Saat dirundung musibah, utamanya ditinggal wafat seseorang, kita sering mengucapkan kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Kalimat ini dinamakan istirja’, atau pernyataan kembali kepada Allah.
Bila kita renungkan, sasaran kalimat ini adalah kita, bukan orang yang meninggal dunia. Dengan kata lain, kalimat itu untuk mengingatkan kita, bukan doa untuk orang yang terkena musibah! Sedang untuk orang wafat, kita dapat doakan misalnya, “Allahummaghfir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu (Ya Allah, ampunilah, rahmatilah, dan maafkan dia).”
Al-Qurthubi menjelaskan, kalimat istirja’ ini memiliki makna amat mendalam. Kalimat inna lillah (sesungguhnya kami adalah milik Allah), merupakan wujud pengesaan kita kepada Allah, sekaligus pengakuan bahwa Allah satu-satunya Dzat yang patut disembah dan memiliki kita. Bila diresapi, dua kata ini adalah pengakuan tauhid yang sangat luar biasa. Suami, atau istri, anak, adalah keluarga kita, tapi bukan milik kita. Demikian pula harta benda. Suatu saat, cepat atau lambat, kita akan berpisah dengan semua. Kita akan kehilangan semuanya, namun tak akan pernah kehilangan Allah. Semua akan rusak, yang tidak rusak hanya Allah.
Sedang kalimat wa inna ilaihi raji’un (dan kepada-Nya-lah kami kembali), merupakan pengakuan bahwa suatu saat kita bakal mati, dibangkitkan dari kubur, dan bahwa semua perkara kembali kepada Allah. Kalimat ini sekaligus pengakuan tentang kebenaran adanya hari kebangkitan (ba’ts), perhitungan (hisab), pahala (tsawab), siksa (‘iqab) pada hari kiamat.
Saat membaca artikel ini, kami sarankan Anda membuka al-Qur’an dan terjemahnya, Surat al-Baqarah ayat 155-158. Karena keempat ayat tersebut adalah satu rangkaian penjelasan untuk tema ini.
Pertama, kalimat istirja’ ini disebutkan dalam al-Baqarah ayat 156, diperintahkan untuk dibaca oleh orang yang ditimpa marabahaya, baik besar maupun kecil. Allah berfirman – yang artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”
Orang yang mengucapkan kalimat istirja’ tersebut membuktikan bahwa ia adalah orang sabar yang patut mendapatkan kabar gembira. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya (al-Baqarah: 155), yang artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Pakar tafsir dari Mesir, Thanthawi menjelaskan, kabar gembira itu tak diperuntukkan bagi orang yang mengucapkannya sekedar dalam lisan, namun bagi orang yang benar-benar meyakini makna istirja’, yang saat pertama kali menerima musibah, langsung menyikapinya dengan tenang dan pasrah pada takdir. Nabi mengatakan, “Sabar itu ketika pertama kali seseorang menerima musibah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu, mana sisi bahagia yang dijanjikan? Perhatikan ayat berikutnya, yaitu al-Baqarah ayat 157. Pada ayat tersebut Allah berfirman – yang artinya: “Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini menjelaskan, bagi orang yang benar-benar mengelola musibahnya dengan konsep istirja’, Allah menjanjikan tiga kebaikan sekaligus, yaitu keberkahan, rahmat, dan petunjuk. Luar biasa! Itu artinya, orang mendapat satu musibah saja, bila ia kembalikan pada Allah, dengan keyakinan pada makna istirja’, maka dia akan mendapatkan tiga kebaikan sekaligus.
Apakah ada buktinya? Sejarah membuktikan sejelas-jelasnya kepada kita. Coba kita baca ayat sebelumnya, yaitu al-Baqarah: 155. Dalam ayat tersebut Allah menyatakan akan memberi cobaan kepada manusia dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Ternyata, semua jenis cobaan ini pernah menimpa satu orang, yaitu istri Nabi Ibrahim yang bernama Hajar.
Dirawikan Ibnu Abbas, Rasulullah mengisahkan, Nabi Ibrahim mengajak Hajar dan putranya Isma’il untuk hijrah ke Makkah. Sesampainya di Rabiyah – lokasi Ka’bah sekarang, perbekalan keluarga kecil ini hanya seuntai kurma dan satu wadah berisi minuman. Dalam kondisi seperti itu, di daerah tandus, tak ada pertanian dan buah-buahan, juga tak berpenduduk, Nabi Ibrahim berpamitan untuk meninggalkan istri dan putranya.
“Kepada siapa kamu menitipkan kami?” tanya Hajar pada Nabi Ibrahim, yang tak dapat langsung menjawab.
“Apakah Allah yang memerintahkan ini?” tanya Hajar lagi.
Kali ini, Ibrahim dengan tegas menjawab, “Ya.”
Maka dengan penuh keyakinan bahwa semua adalah milik Allah dan Dia berhak menitahkan apa saja pada hamba-Nya, Hajar menjawab, “Kalau begitu, Allah tak akan menyia-nyiakan kita.”
Mari kita hubungkan kondisi yang dihadapi Hajar dengan al-Baqarah: 155. Hajar saat itu benar-benar menghadapi cobaan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Namun, berkat keyakinan pada konsep istirja’, Allah benar-benar menggantinya dengan tiga anugerah: keberkahan, rahmat, dan petunjuk.
Bukti ketiga anugerah tersebut dapat kita rasakan sampai sekarang. Rabiyah atau Masjidil Haram sekarang, ibarat magnet yang menarik jutaan manusia dan menjadi tujuan kaum muslimin menjumput keberkahan dan hidayah. Tempat berlarinya Hajar untuk mencari air ketika itu, yaitu dari bukit Shafa ke Marwa, adalah tempat paling eksklusif di dunia. Bahkan terbukti, pemondokan yang paling dekat ke lokasi yang dulu menjadi tempat ujian terberat bagi Hajar, adalah penginapan yang paling dicari dan tarifnya paling tinggi!
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah,” sebut Alqur’an pada ayat selanjutnya (QS. al-Baqarah: 158)
Di Balik Kesulitan Ada Kemudahan
Kita pasti telah menghapal ayat yang menjelaskan tentang kemudahan di balik setiap kesulitan. Dalam Surat al-Syarh, ayat yang menjelaskan tentang ini bahkan sampai diulang dua kali, bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (lihat QS. Al-Syarh: 5-6). Bukti dari Allah untuk hal itu pun sangat berkelimun. Selain kisah Hajar, ada kisah hijrah Nabi bersama kaum muslimin dari Makkah ke Yatsrib – Madinah sekarang. Hijrah adalah sebuah ikhtiar yang sulit, melelahkan, juga berat karena harus meninggalkan kampung halaman. Namun sebagai gantinya adalah kemenangan dari Allah untuk umat ini. Bila kita membaca biografi para ulama atau orang-orang sukses, pasti kemudahan yang mereka dapatkan selalu diwarnai dengan kesulitan-kesulitan pada mulanya.
Kiranya tak berlebihan bila disimpulkan bahwa hal ini merupakan sunnatullah untuk makhluk-Nya. Tidak hanya untuk manusia, namun juga untuk makhluk selain mereka. Dalam sebuah buku motivasi dijelaskan, bahwa proses terbentuknya mutiara yang mahal itu pun juga disebabkan oleh kesulitan yang dihadapi kerang.
Menarik untuk membandingkan proses terbentuknya benda mahal tersebut untuk dijadikan pelajaran untuk kita semua. Kerang adalah mahluk hidup, pada hakikatnya sama dengan sebagian substansi kita sebagai manusia. Namun yang menarik, ternyata mutiara yang dihasilkan oleh kerang tersebut bermuara pada kesulitan yang dihadapi oleh kerang, yakni saat menghindari kotoran-kotoran yang masuk ke dalam tubuhnya. Cairan atau enzim yang dihasilkan oleh kerang dalam menghalau zat-zat yang tidak diinginkan oleh tubuh kerang itulah bahan dasar mutiara.
Subhanallah, memang benar sesungguhnya, bahwa di dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan sesudahnya. Itulah kunci mengelola musibah atau kesulitan itu, agar menjadi kebahagiaan dan kemudahan. Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk dan kekuatan. Amin ya Mujibas sa-ilin.
Faris Khoirul Anam