Oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.
Al-Qur’an menegaskan, manusia adalah makhluk yang mudah mengeluh. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (TQS. Al-Ma’arij: 19-23)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan, keluh kesah dan kikir adalah dua sifat yang tidak disukai Allah. Hal ini setidaknya dibuktikan oleh dua hal. Pertama, Allah mengecualikan orang-orang shalat yang tidak memiliki dua sifat tersebut. Shalat adalah perbuatan baik, yang menjadikan seseorang tidak lagi bersifat keluh kesah dan kikir. Kedua, sifat keluh kesah dan kikir tidak sesuai dengan karakter orang beriman, yaitu bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika tertimpa susah.
Rasulullah SAW bersabda – yang artinya: “Sangat menakjubkan kondisi orang beriman, sesungguhnya semua perkaranya baik, dan itu hanya dimiliki oleh orang beriman; (yaitu) jika mendapatkan sesuatu yang menyenangkan ia bersyukur maka itu baik baginya, dan jika tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan ia bersabar maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Hadits ini sekaligus menegaskan, dalam kehidupan tentu akan selalu ada suka-duka, sedih-senang, susah-mudah, panas-dingin, dan semua hukum alam lainnya. Lalu, kenapa harus mengeluhkan perputaran roda kehidupan yang pasti akan terjadi?
Penyebab orang mengeluh itu bisa bermacam-macam. Entah karena penghasilan yang kurang, banyaknya masalah yang dihadapi, sikap orang lain yang kebetulan menyinggung dirinya, yang didapat tidak sesuai dengan keinginan, atau bisa saja karena kondisi alam yang “tidak bersahabat”, misalnya kemarau berkepanjangan, atau mungkin hujan yang tak kunjung henti, angin kencang, dan sebagainya. Disadari atau tidak, terkadang kita menghadapi kondisi-kondisi itu dengan mengeluh.
Ahli ilmu jiwa menegaskan, sikap mengeluh ini menunjukkan kekerdilan jiwa dan mencari pembenaran diri. Seorang yang mengeluh selalu mencari penyebab permasalahan adalah sesuatu di luar dirinya, sehingga ia kurang melakukan instropeksi. Padahal seringkali yang menjadi masalah utama seseorang adalah dirinya sendiri, bukan orang lain atau sesuatu di luar diri.
Berikutnya, kebiasaan mengeluh memiliki dampak yang tidak ringan bagi diri pribadi seseorang, di antaranya: Pertama, memberikan efek negatif berupa pikiran negatif juga, sehingga berimbas kepada sikap, perilaku, dan karakter negatif. Kedua, mengeluh berimbas pada faktor “interest” atau “like and dislike”. Jika faktor ini sudah menjangkiti, pekerjaan mudahpun tampak susah untuk diselesaikan. Ketiga, mengeluh menimbulkan penyakit hati, minimal merasa diri paling menderita, penuh dengan masalah, memancing terjadinya ketidaksukaan pada orang lain, dan mempertebal rasa malas. Keempat, mengeluh adalah lawan bersyukur, sedangkan kita diperintahkan oleh Allah agar banyak bersyukur supaya ditambahkan nikmat oleh Allah. Sedangkan kufur nikmat, bisa mendatangkan azab yang sangat pedih (QS. Ibrahim: 7).
Bila kita cermati, dalam semua kondisi, agama kita selalu memberikan tuntunan doa. Coba kita membeli buku tuntunan doa. Pilih yang isinya cukup lengkap. Perhatikan daftar isinya dulu. Hasilnya, kita akan segera mendapatkan penegasan, dalam tiap kondisi dan kejadian, Islam memang selalu mengajarkan kita untuk berdoa. Mulai masalah kecil hingga masalah besar, baik saat kita terlilit hutang, menghadapi ekonomi sulit, sakit, atau musim dingin, hujan, angin kencang, dan sebagainya.
Sayangnya, sekali lagi, diakui atau tidak, dalam kondisi-kondisi itu, terkadang kita malah mengeluh, bukan berdoa. Inilah sebenarnya “taruhan” kita: mau berdoa, atau justru mengeluh? Mau mengembalikan semuanya kepada Allah sebagai wujud pengamalan tauhid, atau menumpahkan keluhan dengan kata-kata yang terkadang justru mengingkari takdir?