(Tanggapan Positif untuk Tulisan KH Muhammad Najih Maimoen)
Bagian 1
Oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. (Aswaja NU Center Jatim)
KH Muhammad Najih Maimoen – biasa pula disapa Gus Najih – dikenal sebagai ulama istiqamah dan memiliki ghirah tinggi untuk menjaga akidah umat. Hal itu tercermin pula dalam tulisan beliau tentang Islam Nusantara yang dirilis baru-baru ini. Tulisan itu diberi tajuk “Makalah Islam Nusantara KH Muhammad Najih Maimoen: Setuju Tidak Setuju.”
Saat pertama kali membaca judul makalah tersebut, saya menduga akan ada alinea-alinea yang menampilkan alasan setuju dan tidak setuju. Namun dengan kegigihan melawan pemikiran kaum liberal, beliau mendominasikan tulisan tersebut dengan kritikan-kritikan tajam terhadap mereka. Pasalnya, merebak indikasi, Islam Nusantara telah dan akan dijadikan jargon untuk memuluskan agenda liberalisasi agama. Maka, ada potensi yang dimaksud dengan kalimat “setuju tidak setuju” itu adalah bahwa beliau setuju untuk tidak menyetujui gagasan Islam Nusantara.
Sisi “setuju” Gus Najih pada Islam Nusantara dalam tulisan tersebut memang sulit saya temukan secara langsung. Saya perlu hati-hati pula untuk tak segera menyimpulkan bahwa pada sisi tertentu beliau setuju. Hingga akhirnya, saya menemukan “sesuatu” di dua alinea terakhir makalah Gus Najih. Dua alinea tersebut tidak dengan gegabah saya artikan sebagai kesetujuan Gus Najih pada Islam Nusantara. Namun, rangkaian kalimat itu – yang sekaligus menjadi bagian penutup – saya nilai sebagai pandangan seorang guru yang harus di-follow up oleh santri. Kedua alinea itu menjadi pemantik bagi saya untuk menulis dan memberikan tanggapan ini. Dua alinea terakhir itu pula yang membuat saya memberi judul tanggapan ini dengan kata kunci “mengawal”.
Dua alinea terakhir makalah Gus Najih tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:
“Islam Nusantara sebenarnya gambaran Islam yang tidak perlu dipermasalahkan. Islam tahlilan, yasinan, ziarah kubur, tawassul, muludan dan lain sebagainya, inilah Islam Nusantara, sebuah tatanan yang sudah baku dan mengakar di tengah-tengah umat. Sebuah syari’at dan ajaran Islam yang dibawa para Walisongo untuk meng-Islamkan Nusantara. Masalahnya, kalau tiba-tiba istilah tersebut sekarang dimunculkan lagi, diobok-diobok dan digembar-gemborkan oleh beberapa tokoh dan orang-orang yang mempunyai rekam sepak terjang yang menyimpang dari Syari’at dan mempunyai raport merah dalam berakidah, ini perlu dicurigai dan diwaspadai. Kalau mereka mengatakan bahwa Islam Nusantara hadir untuk melestarikan dan menjaga budaya dan tradisi nahdliyin, sebagaimana yang dipahami dan dipublikasikan kepada para kiai dan tokoh masyarakat, itu merupakan pengelabuhan dan sebuah kebohongan besar. Namun bukan hanya itu, Islam Nusantara sebenarnya “wajah baru” dari proyek Liberalisasi Islam di Indonesia.
“Jika yang mengawal Islam Nusantara adalah para ulama pesantren yang istiqamah mengajar kitab salaf, membela-memperjuangkan ajaran dan membentengi akidahnya, maka kita dapathusnudhan, konsep Islam Nusantara ala ulama salaf dapat mempertahankan estafet ajaran Islam yang benar dan lurus serta dakwah Islam yang tegas namun tetap santun dan merakyat sesuai warisan ulama-ulama Nusantara pendahulu. Akan tetapi, jika Islam Nusantara ini diusung dan didakwahkan oleh tokoh-tokoh nyleneh yang sering menggembar-gemborkan ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, maka hal ini akan menjadi pintu gerbang potensial untuk merusak tatanan aqidah dan syari’at Islam.”
Secara eksplisit Gus Najih menasihatkan, Islam Nusantara semestinya dikawal oleh para ulama pesantren yang istiqamah mengajar kitab salaf, membela-memperjuangkan ajaran dan membentengi akidahnya. Bila itu yang terjadi, kita dapat husnuzhzhan, konsep Islam Nusantara ala ulama salaf dapat mempertahankan estafet ajaran Islam yang benar dan lurus, serta dakwah Islam yang tegas, namun tetap santun dan merakyat sesuai warisan-warisan ulama-ulama Nusantara pendahulu.
