Beberapa hari ini, grup medsos yang saya ikuti, membahas statemen seseorang yang intinya, tidak perlu membaca Ratib, karena sudah ada istighatsah, tidak perlu membaca Simthud Durar, karena sudah ada Shalawat Badar. Pembahasan tersebut berada di antara tumpukan bahasan keumatan lainnya. Muslim Rohingya. Baca al-Qur’an dengan langgam Jawa. Beras plastik.
Saya tidak mau terlibat polemik antara siapa yang mengatakan itu, mewakili siapa dia berbicara, apa motifnya, dan seterusnya. Hal terpenting dalam kasus semacam ini adalah mendudukkan masalah, lalu solusi. Ya, solusi yang langsung dapat dirasakan umat, tanpa harus terlibat lebih runcing dalam kecamuk perdebatan yang tidak perlu. Hingga yang muncul adalah pengutamaan suku, kelompok, afiliasi, dan jamaahnya sendiri. Ingat, teori Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, menempatkan penyebab pertama dan utama perbedaan umat Islam dalam rentang sejarahnya, adalah al-ashabiyah. Fanatisme berlebihan terhadap kelompoknya, dan itu merupakan warisan Jahiliyah.
Secara tekhnis dakwah dan di tengah hangatnya iklim keberagamaan Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Nusantara, “pembenturan” amaliah Ratib dengan Istighatsah, serta Shalawat Badar dengan Simthud Durar, dikhawatirkan memicu pada pengotakan penganut Aswaja itu sendiri. Lebih jelasnya, antara para pengamal Ratib dengan pengamal istighatsah, antara “da’i berbasis kultur” dengan “da’i non kultur”. Bahkan, antara habaib sebagai keturunan Rasulullah dengan para kiai, yang keduanya telah terbukti berperan besar dalam dakwah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di bumi Nusantara.
Istilah Ratib dan Simthud Durar memang secara tendensius merujuk pada amaliah para habaib dan muhibbin (pecinta habaib). Sementara istilah istighatsah dan shalawat badar merujuk pada amaliah yang selama ini dipraktikkan warga Nahdlatul Ulama (nahdliyyin). Sekali lagi, kedua kalangan ini merupakan khazanah berharga bagi Ahlussunnah Wal-Jama’ah di bumi Nusantara.
Sudah maklum, Ratib al-Haddad, adalah kumpulan doa dan zikir yang disusun oleh Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama abad 16-17 M dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Disebut penyusun, karena beliau menghimpun doa dan dzikir, baik dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Sekarang ini banyak bermunculan syarah atau keterangan, serta fadhilah Ratib tersebut, termasuk takhrij haditsnya. Sebenarnya Imam Abdullah al-Haddad memiliki kumpulan doa dan dzikir lainnya, misalnya al-Wirdul Lathif. Istilah Ratib juga dapat dinisbatkan pada Ratib al-Aththas, yang disusun oleh Habib Umar bin Abdurrahman al-Aththas, Huraidhah, Hadramaut.
Sementara Simthud Durar adalah kumpulan kisah maulid dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Kitab yang berjudul lengkap Simthud Durar fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya) ini disusun oleh ulama Hadramaut lainnya, yaitu Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi.
Baik Ratib maupun Simthud Durar ini, dibaca oleh umat Islam Indonesia, utamanya kalangan habaib dan muhibbin. Keberadaannya melengkapi khazanah amaliah umat, di samping amaliah dan tradisi islami lainnya. Dilihat dari perpektif Fiqh Ikhtilaf, keduanya bila disandingkan dengan amaliah seperti istighatsah dan Shalawat Badar, adalah ikhtilaf tanawwu’ (sesuatu yang berbeda, namun dapat dijadikan pilihan dan saling melengkapi), bukan ikhtilaf tadhadh (sesuatu yang berbeda dan saling menafikan atau bertentangan).
Bahkan, bila ditelusuri sejarah dan motifnya, amaliah-amaliah tersebut bersatu padu di Nusantara, tanpa harus dipertentangkan satu sama lain. Apalagi sampai disinyalir bahwa mengamalkan salah satu dan meninggalkan yang lain dapat menyebabkan kehancuran.
Sejarah penyusunan Shalawat Badar, sangat kental diwarnai nuansa “kerjasama” kalangan habaib dengan kiai. Yaitu antara Ketua NU Banyuwangi di era 60-an, Kyai Ali Mansur sebagai penyusun, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi sebagai konsultan, dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta sebagai perestu, bahkan penyebar Shalawat Badar (lihat: Antologi NU : Sejarah – Istilah – Amaliah – Uswah, karya H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan)
Bagaimana dengan posisi Ratib di tengah nahdliyyin? Kumpulan doa dan dzikir ini juga telah lama diamalkan warga NU. Bahkan, ulama kharismatik Nahdlatul Ulama, KHR As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, beberapa kali menasihati para santrinya untuk membaca Ratibul Haddad.
Dalam buku Rangkuman Sebagian Dawuh-Dawuh Almaghfurlah KHR As’ad Syamsul Arifin Kepada Santri, Pengurus, dan Umum, halaman pertama, disebutkan dawuh beliau tertanggal 27 Januari 1983:
-
“Rawatibul Haddad (Ratibul Haddad) adalah doa sapujagat, karena di dalamnya semua permohonan.”
-
“Santri sampai sekarang ini barakahnya Rawatibul Haddad.”
-
“Baca Haddad (Ratibul Haddad, pen) akan mempengaruhi ilmu dan rizqinya.”
Pada tanggal 6 Agustus 1984, menjelang HUT kemerdekaan RI, KHR As’ad Syamsul Arifin mengulang pesan agar Ratibul Haddad dibaca, bahkan dihapalkan:
-
“Tanggal 17 Agustus tidak prei (santri tidak libur, pen), berkumpul baca tahlil, Haddad (Ratibul Haddad) dan munjiyat, doakan pahlawan yang gugur, dan agar pelaksana pemerintah baik.”
-
“Santri harus hafal Haddad, barakahnya nampak.”
Menariknya, di halaman terakhir buku yang dikeluarkan PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo itu, KHR As’ad Syamsul Arifin menasihati umat untuk istiqamah membaca Ratibul Hadad, dan istighatsah sekaligus.
Beliau Dawuh, “Istiqamah baca Ratibul Haddad: (1) Jadi pagar, (2) terhindar dari asah. Kalau tani, taninya tidak asah. Dagang, dagangannya tidak asah. Punya santri, santrinya tidak asah. Istiqamah baca Istighatsah: jadi pagar, pasti kaya, terutama kaya hati.”
Akhirul kalam, bila dicermati, kegiatan bertabligh di Nusantara sejak dulu hingga saat ini, tetap berada di tangan para kiyai dan alawiyin (habaib). Mereka tersebar di pelosok-pelosok kepulauan Indonesia. Perpaduan dan kerjasama itu tentu akan makin menguatkan Islam, berdasarkan akidah dan amaliah Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Kita jaga, bukan kita runtuhkan.
Kita kuatkan, bukan kita rapuhkan.
Kita padukan, bukan kita senjangkan.
Wallahu al-Musta’an.
Faris Khoirul Anam, Pengurus Aswaja NU Center Jawa Timur