Oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.
Dalam keseharian, ungkapan di atas sering kita dengarkan. Suatu ajakan agar dalam menyikapi sesuatu, kita lebih mengedepankan akal, tidak hanya memainkan perasaan. Lalu, apakah perbedaan antara perasaan dan akal itu, dan bagaimana penjelasan al-Qur’an mengenai hal ini?
Sebenarnya, di antara posisi perasaan dan akal itu ada pengetahuan. Misalnya seperti ini. Seseorang melihat sinar dengan matanya, mendengar suara dengan telinganya, mencium bau dengan hidungnya, merasa panas atau dingin di kulit, merasa lapar atau haus. Itu semua adalah peran perasaan.
Tapi, mengapa anak kecil yang melihat api misalnya, terkadang lebih suka menyentuhnya? Karena baginya, api itu bersinar hingga memantik perhatiannya. Seandainya dia sudah besar dan mengetahui apa itu api, ia tak akan melakukan tindakan tersebut. Dengan demikian, anak kecil itu dapat melihat api dengan matanya, dapat menyentuh dengan tangannya, tapi ia belum memiliki pengetahuan (knowledge) tentang hakikat api itu, bahwa bila memegangnya ia akan merasakan panas.
Apakah dengan pengetahuan, seseorang sudah dapat menentukan sikap? Belum tentu. Pasalnya, pengetahuan itu hanya berdasarkan pemikiran, masih belum menggunakan akal, yang tempatnya adalah hati. Seseorang mungkin pernah membaca informasi tentang bahaya minuman keras dan ia tahu, namun dia masih tetap saja menenggaknya. Dalam hal ini ia sudah tahu, tapi belum menentukan sikap apapun.
Namun, bila pengetahuan sudah mencapai derajat akal, sehingga memunculkan suatu sikap (attitude), maka inilah idealnya. Ia sudah merasa, mengetahui, sekaligus menentukan sikap. Misalnya, kita tahu sesuatu itu maslahat dunia akhirat, kemudian kita melaksanakannya, maka berarti kita sudah menggunakan akal kita dengan menentukan sikap. Demikian pula sebaliknya, bila ada sesuatu yang kita tahu itu membahayakan, kemudian kita menjauhinya, berarti kita sudah mengerahkan akal.
Kesimpulannya, dengan perasaan kita dapat merasakan, dengan pemikiran kita dapat mengetahui, sedang dengan akal atau hati kita dapat menentukan sikap. Merasa adalah titik intelegensia terendah yang dimiliki manusia. Dia harus meningkatkannya menjadi pengetahuan atau pemahaman. Namun itu belum cukup, sampai ia mengerahkan akal untuk menentukan sikap. Dengan kata lain, idealnya yang harus dilakukan manusia adalah: tahu, mampu, dan mau. Dalam psikologi Barat, tahapan ini disebut dengan knowledge, attitude, and behavior. Dalam filosofi Jawa, “Watuk akeh obate, tapi watek angel dandanane” (Batuk banyak obatnya, tapi untuk watak sulit membenahinya). Sedang dalam istilah praktisi pendidikan disebutkan, untuk menjadikan seseorang tahu, itu mudah. Namun untuk mengubah sikap, tentu tak hanya dengan pembelajaran. Masih dibutuhkan pembiasaan dan keteladanan.
Tiga ayat dalam Surat al-Ashr menjelaskan secara gamblang kepada kita. Ditegaskan, semua manusia akan merugi, kecuali yang melakukan tiga hal: iman (tahu dan yakin), beramal shalih (melakukan yang ia tahu), dan saling menasihatkan dalam kebenaran dan kesabaran (mengajarkan yang sudah ia tahu, ia yakini, dan ia amalkan, kepada orang lain). Kesimpulannya, sekali lagi, manusia harus tahu, mampu, dan mau!
Lebih lanjut, Anda dapat mentadabburi al-A’raf: 179, al-Anfal: 72, dan al-Qashash: 50. Kalam-kalam ilahi itu menyiratkan, manusia belum dianggap berakal, sampai ia dapat menerjemahkan hasil pemikirannya pada perilaku dan sikap.
Contoh praktisnya, setelah mengetahui puasa itu wajib, maka sesudah menjadi mukallaf (akil baligh), seseorang kategorinya adalah mampu secara syar’i untuk melakukan puasa. Dalam kondisi ini, ia harus mau menjalankannya. Bila tidak, berarti ia telah meninggalkan kewajiban. Jika alasannya karena malas dan tak mau lapar, padahal ia tahu hukum wajib puasa, berarti ia hanya mengandalkan perasaan, yaitu khawatir pada rasa lapar, tidak mengandalkan akalnya. Itu artinya, ia tahu dan mampu, tapi tak mau. Ia punya perasaan dan pemahaman, namun – maaf, dalam bahasa al-Qur’an, ia tak berakal. Lebih parah lagi, orang tak puasa dengan alasan tak tahu dan tak yakin pada hukum wajibnya. Pada tingkat pemahaman saja, ia sudah tak punya. Na’udzu billah.