Pernyataan Gus Najih tersebut meniscayakan keharusan munculnya anti tesa – anti tesa yang banyak. Usaha ini berguna untuk menkonter gagasan liberalisme, pluralisme, sinkritisme, melokalisasi Islam, anti Arab, dengan dalih dan jargon Islam Nusantara. Simpelnya, harus ada usaha untuk “membersihkan” Islam Nusantara dari kepentingan-kepentingan yang tidak baik.
Pengawalan terhadap Islam Nusantara sesungguhnya disebabkan oleh berbagai kekhawatiran atas adanya agenda dan tujuan tidak baik itu. Seperti tercermin dalam makalah tersebut, kekhawatiran Gus Najih terhadap Islam Nusantara dapat disimpulkan dalam beberapa hal. Pertama, Islam Nusantara menjadi agenda penyebaran liberalisme dan pluralisme. Kedua, Islam Nusantara mengajak umat untuk mengakui dan menerima berbagai budaya sekalipun budaya tersebut kufur dan khas abangan. Ketiga, Islam Nusantara akan melokalisasi dan mengkotak-kotakkan Islam. Keempat, Islam Nusantara menjadi agenda anti-Arab, selanjutnya seseorang tidak lagi fanatik pada keislamannya, bahkan luntur ghirah keislamannya.
Diakui atau tidak, Islam Nusantara selama ini memang “multitafsir”, atau sering saya sebut menjadi “bola liar” yang menggelinding ke sana ke mari tanpa arah. Kondisi ini berpotensi menjadikan Islam Nusantara dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Pihak yang berusaha mengawal dan membersihkan Islam Nusantara dari kepentingan liberalisme, sinkretisme, bahkan pemanfaatan oleh aliran Syi’ah, memiliki satu modal. Bekal itu berupa keyakinan bahwa gagasan ini bagaimana pun keluar dari rahim NU. Sementara di satu sisi, semua produk NU itu terikat oleh Qanun Asasi, AD-ART, Fikrah Nahdliyah, dan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah secara umum. Maka bila dalam wacana dan pengamalan Islam Nusantara melanggar prinsip-prinsip tersebut, secara otomatis gagasan itu akan batal secara organisasi. Mengawal Islam Nusantara agar tidak melanggar prinsip NU inilah yang harus diikhtiarkan.
Islam Nusantara dan Kepentingan Liberalisme
Islam Nusantara tidak boleh menjadi gerbong liberalisme, atau usaha untuk mereduksi syariat. Dalam mabda’ atau konsepnya, Islam Nusantara harus mengakui bahwa secara umum, ajaran-ajaran Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu ajaran statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy) dan ajaran dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy). Ajaran statis (tsabit) adalah ajaran yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dikondisikan dengan waktu atau tempat, meliputi pokok-pokok aspek teologi (ahkam ‘aqaidiyah), pokok-pokok aspek ibadah (ahkam ‘amaliyah), dan pokok-pokok aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah).
Rukun Iman, Rukun Islam, serta mengingkari apa dan siapapun yang disembah selain Allah adalah ajaran yang tidak dapat diubah dan dikondisikan (lihat QS an-Nahl: 36, QS al-Anbiya: 25, dan al-Syura: 13). Dakwah para Nabi, sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada wilayah tsabit ini tidak berbeda dan tidak berubah (lihat QS al-Baqarah: 136, QS al-Baqarah: 285, dan QS Ali Imran: 84).
Demikian pula, pokok-pokok aturan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan haji, tidak dapat diubah dan dikondisikan, kecuali dalam hal-hal parsial (juz-iyyat). Tentang akhlak, hal-hal pokoknya juga tidak berubah, seperti standar perilaku baik dan buruk, yang dikembalikan kepada konsep apakah suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat (qawa’id syari’ah) atau tidak bertentangan.
Sementara tentang mu’amalah dan siyasah syar’iyah dalam berbagai aspeknya, terdapat bagian statis (tsabit) meskipun sedikit, dan terdapat bagian dinamis (mutaghayyir) yang bersitaf fleksibel serta dapat disesuaikan dengan waktu dan tempat.
Standar umum dalam praktik mu’amalah dan siyasah syar’iyah itu adalah pokok dan kaidah syariat, serta maqashid syari’ah, yaitu tujuan-tujuan syari’at untuk: Menghilangkan dan menghentikan sesuatu yang membahayakan (dharar); Memelihara lima hal (kulliyat khams), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; Senantiasa memperhatikan alasan-alasan hukum (‘illah) fikih dalam penetapan hukum; dan memperhatikan maslahat secara umum, baik kemaslahatan untuk mendapatkan sesuatu yang positif atau untuk menghindari sesuatu yang negatif.
