Pesantren: Meneguhkan Karakter Muslim Moderat dalam Menghadapi Ekstremisme

Tindak kejadian ekstrim di Indonesia sudah menjadi hal biasa yang kita dengar dalam setiap tahunnya. Namun ekstrim di sini ada dua pengertian yang harus kita fahami, yakni ekstrim kanan dan ekstrim kiri.  Yang pertama adalah ekstrim kanan (radikal) yang berarti terlalu kaku dalam beragama dan memahami teks literatur, sehingga tidak mau menerima pendapat orang lain. Bahkan apa yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka dinggap kafir. Artinya sangat mudah bagi kelompok kanan ini untuk mengakafirkan orang lain tanpa sebab dan landasan kuat (fikroh takfiriyah).  Dalam beberapa kasus radikal yang pernah terjadi di negara kita ternyata setelah diselidiki mereka pernah didoktrin oleh kelompok yang tidak sejalan dengan pancasila. Ahmad Nurwakhid selaku direktur Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan bahwa ada 12% atau sekitar 33 juta penduduk Indonesia terpapar faham radikalisme.  Adapun maksud ekstrim kiri adalah kelompok yang terlalu bebas memaknai prinsip agama hanya pada batas akal saja. Mereka menganggap ringan batasan-batasan agama sehingga masuk ke dalam ritual agama lain. Bahkan dalam beberapa pemikiran mereka ada yang anti anti-arab  yaitu sangat menolak budaya Rasulullah SAW seperti memakai pakaian putih, bergamis, dan bersurban. 

Keberagaman agama, bahasa, dan suku mengharuskan kita untuk menghargai mereka supaya tetap terjalin asas kekeluargaan. Agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena dua hal ini memiliki relasi yang kokoh.  Fikih nasionalisme hadir untuk menyikapi keberagaman agama di Indonesia, dalam istilah lain dikenal dengan nation state.  Oleh karena itu jalan tengah adalah acuan kita untuk menjalani kehidupan beragama dan bernegara di Indonesia. Melalui konsep yang digagas oleh Kementerian Agama berupa “Moderasi Beragama” diharapkan mampu menjadi acuan berkehidupan oleh penduduk Indonesia.

Sebagai negara dengan muslim terbanyak di Indonesia tentunya dibutuhkan sebuah wadah untuk kaderisasi generasi penerus dalam bidang agama. Sunan Ampel sebagai tokoh penyebar agama di tanah Jawa telah berhasil mendirikan pondok pesantren yang hingga kini merambat sampai belahan nusantara. Namun selama ini yang diajarkan oleh mayoritas pondok pesantren adalah tentang ilmu syari’at (fikih) serta ilmu alat (nahwu dan shorof).  Bukan berarti buruk, namun akan lebih sempurna lagi jika digalakkan moderasi beragama agar kiranya seorang santri bisa mengajarkan ilmu syariat berlandaskan prinsip moderasi beragama. 

َDi dalam Tafsir al-Qurthubi maksud kata wasatha dalam firman Allah :

 كَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

yang artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Yaitu, umat yang adil dan pilihan.  Beliau juga menjelaskan bahwa umat Islam ini pada hakikatnya tidak berlebihan bahkan melampaui batas seperti yang pernah dilakukan oleh umat Nasrani dan umat Yahudi kepada nabi mereka.  Sehingga prinsip yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam adalah sikap adil  yang merupakan implementasi makna wasatha yang berarti pertengahan. 

Moderat adalah kata terkini dari wasatha. Posisi tengah adalah posisi terbaik dan ideal daripada pinggiran yang dalam bahasa Arab berarti tathorruf. Berlebihan dalam beragama sangat tidak dianjurkan. Maka untuk menwujudkan umat pertengahan harus ada campur tangan manusia sendiri. Hal ini didasari oleh makna ja’ala yang berarti membuat dengan adanya usaha oleh manusia dan berbeda dengan kholaqo maknanya Allah SWT menciptakan ciptaanNya dengan kuasaNya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *