Selama mengikuti dakwah di gerbong NU, ada satu hal yang selalu kami amati. Yaitu belum dipahaminya keberadaan NU oleh mereka yang selama ini mengkritik NU, bahwa ormas ini adalah “jembatan” antara abangan dengan kaum santri, antara nasionalis dan Islamis, antara awam dengan kaum yang tidak lagi awam.
Dalam proses “menjembatani” inilah mereka telah memberikan vonis kepada NU. Padahal kita tak dapat memberikan kesimpulan bila sesuatu itu masih berproses.
NU adalah Aswaja dan Ke-Indonesia-an. Dua-duanya selalu menjadi paradigma dan perspektifnya. Pendekatan dakwahnya tak selalu aqidah dogmatis, political approach, tapi juga kultural. Titah teologis terkadang perlu diterjemahkan oleh NU dalam konteks sosiologis. Bagaimana menerjemahkan perintah langit dalam konteks bumi.
Dalam membina keluarga besar NU mungkin ada saja yang melakukan sesuatu yang dinilai mukhalafah, maka kami kira itu adalah niscaya.
Jangankan keluarga besar dengan jumlah anggota puluhan juta ini. Di tengah keluarga kita juga pasti ada yang melakukan “mukhalafah” itu.
Anak yang belum istiqamah shalat. Keponakan kita yang ternyata pacaran. Paklek, bulek, pakdhe, budhe yang ternyata baca Fatihahnya belum benar. Anggota keluarga lainnya yang belum menutup aurat. Istri atau mungkin ibu yang ternyata masih suka berbuat ghibah. Dan sebagainya.
Saya yakin anda semua telah berikhtiar untuk mengingatkan mereka. Sesuai dengan “pola dan kinerja” yang sesuai dengan kultur keluarga anda.
Pun dalam NU. Bila ada yang isykal dari pengurusnya, saya yakin dan saya telah mendengar sendiri, pengurus NU utamanya para kiai telah bersikap, memberikan respon, bahkan nasihat, dengan cara yang ada dalam pola kinerja NU. Tentu mereka tidak melaporkan hal itu kepada netizen, juga tidak dengan cara yang melulu sesuai dengan selera netizen.
Saat mengikuti Rapat Kerja PWNU, saya makin memahami bahwa wilayah kerja organisasi ini amat luas, mengakar, dan memang “telah banyak makan garam”. Saya pribadi sungguh angkat topi pada cara dan pengalaman kerja dakwah mereka.
Ada pembahasan tentang dakwah dengan segala dinamika dan pilihan metodenya, pemberdayaan ekonomi umat, pendidikan, kesehatan, kemaslahatan keluarga, dan sebagainya.
Lalu tentang pemeliharaan aset SMP (Sekolah, Madrasah, Pesantren) yang di Jawa Timur saja ratusan jumlahnya; target satu PCNU satu Rumah Sakit; target satu PCNU satu Perguruan Tinggi; program pendampingan keluarga untuk menekan angka perceraian yang akhir-akhir ini meningkat; program Ngaji Tani, pendampingan para nelayan, dan sebagainya.
Di bidang seni, dibahas pula bagaimana melakukan pendampingan pada penggiat jenis seni tertentu semisal jaranan, tanpa dilabeli ini seni NU. Mereka dirangkul dan diberi sentuhan dakwah. Sebelum diambil agama lain.
Inilah proses-proses yang telah, sedang, dan akan dijalani NU. Sebuah tahapan dakwah yang rentan dihantam kritik, bahkan hujatan. Wallahul Musta’an.
Selamat menapak abad kedua Nahdhatul Ulama.