Tidak Ada yang Baru dalam Konsep Bid’ah

Permasalahan bid’ah bukan bid’ah seperti tidak ada hentinya diperbicangkan umat Islam. Tidak hanya diperbicangkan, bahkan terkadang diperdebatkan. Tak sedikit pula yang kemudian menyebabkan “keresahan” di tengah umat, ketika suatu amaliyah yang selama ini menjadi kebiasaan sebagian orang, dituduh bid’ah oleh pihak lain.

Untuk mengungkap hakikat, serta “sejarah” pembahasan tentang bid’ah, Cahaya Nabawiy mencoba membahasnya dalam rubrik ini. Berikut kutipannya.

Bagaimana sebenarnya pendapat para ulama mengenai pembagian bid’ah?

Mayoritas ulama empat madzhab itu membagi bid’ah menjadi dua, yaitu baik (hasanah) dan jelek (madzmumah). Artinya, menurut mereka, tidak semua bid’ah itu jelek. Beberapa ulama bahkan membagi bid’ah menjadi lima. Ulama empat madzhab bahkan sepakat menyatakan bid’ah ada lima itu. Misalnya Ibnu Abidin dari madzhab Hanafi dalam kitab Raddul Muhtar, al-Qarafi dari madzhab Maliki dalam Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Sulthanul ‘Ulama Izzuddin Abdussalam dari madzhab Syafi’i dalam Qawa’id al-Ahkam, dan al-Safaraini dari madzhab Hanbali dalam Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah.

Sementara ulama yang tidak mau membagi bid’ah itu minoritas, yaitu al-Syathibi dalam al-I’tisham dan Ibnu Taimiyah al-Harani dalam Majmu’ al-Fatawa.

Dari keterangan ini, setidaknya terdapat tiga benang merah atau kesimpulan. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada dua (hasanah dan sayyi-ah), atau menjadi lima, itu merupakan representasi jumhur atau mayoritas ulama. Lalu mengapa kemudian, seakan-akan yang ramai sekarang, baik di media radio, majalah, bulletin, atau di artikel-artikel internet, pendapat bahwa semua bid’ah itu sesat seakan-akan yang paling banyak dimunculkan? Ini otokritik bagi kita. Kita yang menyatakan tidak semua bid’ah itu sesat, sebenarnya representrasi mayoritas ulama. Maka menjadi tanggung jawab bagi kita untuk mensosialisasikan hal ini kepada umat, melalui media-media yang kita miliki.

Kedua, bid’ah itu adalah perilaku, bukan hukum. Para ulama ketika mendefinisikan bid’ah, selalu mengawalinya dengan kata fi’lu (perbuatan), atau ma ‘umila (sesuatu yang dilakukan) yang belum ada contoh sebelumnya, atau belum dilakukan di zaman Nabi. Artinya, mereka memang menilai bid’ah itu sebagai perilaku, bukan hukum. Selagi merupakan perilaku, maka bid’ah dapat dihukumi dengan salah satu dari lima hukum taklifi (status hukum bagi perbuatan mukallaf), yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah.

Ketiga, pembahasan mengenai bid’ah ini adalah masalah klasik. Mari kita perhatikan masa hidup ulama yang menyatakan bahwa tidak semua bid’ah itu jelek. Sebut saja Ibnu Abidin yang membagi bid’ah menjadi lima, beliau hidup di abad ke-13 H, Imam al-Qurthubi yang membagi bid’ah menjadi dua, beliau hidup di abad ke-7 H, Imam al-Qarafi al-Maliki hidup di abad ke-7 H, Imam Izzuddin Abdussalam hidup di abad ke-7 H. Lalu, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali yang membagi bid’ah menjadi dua, hidup di abad ke-8 H, Imam as-Safaraini yang membagi bid’ah menjadi lima, hidup di abad ke-12 H.

Sementara ulama yang tidak mau membagi bid’ah, dengan kata lain bahwa semua bid’ah itu jelek, yaitu Imam al-Syathibi, beliau hidup di abad ke-8 H. Sedang Ibnu Taimiyah, hidup di abad ke-8 H.

