buku yang berisi kajian praktis mengenai tatacara ibadah umat. Disajikan dalam bentuk pointer permasalah, sehingga memudahkan pembaca dalam memahaminya. Mudah, praktis, dan lengkap.

Masjid Agung Jami’ Malang

Jalan Merdeka Barat No. 3 Malang

Telp. (0341) 326359 Fax. (0341) 321365

Email: masjid_agung@yahoo.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *