Andai Manusia Melihat Surga dan Neraka

Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kalian melihat apa yang aku lihat, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis,sabda Rasulullah.

Apa yang engkau lihat?” tanya sahabat.

Aku melihat surga dan neraka.” (HR Muslim)

Ciri orang bertakwa yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an adalah orang yang beriman kepada hal ghaib. Dalam surat kedua, yakni al-Baqarah, ayat pertama sampai ketiga, Allah berfirman (yang artinya): “Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…”

Dalam pengertian mudah, ghaib itu sesuatu yang tidak terlihat. Nah, inilah ujian bagi manusia: sesuatu yang tidak terlihat, namun harus diyakini kebenarannya!

Pahala dan dosa, surga dan neraka, kesemuanya tidak langsung diperlihatkan oleh Allah di dunia ini. Dan andai pahala dan dosa, surga dan neraka itu langsung diperlihatkan oleh Allah, dapat dijamin, seluruh manusia akan berbuat taat, dan tidak akan ada satu pun yang berbuat maksiat.

Contohnya, orang melaksanakan shalat Subuh dua rakaat. Seusai mengakhiri shalatnya dengan salam, pahalanya langsung dibayar tunai oleh Allah ketika itu juga. Ia membuka sajadahnya, di situ ada uang satu juta sebagai balasan shalatnya. Apa yang akan dia lakukan? Ia akan terus melaksanakan shalat, tidak akan pernah sekalipun meninggalkannya.

Padahal itu shalat sendirian. Dalam suatu hadits disebutkan, shalat berjamaah lebih baik dari shalat sendirian sampai 27 derajat. Maka misalnya, dia melaksanakan shalat Subuh itu secara berjamaah. Setelah dipimpin oleh imam, seusai salam, diumumkan, silakan para jamaah shalat membuka karpet masjid. Ternyata, di bawah karpet itu tidak hanya terdapat uang satu juta, tapi 27 juta!

Apa yang akan terjadi? Dapat dijamin, masjid-masjid akan dipenuhi orang shalat berjamaah. Mengapa? Karena hasilnya langsung dapat dilihat, tidak ghaib. Demikian pula dengan ibadah-ibadah lain yang telah dijelaskan keutamaannya. Misalnya:

  • Wudhu dengan sempurna dan berdoa setelah wudhu, dengan keutamaan dibukanya delapan pintu surga dan orang yang melakukannya akan memasuki surga melalui pintu mana yang dia suka (lihat: HR Muslim nomor 234)

  • Melangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan kewajiban agama, dengan keutamaan satu langkah dapat menghapus satu dosa, dan langkah lainnya mengangkat derajatnya di sisi Allah. (lihat: HR Bukhari nomor 477 dan HR Muslim nomor 649)

Andai semua keutamaan itu diperlihatkan sekarang – sekali lagi – semua orang akan rajin melakukannya.

Demikian pula sebaliknya, anda dosa dan neraka diperlihatkan sekarang di dunia, dapat dijamin, seluruh orang akan takut melanggar kewajiban agama. Satu misal, Allah berfirman dalam Surat Maryam ayat 59 (yang artinya): “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang meremehkan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka kelak mereka akan dilemparkan di al-ghayy. (QS. 19:59)

Dalam terjemahan al-Qur’an, “fa saufa yalqauna ghayya” di akhir ayat tersebut diartikan, ‘maka kelak mereka akan menemui kesesatan.’ Namun dalam beberapa kitab tafsir dijelaskan, maknanya adalah bahwa siapa yang meremehkan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, akan dilempar ke tempat bernama ghayy.

Apakah ghayy itu? Menurut Ibnu Mas’ud, ghayy adalah suatu lembah di dasar neraka jahannam. Ka’ab menambahkan, ghayy adalah lembah paling besar dan paling panas di neraka jahannam, di dalamnya terdapat sumur bernama bahim. Setiap kali neraka berguncang, Allah membuka sumur itu dan api neraka makin berkobar. Pakar tafsir lainnya dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas menjelaskan, karena begitu panasnya, lembah-lembah lain yang ada di neraka sampai memohon perlindungan dari panas lembah ghayy. (lihat: Tafsir al-Qurthubi, 309)

Dus, seandainya itu diperlihatkan sekarang, apa yang terjadi? Misalnya seseorang dengan mudah meninggalkan shalat Ashar, tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat sama sekali. Lalu, di hari itu juga, dia diperlihatkan bagaimana mengerikannya neraka jahannam dan menyeramkannya lembah ghayy. Dapat dijamin, ia akan ketakutan dan tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.

Maka beruntunglah orang yang kuat keimanannya pada sesuatu yang ghaib. Dia akan istiqamah beribadah dan tidak akan lalai. Sungguh rugi orang yang lalai pada hal-hal ghaib, pada keberadaan surga dan neraka, pada pahala dan dosa. Ia baru sadar dari lalainya ketika sudah meninggal dunia, saat harus melihat balasan-balasan yang ghaib itu.

Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan: “An-nasu niyamun wa idza matu intabahu (manusia itu tidur, dan bila mati, mereka baru tersadar).”

Bagaimana Meyakini Hal Ghaib?