Jadi, rata-rata mereka hidup delapan abad yang lalu, dan hal ini berpotensi, pembahasan sunnah dan bid’ah lebih lama dari itu, karena pernyataan mereka itu tentu mengomentari kejadian-kejadian sebelumnya. Maka sebenarnya, tidak ada yang baru dalam konsep bid’ah ini. Perbedaan yang ada sekarang adalah hal parsial, dalam contoh kasus baru, apakah dihukumi bid’ah atau tidak. Misal, peringatan maulid dihukumi bid’ah atau tidak, tahlilan dihukumi bid’ah atau tidak, dan seterusnya.

Apakah dalil yang menjadi rujukan mayoritas ulama yang tidak menilai semua bid’ah itu sesat atau jelek?

Sebenarnya, dalil kelompok pertama dan kedua, yakni ulama yang membagi bid’ah dan ulama yang tidak mau membagi bid’ah, itu sama. Yang berbeda adalah penafsirannya.

Dalil pertama dari mayoritas ulama adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ، فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita ini, yang tidak termasuk darinya, maka hal itu ditolak.” (HR Bukhari).

Sementara dalam redaksi Imam Muslim disebutkan:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari kedua riwayat hadits tersebut, mayoritas ulama mengambil kesimpulan hukum, bahwa yang ditolak adalah perkara yang bukan termasuk ajaran atau agama Nabi Muhammad SAW. Sementara yang termasuk bagian ajaran Rasulullah, maka diterima. Mereka menjelaskan, bahwa pemahaman sebaliknya, atau mafhum mukhalafah hadits tersebut adalah

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا هُوَ مِنْهُ، فَهُوَ مَقْبُولٌ.

“Barangsiapa melakukan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita ini, yang termasuk darinya, maka hal itu diterima.”

Penjelasan ini disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Dalil kedua, adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda:

«… فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

“… Maka sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru, dan setiap hal baru adalah sesat.”

Menurut mayoritas ulama, hadits ini merupakan hadits umum yang dikhususkan (‘am makhshush). Bila makna hadits ini tidak dikhususkan, maka semua hal baru akan dihukumi sesat, baik urusan agama maupun dunia, atau urusan ibadah, tradisi maupun mu’amalah. Itu tidak mungkin. Lafazh “Kullu” pada hadits ini, seperti pada ayat:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا

“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.” (QS. Al-Ahqaf: 25)

وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

“Dan dia (Bilqis) dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. Al-Naml: 23)

Keterangan ini dapat dilihat pada Syarah Muslim oleh Imam Nawawi. Melalui keterangan ini dapat diambil kesimpulan, bahwa tidak semua bid’ah itu jelek atau sesat.

Terdapat Istilah bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idhafiyah. Apa maksudnya?

Bid’ah haqiqiyah adalah sesuatu yang baru, baik asal maupun sifatnya (مَا أُحْدِثَ بِأَصْلِهِ وَوَصْفِهِ), artinya: suatu perbuatan yang tidak memiliki dalil, baik dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun metode istidlal yang diakui para ulama, baik secara umum maupun terperinci. Misalnya adalah praktik ibadah yang sama sekali tidak disyariatkan, seperti ibadah kaum musyrikin dengan cara bersiul dan bertepuk tangan.

Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)

Kategori bid’ah inilah yang ulama sepakat, bahwa hal itu bid’ah yang jelek (madzmumah).

Sementara bid’ah idhafiyah adalah sesuatu yang baru dalam sifatnya, namun tidak baru dalam asalnya (مَا أُحْدِثَ بِوَصْفِهِ لاَ بِأَصْلِهِ), artinya: suatu perbuatan yang secara umum memiliki dalil, baik dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun metode istidlal yang diakui para ulama, namun terkait cara dan aturannya tidak terdapat penjelasan secara terperinci.

Pada bid’ah kategori inilah para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama, bid’ah jenis ini boleh dengan beberapa syarat. Sedang menurut al-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, dan Ibnu Daqiq al-’Id, tidak boleh.

Apa contoh bid’ah idhafiyah itu?

Salah satu contohnya adalah hadits tentang Bilal berikut ini.

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ: قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ ? «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري ومسلم.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ? bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?” Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau ? berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah.” Nabi ? berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits ini memberikan faidah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi pun membenarkannya. Nabi Muahammad belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi Muhammad. Ternyata Nabi Muhammad membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat.

Contoh lain adalah mengenai redaksi shalawat Nabi. Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi ? yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam ?.

Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud berikut ini:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام، ص/٣٦).

Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan redaksi shalawat Sayidina Abdullah bin Abbas berikut ini:

اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤْلَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَاْلأُوْلَى كَمَا آتَيْتَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام (ص/٧٦).

Syaikh Ibn al-Qayyim juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam ‘Alqamah al-Nakha’i, seorang tabi’in, sebagai berikut:

صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. (الشيخ ابن قيم الجوزية، جلاء الأفهام، ص/٧٥).

Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam al-Syafi’i sebagai berikut:

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام ص/٢٣٠).

Demikian beberapa redaksi shalawat Nabi ? yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam. Hal tersebut yang menjadi inspirasi bagi para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga lahirlah shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, al-Fatih, al-Munjiyat dan lain-lain.

Sementara contoh bid’ah hasanah dalam 4 madzhab, bisa disebutkan contohnya saja?

Contoh bid’ah hasanah dalam madzhab Hanafi adalah melafalkan niat shalat (disebutkan dalam Hasyiyah Ibn Abidin 1/416, dan Ibnu Nujaim, al-Bahr al-Raiq 1/293), penulisan nama surat dan penomoran Ayat (disebutkan dalam al-Fatawa al-Hindiyah 5/323), penyusunan disiplin ilmu dan pembangunan madrasah (disebutkan dalam Bariqah Mahmudiyah 1/72). Kemudian tentang membaca al-Fatihah dan lainnya, Serta Mengeraskannya setelah Shalat (Bariqah Mahmudiyah 1/98), dan berdzikir menggunakan tasbih (dijelaskan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 21/259)

Sementara contoh bid’ah hasanah dalam madzhab Maliki antara lain: membangun sekolah dan pesantren (disebutkan oleh Ibnu al-Hajj, al-Madkhal 4/259), shalat tarawih (disebutkan oleh al-Subki, Fatawi al-Subki, 2/107), ucapan muadzdzin (bilal) sebelum khutbah Jum’at (disebutkan dalam al-Fawakih al-Dawani 1/264), shalawat setelah adzan (disebutkan dalam Hasyiyah al-Dasuqi 1/193), berdoa untuk sahabat dalam khutbah (disebutkan dalam Hasyiyah al-Adwi ‘ala al-Kifayah 1/374), dzikir dan doa bersama setelah shalat (disebutkan dalam al-Fawakih al-Dawani 1/214).

Sedangkan contoh bid’ah hasanah dalam Madzhab Syafi’I antara lain tentang bersalaman tangan setelah shalat Subuh dan Ashar (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 3/488), memperbagus tulisan, memperjelas, dan memberi titik ayat-ayat al-Qur’an (Al-Ghazali, Ihya Ulmuddin (1/276), membuat minbar, membangun pesantren dan sekolah (Abu Syamah, Al-Ba’its h. 23), Marqa (“Bilal”) pada shalat Jum’at (Hasyiyah Qulyubi, 1/326), Shalat Tarawih (Al-Baihaqi, Fadhail al-Auqat, h. 267), berkumpul untuk membacakan al-Qur’an bagi orang meninggal dunia (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj 3/199), mencium mushaf al-Qur’an (Syarh Sunan Ibn Majah 1/263), memperingati maulid Nabi (Al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, 1/229)

Contoh bid’ah hasanah dalam Madzhab Hanbali antara lain tentang pakaian Ulama (Majmu’ al-Fatawa 11/510), kodifikasi al-Qur’an dan Shalat Tarawih (Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Rasail al-Syakhsyiyah, 1/107), penggunaan tasbih (Majmu’ al-Fatawi 22/506).

Faris Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *