Oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.
Al-Qur’an menegaskan, manusia butuh berdoa, karena mereka butuh pada Allah. Jadi, motivasi doa adalah kebutuhan kita terhadap sesuatu yang Allah miliki, sedang pada hakikatnya kita tak memiliki apa-apa. Allah berfirman dalam Surat Fathir ayat 15 yang artinya, “Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Tak hanya manusia, ternyata makhluk lain juga berdoa kepada Allah. Motivasinya sama, karena mereka butuh pada Allah. Malaikat pembawa Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya pun bertasbih kepada Allah, bahkan malaikat juga mendoakan dan memohonkan ampun untuk orang-orang mukmin (lihat Ghafir: 7-8, al-Ahzab: 43, dan ar-Ra’d: 24).
Kitab suci al-Qur’an banyak memberikan perhatian terhadap doa. Hal ini mendalilkan tentang begitu besarnya dorongan al-Qur’an bagi umat untuk berdoa. Dalam al-Qur’an, ada penjelasan mengenai pengertian kata doa, bentuk-bentuk doa, bahwa Allah Dzat yang diminta, balasan Allah terhadap orang yang berdoa, penyebab ditolaknya suatu doa, doa untuk diri sendiri, doa untuk orang lain, doa kebaikan dunia akhirat, doa baik-doa buruk, jenis-jenis doa orang kafir, “kebiasaan” orang kafir dalam berdoa, posisi orang berdoa, dan tujuan manusia dalam berdoa.
Tujuan berdoa adakalanya untuk meminta suatu kebaikan, baik bagi dirinya atau orang lain, atau meminta agar dihindarkan dari keburukan dan kesusahan, atau kedua-duanya. Hal ini dijelaskan dalam Surat an-Naml ayat 62 dan Ibrahim ayat 34.
Doa yang dipanjatkan, memiliki dua kemungkinan. Pertama, diterima Allah. Hal ini dijelaskan dalam Surat al-An’am ayat 41, “Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki.” Kedua, tidak diterima Allah. Dua kemungkinan ini dijelaskan dalam satu kisah, yaitu tentang dua putra Nabi Adam AS, Habil dan Qabil. Keduanya mempersembahkan korban, namun yang diterima hanya dari Habil, sedangkan dari Qabil tidak diterima (lihat al-Maidah: 27).
Al-Qur’an sekaligus menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab tidak dikabulkannya sebagian doa itu. Pertama, berdoa dalam arti meminta dan menanyakan sesuatu yang apabila terjawab, akan menimbulkan kemudaratan (QS. Al-Maidah: 101). Kedua, berdoa dalam arti meminta sesuatu yang tidak diketahui manusia, atau meminta sesuatu yang haram (QS. Hud: 46). Sesuatu yang tidak diketahui hakikatnya dalam ayat itu maksudnya adalah Nabi Nuh yang berdoa agar anaknya dimasukkan ke Surga, padahal anaknya kafir. Sedang contoh memohon sesuatu yang haram misalnya adalah meminta agar seorang muslim dimasukkan ke dalam neraka, agar dia dilaknat, atau memohonkan rahmat bagi orang kafir. Ketiga, meminta sesuatu yang mustahil, misalnya untuk melihat Allah atau malaikat.
Pada bagian lain, al-Qur’an mengingatkan kita untuk tak mengikuti kebiasaan sebagian orang dalam menyikapi doa. Jika sedang dirundung musibah, mereka mau berdoa, bahkan dengan amat khusyu’. Namun jika musibah sudah tidak ada, mereka melupakan Allah dan kembali pada kemaksiatan, bahkan pada kekufuran dan kemusyrikannya.
Fakta ini dijelaskan dalam beberapa surat, di antaranya pada Fushshilat ayat 51, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” Demikian pula dalam Yunus ayat 12, “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat).”
Selagi kita memenuhi syarat dan etika berdoa, tak akan ada yang sia-sia di hadapan Allah. Semua doa yang memenuhi tuntunan itu pasti dikabulkan Allah, baik secara langsung, ditangguhkan di kemudian hari, atau diganti dengan pahala yang kelak akan diberikan Allah di akhirat. Namun, “penangguhan” dari Allah untuk doa kita –karena Allah lebih mengetahui kapan waktu pengabulannya– itu yang sering kita artikan bahwa doa kita tidak dikabulkan!