Untuk makin meningkatkan keimanan pada hal ghaib, setidaknya ada dua cara, yaitu: Pertama, sesuatu yang ghaib, umumnya memiliki padanan atau kemiripan dengan sesuatu yangtidak ghaib. Maka, untuk sekadar “menggambarkan” sesuatu yang ghaib bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Kedua, informasi yang kita dapat melalui pendekatan ilmiah, lebih kuat dan mendalam, daripada informasi yang kita dapat melalui penglihatan (rukyah ilmiah aqwa minar-rukyah bashariyah).

Pertama, Hal Ghaib Umumnya Memiliki Padanan dengan yang Tidak Ghaib.

Oleh karenanya dalam al-Baqarah ayat 25 diceritakan, kelak penghuni surga akan diberi buah-buahan. Setelah mereka menerima rezeki itu, mereka merespon, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.”

Artinya, mereka akan diberi beberapa jenis buah-buahan, yang dulu pernah mereka temui di dunia. Di antara buah surga adalah pisang dan delima, dan kedua nama buah ini ada pula di dunia. Namun ternyata, al-Qur’an menegaskan, wa utu bihi mutasyabiha: Mereka diberi buah-buahan yang serupa, tapi tidak sama!

Contoh kedua, Rasulullah pernah menjelaskan tentang panjang pintu surga (seuatu yang ghaib), dengan gambaran jarak antara Makkah dan Hajar, atau Makkah dan Bushra (sesuatu yang tidak ghaib). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda (yang artinya), “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, sesungguhnya jarak dua sisi pintu surga, di antara pintu-pintu surga itu, adalah seperti Makkah dan Hajar, atau Makkah dan Bushra.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini, terdapat mukjizat Rasulullah. Dia menyebutkan dua jarak, yaitu Makkah ke Hajar, dan Makkah ke Bushra, dengan pilihan kata atau diksi “atau”. Itu artinya, jarak Makkah ke Hajar, itu sama dengan jarak Makkah ke Bushra.

Rasulullah mengatakan itu 15 abad yang lalu, di zaman belum ditemukannya alat pengukur jarak antar kota, atau atlas dengan segala rumus skalanya. Sekarang, dengan bantuan google earth misalnya, kita dapat mengetahui, ternyata kedua jarak itu memang sama persis: 1.372 Kilometer.

Dalam kasus ini, Rasulullah menjelaskan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang tidak ghaib. Ternyata, penjelasan Rasulullah tidak terbantahkan secara ilmiah. Pintu dalam struktur bangunan adalah sesuatu yang ringan dibandingkan dengan bagian bangunan lainnya. Itu pun penjelasan Rasulullah begitu valid. Masihkah kita tidak memercayai hal-hal ghaib lain yang telah dia sampaikan?

Kedua, Informasi Ilmiah Lebih Mendalam dari Informasi Penglihatan

Kita ambil contoh sebagai berikut. Terdapat kejadian kecelakaan di jalan raya, yaitu sepeda motor bertabrakan dengan minibus. Kita yang tergesa-gesa, atau karena memiliki sifat trauma tertentu, tidak sempat berhenti lama. Namun kita tahu, di tempat itu telah terjadi kecelakaan.

Informasi yang kita dapat melalui penglihatan ini tidak begitu mendalam. Kita hanya tahu telah terjadi kecelakaan, tanpa mengetahui siapa korbannya, dari mana dia berasal, bagaimana kondisinya, siapa pengendara minibus naas itu, dan seterusnya. Informasi yang kita dapat terbatas, karena kita tidak meneliti lebih lanjut.

Berbeda misalnya, bila kita mengetahui kejadiaan kecelakaan itu melalui pemberitaan media masa. Wartawan melaporkan kejadian kecelakaan itu dengan detil. Kita jadi tahu siapa pengendara sepeda motor itu, siapa namanya, asalnya dari mana, bagaimana kondisinya, demikian pula tentang pengendara minibus itu, bahkan sampai plat nomor kedua kendaraan itu dijelaskan secara detil hingga kita dapat mengetahuinya. Padahal, kita tidak melihat kejadian itu secara langsung.

Itu artinya, informasi dari penglihatan terbatas, sementara informasi melalui pendekatan ilmiah itu lebih mendalam dan meyakinkan. Surat kabar kita adalah al-Qur’an, wartawannya adalah Nabi Muhammad, saksinya adalah Malaikat Jibril, narasumbernya adalah Sang Maha Benar, Allah SWT.

Dengan demikian, untuk meyakini surga dan neraka, tidak perlu melihatnya terlebih dulu. Kewajiban kita adalah mempelajari penjelasan al-Qur’an dan Nabi Muhammad tentang hal-hal yang kita tak dapat melihatnya secara langsung itu.

Jangan sampai kita memiliki keraguan pada hal ghaib. Keraguan tidak akan menyelamatkan kita. Orang boleh ragu, api itu panas atau tidak. Namun ketika dia benar-benar menyentuhnya, ia akan merasakan panasnya dan tidak akan diselamatkan oleh keraguannya.

Manusia boleh ragu atau lalai dengan adanya dosa dan neraka. Namun di akhirat kelak, keraguan dan kelalaiannya itu tidak akan menyelamatkannya.

Wallahul-Musta’an.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *