Imam Ahmad al-Muhajir adalah leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia. Beberapa pihak menuduh, beliau berpaham Syi’ah Imamiyah. Tudingan ini perlu diluruskan, karena sedikit banyak akan mendistorsi sejarah tentang penyebaran Islam di Nusantara, dibawa oleh kaum Syi’ah atau Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Menelusuri akar sejarah itu penting. Islam di Indonesia, telah ditahbiskan oleh sejarah dibawa oleh para juru dakwah bermadzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Namun, muncul pendapat-pendapat berbeda, bahwa Islam menyebar di negeri ini melalui juru dakwah beraliran Syi’ah.
Tuduhan ini sebenarnya sudah klasik, bahkan menimpa sumber pokoknya. Dituduhkan, Imam Muhajir Ahmad bin Isa itu adalah penganut Syi’ah Imamiyah. Pelurusan sejarah ini perlu dilakukan, mengingat keberadaan Imam Muhajir sebagai leluhur Walisongo dan Habaib atau Alawiyin di Indonesia. Baik Walisongo maupun Habaib, memiliki pengaruh besar dalam usaha penyebaran dakwah Islam di negeri ini. Namun di sisi lain, mereka dituduh sebagai pembawa dan penyebar paham Syi’ah Imamiyah.
Siapakah Imam Muhajir Ahmad bin Isa? Benarkah beliau berpaham Syi’ah, sehingga sedikit banyak diikuti oleh Walisongo dan Alawiyin (habaib) di Indonesia?
Bagi yang membaca sejarah Hadhramaut, Tarim khususnya, atau sejarah masuknya Islam ke Asia Tenggara, Indonesia khususnya, maka ia tak akan merasa asing dengan nama al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau adalah salah seorang pembesar (kibar) ulama keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhijrah dari Bashrah di Irak, ke Hadhramaut di Yaman.
Hijrah ini membawa perubahan dan dampak besar. Al-Imam al-Muhajir yang merupakan keturunan ke-9 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menyelamatkan generasi keturunan Nabi, serta menyelamatkan akidah Islam ahlussunnah wa al-jama’ah. Tidak hanya itu, beliau bahkan berhasil memperkokoh bangunan keyakinan yang benar itu. Hal itu awalnya memang di Hadhramaut, namun dari titik inilah keberhasilan dakwah ahlussunnah wa al-jama’ah itu berasal.
Kehijrahan beliau dari Bashrah, kemudian menetap di beberapa tempat, hingga akhirnya bermukim di desa terpencil bernama Husayyisah, tak hanya mengubah kondisi Hadhramaut, namun juga jagad dunia Islam pada umumnya.
Keturunan al-Imam al-Muhajir di Hadhramaut, khususnya di kota Tarim, telah menjadi pejuang dan juru dakwah Islam yang tangguh. Kota Tarim yang sebelumnya juga telah dihuni oleh para ‘alim dari keluarga al-Khatib dan Ba Fadhal, makin bersinar dengan bermukimnya keturunan Baginda Rasul dari jalur al-Imam al-Muhajir ini. Berkat perjuangan al-sadah al-‘awalwiyyin yang mulai menempati Tarim sejak 461 H, kota ini dikenal sebagai pusat ilmu dan penyebaran Islam.
Pakar sejarah mengatakan demikian, karena melalui perantau yang berasal dari Tarim pada khususnya, dan Hadhramaut pada umumnya, Islam menyebar hingga ke wilayah timur Asia, yakni India, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Pilipina, Singapura, juga ke belahan Afrika, di antaranya Kongo, Somalia, Tanzania, dan Sudan.
Wali Songo yang sangat tersohor di Indonesia, sebagian besar leluhurnya berasal dari kota ini. Yang dimaksud adalah Sayyid Muhammad Shahib Mirbath dan Sayyid Ali Khali’ Qasam. Keduanya keturunan Imam Ahmad al-Muhajir (baca: Manaqib al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia, karya penulis).
Berbagai rujukan ilmiah menyebut pendapat terpopuler bahwa al-Imam al-Muhajir bermadzhab Sunni Syafi’i. Namun, sebagian kalangan menyebut beliau sebagai seorang Imamy, alias penganut Syi’ah yang mewajibkan untuk mengikuti Imam Dua Belas (Itsna ‘Asyariyah). Nama madzhab ini dinisbatkan kepada imam-imam dua belas (al-aimmah al-itsna ‘asyar) itu, yakni al-Hadi, al-Jawwad, al-‘Askari, al-Ridha, al-Kazhim, dan seterusnya sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan Rasululullah.
Sudah maklum, al-Imam al-Muhajir mengikuti madzhab keluarganya yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, yang menjadi pondasi madzhab Syafi’i. Demikian pula dari segi akidah, al-Imam al-Muhajir menjadi pengikut setia madzhab leluhurnya, di antaranya Imam al-Baqir dan Imam Zainal Abidin.
Beliau mengikuti madzhab para imam yang tidak lain adalah sebagian leluhurnya itu, karena memang tidak ditemukan perbedaan atau pertentangan antara akidah para imam Ahlul Bait dengan akidah Ahlussunnah. Tentang tidak adanya perbedaan akidah itu, dijelaskan dalam kitab-kitab yang khusus membahasnya, di antaranya kitab al-Farqu baina al-Firaq karya al-Baghdadi (Alwi bin Muhammad bin Ahmad Bilfaqih, Min A’qabi al-Budh’ah al-Muhammadiyah al-Thahirah, h. 138).
Sebagai tamsil, dalam karya al-Imam al-Syafi’i, baik dalam prosa maupun syair-syair beliau, terkadang ditemukan “tasyayyu’ (loyalitas) moderat” kepada Ahlul Bait. Dan hal ini tidak mengeluarkan beliau dari kesunniannya.
Dengan demikian, al-Imam al-Muhajir adalah penganut madzhab Syafi’i yang dalam pandangan beliau, itu adalah madzhab para leluhurnya.
Al-‘Allamah Abu Bakar bin Syihab mengatakan:
مَذْهَبِي مَذْهَبُ الوَصِيِّ أَبِي السِّبْطَيْنِ فَالحَقُّ دَائِرٌ حَيْثُ دَارَا
وَبَنِيْهِ الأَئِمَّةِ العَلَوِيِّيْنَ الألِى حَوَّلُوْا العَتِيْمَ نَهَاراً
Madzhabku adalah madzhab al-Washiyy Abu al-Sibthain (yakni Imam Ali bin Abi Thalib), dan kebenaran berputar ke mana ia berputar
Dan (madzhabku adalah madzhab) keturunannya, para imam ‘Alawiyyin yang mengubah tanah tandus menjadi sungai.
Di antara sejarawan yang menyebut bahwa al-Imam al-Muhajir adalah seorang imamy adalah Ibnu Ubaidillah al-Segaf dalam kitabnya Nasim Hajir dan Sayyid Shalih bin Ali al-Hamid dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip.
Namun menurut Sayyid Alwi bin Muhammad Bilfaqih, pendapat dalam kedua kitab tersebut, juga dalam kitab-kitab lain yang menyebut bahwa al-Imam al-Muhajir adalah seorang imamy, tidak berdasarkan atas penjelasan ilmiah yang dapat diterima.
Beberapa ulama kemudian membantah tuduhan ini. Di antaranya Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab A-immat al-Bashar. Di antara bantahan yang dikemukakan adalah, bahwa madzhab Syi’ah Imamiyah baru ada setelah masa itu. Lalu bagaimana dikatakan beliau adalah seorang pengikut Syi’ah Imamiah, sedangkan aliran itu masih belum muncul?
Sebaliknya, pakar sejarah menegaskan bahwa Imam Ahmad al-Muhajir adalah penganut madzhab Sunni Syafi’i. Bahkan, beliaulah yang memasukkan dan menyebarkan madzhab tersebut di Hadhramaut.
Saat beliau tiba, daerah ini terbagi menjadi beberapa otoritas, yakni wilayah yang dikuasai kaum Ibadhiyah, Bani Ziyad, dan Ya’afirah. Namun otoritas yang paling berkuasa adalah madzhab Ibadhiyah. Namun dengan keilmuan dan keberaniannya, al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa berhasil menyebarkan madzhab Sunni Syafi’i di Hadhramaut. Madzhab Ibadhi hilang dari wilayah itu secara bertahap.
Berkat al-Imam al-Muhajir dan murid-muridnya yang Sunni, penduduk Hadhramaut berubah menjadi penganut Madzhab Sunni Syafi’i. Sampai akhirnya, di ujung abad ketujuh hijriyah, madzhab Ibadhiyah benar-benar musnah dari bumi Hahdramaut, digantikan oleh madzhab Sunni.
Sejarawan kontemporer berpendapat, sebelum kedatangan al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, tidak ada seorang ulama Ahlussunnah atau ulama Syafi’i di Hadhramaut. Karena itu, Imam Ahmad bin Isa, dalam penilaian mereka, bukan hanya penyebar madzhab Syafi’i . Lebih dari itu, sesuai pendapat mereka, al-Imam al-Muhajir lah yang pertama kali memasukkan dan menyebarkan madzhab tersebut di wilayah yang terletak di selatan Yaman ini.
Sedang terkait tuduhan bahwa beliau penganut Imamiyah, terdapat beberapa penjelasan untuk menjawabnya. Pertama, mengikuti Ahlil Bait bukan berarti penganut Syiah, sebagaimana pengikut Ahlussunnah bukan berarti kaum yang membenci Ahlul Bait. Sudah maklum bahwa al-Imam al-Muhajir adalah orang yang sangat menjaga ajaran keluarga dan leluhurnya. Karena di dalam lingkungan keluarga itulah, ia mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Sedang leluhur beliau merupakan sebagian imam yang diyakini oleh kaum Syi’ah sebagai imam yang wajib mereka ikuti (Aimmah Itsna ‘Asyariyyah). Lalu, bila al-Muhajir mengikuti ajaran leluhurnya itu, apakah itu berarti beliau adalah penganut Imamiyah?
Perhatikan statemen al-Imam al-Syafi’i, yang saat beliau hidup, juga dituduh sebagai penganut Syi’ah. Beliau dinilai sebagai Rafidhi karena kecintaannya kepada Ahlul bait. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam al-Intifa’ dan kitab lainnya, bahwa al-Imam al-Syafi’i menuturkan:
إَنْ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ
فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلاَنِ أَنِّي رَافِضِي
Jika mencintai keluarga Muhammad dianggap Rafidhi
Biarkan jin dan manusia menyaksikan bahwa aku Rafidhi.
Kaum Rafidhah adalah Syi’ah yang ekstrim, sedangkan al-Syafi’i sama sekali bukan termasuk mereka. Namun, kecintaan beliau kepada keluarga Nabi Muhammad membuat beliau mengeluarkan pernyataan itu (lihat: Umar Abdullah al-Kamil, Menyingkap Hijab Kebenaran – Hubungan Ahlul Bait dan para Sahabat Nabi SAW, penerjemah Thohir Abdullah al-Kaff, h. 195-196.)
Seperti dijelaskan semula, mencintai keluarga Nabi, atau mengikuti sebagian imam yang oleh kaum Syi’ah diklaim sebagai Imam Dua Belas, bukan berarti mengindikasikan bahwa orang tersebut pengikut Syi’ah. Sebagaimana mencintai sahabat Abu Bakar, alias menjadi pengikut Ahlussunnah, bukan mengindikasikan bahwa orang tersebut membenci Ahlul Bait. Pemahaman seperti inilah yang harus disampaikan kepada pihak-pihak yang telah menuduh al-Imam al-Muhajir sebagai penganut Syi’ah Imamiyah.
Al-Imam al-Syafi’i menjelaskan:
إِذَا نَحْنُ فَضَّلْنَا عَلِيًّا فَإِنَّنَا
رَوَافِضُ بِالتَّفْضِيْلِ عِنْدَ أَهْلِ الجَهْلِ
وَفَضْلُ أَبِي بَكْرٍ إذاَ مَا ذَكَرْتُهُ
رُمِيْتُ بَنَصْبٍ عِنْدَ ذِكْرِ لِلْفَضْلِ
فَلا َزِلْتُ ذَارَفْضٍ وَنَصْبٍ كِلاَهُمَا
بِحُبِّهِمَا حَتَّى أُوْسِدَ فِي الرَّمَلِ
Apabila kami mengutamakan Ali, maka kami
Adalah Rafidhah menurut orang-orang bodoh
Apabila aku menyebut keutamaan Abu Bakar
Aku dituduh memusuhi Ahlul Bait (nashibi) ketika menyebut keutamaannya
Maka aku tetap dianggap Rafidhi dan Nashibi kedua-duanya
Karena aku mencintai keduanya hingga aku berbaring di tanah.
Analisa lain yang digunakan sebagai pembenaran bahwa al-Muhajir pada mulanya adalah penganut Syi’ah, adalah fakta saat beliau baru pertama kali datang ke Hadhramaut. Sebagaimana dijelaskan, saat itu beliau tidak langsung tinggal di Syibam dan Tarim, sebagai dua kota besar di Hadhramaut. Beliau tinggal di Hajrain dan berpindah-pindah hingga Husayyisah, alias tidak langsung ke pusat kota, menurut pendapat ini, karena mereka masih menyembunyikan paham Syi’ah-nya dan “menunggu waktu” yang tepat untuk menampakkannya.
Disebutkan dalam kitab al-Fikru wa al-Mujtama’ fi Hadhramaut (hal 174), “Masa ‘uzlah bagi Bani Alawi di Bait Jubair adalah masa mereka berpegang teguh dengan pemikiran Syi’ah Imamiyah, yakni pemikiran imam-imam Bani Alawi itu. Dan masa indimaj (berbaur dengan penduduk lain) adalah masa mereka mau mengakui otoritas pemahaman Sunni dan madzhab Syafi’i.”
Kemudian disebutkan pada halaman 187, “Setelah selama sekitar 100 tahun mereka ‘uzlah dan mencoba berbagai kemungkinan, keturunan al-Muhajir menyadari, tidak ada cara lain bagi mereka kecuali mengikuti pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan Madzhab Imam Syafi’i yang berlaku di Hadhramaut, serta berbaur dalam masyarakat Sunni di Tarim pada tahun 521 H.”
Pendapat di atas menyebut al-Imam al-Muhajir dan keturunannya pada mulanya adalah penganut Syi’ah, dan mereka bersembunyi selama 100 tahun lamanya untuk menyembunyikan identitasnya itu. Pertanyannya, bila benar beliau penganut Syi’ah Imamiyah, dan kehijrahannya ke Hadhramaut didorong oleh niat untuk menyebarkan paham tersebut di sana, potensi apakah yang tidak beliau miliki?
Al-Imam Ahmad bin Isa adalah orang alim yang memiliki banyak pengikut setia, kaya raya, dan menjadi pimpinan bagi keluarga Ahlul Bait, yakni al-‘Uraidhiyah. Ia juga seorang cucu seorang Naqib di Bashrah. Bahkan saudara beliau, yakni Imam Muhammad bin Isa, telah menguasai beberapa wilayah di Irak, dan kondisi tetap demikian, hingga beliau meninggalkan semua itu karena lebih mengutamakan kehidupan akhirat.
Seandainya madzhab Imam Ahmad al-Muhajir bukan Sunni, maka beliau akan berusaha memperluas pengaruh politiknya, bahkan tidak menutup kemungkinan, kepentingan politis itu akan berubah menjadi kepentingan penyebaran akidah Syi’ah di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan. Namun, al-Imam al-Muhajir tidak memanfaatkan potensi itu untuk menyebarkan akidahnya. Bahkan beliau sendiri yang “membunuh” potensi itu dengan memerintahkan saudaranya yang banyak menguasai banyak wilayah, untuk meninggalkan dunia demi kehidupan akhirat.
Para sejarawan banyak mengisahkan perlawanan al-Imam al-Muhajir terhadap kaum Khawarij Ibadhiyah di Hadhramaut. Beliau berhasil dalam misi itu, padahal mereka adalah penguasa di Hadhramaut. Namun mengapa, bila kaum Sunni yang ada di Tarim dan Syibam diposisikan sebagai “lawan” bagi sang imam, beliau tidak mampu “mengatasinya”, padahal mereka tidak memiliki kekuatan dan otoritas seperti yang dimiliki kaum Ibadhiyah?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini “mematahkan” analisa bahwa al-Imam al-Muhajir adalah seorang imamy. Beliau tidak memasuki Tarim dan Syibam bukan karena menunggu waktu sampai memungkinkan bagi mereka untuk berbaur bersama penduduknya yang Sunni. Bahkan, bahasa yang digunakan dalam tuduhan itupun tidak tepat. Bagaimana bisa dikatakan al-Imam al-Muhajir dan keturunannya ber-’uzlah, dalam arti bersembunyi, karena tidak mampu berbaur dengan penduduk Tarim dan Syibam? Al-Imam al-Muhajir dan keturunannya tidak bersembunyi. Bahkan sebaliknya, mereka berdakwah dengan harta dan jiwa menghadapi paham Khawarij yang berkembang di Hadhramaut.
Hal lain yang mendalilkan bahwa al-Imam al-Muhajir bukan seorang Syi’ah, bahkan beliau adalah orang yang pertama kali memasukkan paham Sunni Syafi’i di Hadhramaut adalah bahwa sejarah tidak menyebutkan nama seorang ulama di zaman itu, kecuali al-Imam al-Muhajir dan keturunannya. Kondisi ini terus berlangsung hingga abad ke-5 hijriyah, yakni dengan munculnya seorang ulama dari selain keturunan beliau, Abul Makarim al-Khatib.
Ulama yang menegaskan hal tersebut adalah Sayyid Abdullah Bilfaqih dalam kitabnya Bahtsun fi al-Tarikh al-Mu’ashir li al-Hayah al-Tsaqafiyah wa al-Madzhabiyah bi Hadhramaut Qubail wa Mundzu Qudum al-Muhajir (Penelitian tentang Sejarah Modern dalam Kehidupan Budaya dan Madzhab di Hadhramaut, Sebelum dan Sejak Datangnya al-Muhajir).
Kitab yang masih berbentuk manuskrip ini membantah pendapat yang termaktub dalam Shafahat min al-Tarikh al-Hadhrami, karya Abu Wazir. Dalam bukunya itu, Abu Wazir menyebutkan tentang keberadaan Madzhab Syafi’i di Hadhramaut sebelum kedatangan al-Muhajir. Kitab Sayyid Abdullah Bilfaqih juga membantah analisa dalam kitab Janni al-Syamarikh karya al-Haddad yang sependapat dengan Abu Wazir. Namun Sayyid Abdullah Bilfaqih memiliki pendapat lebih kuat, karena beliau menukil pendapat para sejarawan dari kitab Anba’ al-Zaman fi Akhbar al-Yaman, sekaligus pendapat Abu Hauqal melalui Ibnu Khaldun.
Melalui pendapat Ibnu Khaldun yang juga keturunan Hadhramaut itu, dapat ditegaskan bahwa al-Imam al-Muhajir adalah ulama yang memasukkan dan menyebarkan madzhab Sunni Syafi’i di Hadhramaut (Alwi bin Muhammad bin Ahmad Bilfaqih, Min A’qabi al-Budh’ah al-Muhammadiyah al-Thahirah, h. 139.)
Wallahu a’lam.