Sedangkan ajaran dinamis (syaqqun mutaghayyir) adalah ajaran yang bersifat fleksibel (murunah) dan berkembang (tathawwur) seiring perkembangan kehidupan. Ajaran dinamis ini meliputi hal-hal cabang-parsial (furu’iyat juz’iyat), rincian-rincian dalam pelaksanaan mu’amalah dan siyasah syar’iyah, yang berada pada wilayah adillah zhanniyah, wilayah ijtihad, dan silent syari’ah (hal-hal yang secara rinci tidak dijelaskan oleh syari’at). Bagian ajaran dinamis atau syaqqun mutaghayyir ini merupakan ruang luas untuk berijtihad yang berarti pengerahan segenap kemampuan akal seorang mujtahid untuk menerapkan hukum Allah di situ. Bagian dinamis bukan diartikan sebagai gejala liberalisasi syari’at, karena Islam bukan seperti prinsip apapun di luar Islam. Dia memiliki karakteristisk tersendiri yang dibatasi oleh al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ para ulama, serta kaidah-kaidah dalam ber-istinbath dan ber-istidlal.
Termasuk dalam ajaran dinamis ini adalah fatwa yang bersifat berubah sesuai waktu, tempat, dan suatu kondisi, berdasarkan standar syariat dalam berfatwa. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Malik:
يُحْدَثُ لِلنَّاسِ فَتَاوى بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الفُجُوْرِ
“Fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan dosa model baru yang mereka lakukan.” (Fatawa Ibn Hajar, Vol 1, 200)
Dengan demikian, untuk menghindarkan Islam Nusantara dari proyek liberalisasi agama, harus ditegaskan bahwa penyesuaian khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy), bukan pada bagian ajaran yang statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy).
Islam Nusantara dan Budaya Kufur
Islam Nusantara tidak boleh melegitimasi tradisi-tradisi yang menyimpang dari Islam, dengan dalih itu adalah khazanah budaya Nusantara. Islam membagi tradisi yang berlaku di tengah masyarakat menjadi dua bagian, yaitu tradisi baik (‘urfun shahih) dan tradisi jelek (‘urfun fasid). Tradisi Baik adalah sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at (tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib), atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Pengertian ini disebutkan oleh Sa’ad al-‘Utaibi, dalam Usus al-Siyasah al-Syar’iyyah:
وَالمُرَادُ بِهِ العُرْفُ الصَّحِيْحُ، وَهُوَ: مَا تَعَارَفَهُ أَكْثَرُ النَّاسُ (وَهَذَا قَيِّدٌ يُخْرِجُ العَادَاتِ الخَّاصَّةَ) مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ اعْتَبَرَهُ الشَّرْعُ؛ أَوْ أَرْسَلَهُ، مِمَّا شَأْنُهُ التَّغَيُّر وَالتَّبَدّل) سعد العتيبي, أسس السياسة الشرعية, ص 90)
Sementara tradisi jelek adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat, namun bertentangan dengan syari’at.
Menurut al-‘Utaibi, ulama hampir sepakat (syibh al-ittifaq) tentang kehujjahan pengamalan tradisi baik, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, kaidah Ushul, dan Kaidah Fikih.
Kehujjahan tradisi menurut al-Qur’an, adalah firman Allah dalam Surat al-A’raf ayat 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ. (الأعراف:199)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199)
Kehujjahan tradisi menurut Sunnah, ditunjukkan melalui hadits marfu’ dari Abdullah bin Mas’ud, sebagai berikut:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئا. رواه أحمد
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu baik di sisi Allah dan sesuatu yang dipandang jelek oleh mereka maka hal itu jelek di sisi Allah.” (HR. Ahmad)
Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Ushul, dijelaskan oleh al-Bairi dalam Syarh al-Asybah, sebagai berikut:
الثَّابِتُ بِالعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيّ
“Sesuatu yang tetap melalui tradisi adalah tetap melalui dalil syar’i.”
Kaidah ini senada dengan kaidah yang disampaikan al-Sarkhasi dalam al-Mabsuth:
الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ.
“Sesuatu yang tetap melalui tradisi seperti sesuatu yang tetap melalui nash.”
Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Fikih, disebutkan dalam beberapa kaidah sebagai berikut:
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Kebiasaan itu dapat menjadi hukum.”
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Hakikat ditinggal karena dalil adat.”
اسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةً يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan.”
المَعْرُوْفِ عُرْفاً كَالمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat.”
Selain kaidah-kaidah ini, masih terdapat kaidah-kaidah lain yang disebutkan oleh para ulama. Hal ini menunjukkan legalitas pengamalan tradisi baik.
Sementara tradisi tidak baik, Islam memiliki cara atau metodologi dalam menyikapinya, yang dikenal sebagai metodologi dakwah dengan cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi.
Bersambung…
(bagian berikutnya, tentang Islam Nusantara dan pengotakan Islam, Islam Nusantara dan agenda anti Arab, serta ikhtiar untuk menarik pengertian Islam Nusantara pada metodologi dakwah).
MENGAWAL ISLAM NUSANTARA
(Tanggapan Positif untuk Tulisan KH Muhammad Najih Maimoen)
Bagian 2
Setelah dijelaskan dalam tanggapan bagian pertama, yakni tentang Islam Nusantara dan kepentingan liberalisme, serta Islam Nusantara dan budaya kufur, berikut penjelasan mengenai isu Islam Nusantara dan pengotakan Islam, Islam Nusantara dan agenda anti Arab, serta ikhtiar untuk menarik pengertian Islam Nusantara pada metodologi dakwah.
Islam Nusantara dan Pengotakan Islam
Islam Nusantara tidak boleh menjadi dalih, atau diartikan sebagai pengotakan Islam. Syari’at Islam itu bersifat universal (syumuli) untuk setiap lini kehidupan, dalam lintas waktu dan tempat. Islam berpaham Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini kewajiban yang jumlahnya lima yang disebut Rukun Islam, dan meyakini keenam rukun lain yang disebut dengan Rukun Iman, yaitu Iman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para utusan Allah, kepada hari akhir, dan kepada qadha dan qadar.
Ajaran Islam disebut dengan syari’at Islam, yaitu kumpulan hukum yang bersumber dari al-Qur’an, hadits Nabi, ucapan generasi salaf shalih, ijtihad ulama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Syari’at ini menjelaskan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, dengan masyarakat atau bangsa, dengan alam dan lingkungannya. Syariat membatasi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Kandungan ajarannya terbagi menjadi tiga hal pokok: Pertama, aspek-aspek teologi (ahkam ‘aqaidiyah), mencakup setiap hukum yang terkait dengan Dzat, Sifat, dan keimanan kepada Allah (disebut dengan istilah ilahiyat); yang terkait dengan para utusan dan keimaman kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkan pada mereka (disebut dengan istilah nubuwat); dan yang terkait dengan hal-hal ghaib (disebut dengan istilah sam’iyat). Aspek-aspek teologi ini dalam disiplin keislaman disebut dengan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
Kedua, aspek-aspek praktik ibadah (ahkam ‘amaliyah), yaitu hukum-hukum yang terkait dengan amal perilaku atau perbuatan manusia. Aspek-aspek hukum ini disebut dengan Ilmu Fikih. Selanjutnya, Fikih terbagi menjadi beberapa bagian dan para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Namun pada intinya, fikih terbagi menjadi empat bagian pokok: (1) Fikih Ibadah, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya, (2) Fikih Mu’amalat, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, seperti akad jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, hibah, pinjam meminjam, penitipan, dan sebagainya, (3) Siyasah Syar’iyah, mengatur hubungan negara dengan rakyat, atau satu negara dengan negara lainnya, seperti hukum tentang Baitul Mal, anggaran belanja negara (masharif), hukum-hukum pengadilan, baik pidana, perdata, dan sebagainya, (4) Ahkam al-Usrah atau Ahwal Syakhshiyah, mengatur hukum privat di dalam keluarga, misalnya pernikahan, perceraian, hak-hak anak, warits, washiat, dan sebagainya.
Ketiga, aspek-aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah), yang menyerukan manusia untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat yang baik (akhlaq karimah) dan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Sifat-sifat baik itu di antaranya jujur, amanah, bertanggung jawab, berani karena benar, menepati janji, sabar, menjaga kelestarian alam, dan sebagainya. Sedangkan sifat-sifat yang buruk itu antara lain adalah berbohong, berkhianat, tidak menepati janji, menipu, merusak lingkungan, dan sebagainya. Aspek-aspek budi pekerti ini disebut dengan Ilmu Akhlak, atau Ilmu Tashawwuf.
Islam Nusantara dan Agenda Anti Arab
Arus Islam Nusantara memerlukan batasan agar tidak menjadi gerakan anti Arab. Kata “Nusantara” bukan untuk mengatakan sesuatu yang “bukan Arab”. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa istilah Islam Nusantara tidak menafikan keberadaan Islam di negara atau wilayah lain. Perbedaan antara Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah dengan metode yang dikembangkan di wilayah lain, baik di Afrika, Eropa, atau di wilayah Arab adalah ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang tidak saling menafikan), bukan ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang saling menafikan), karena tiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri. Sebagai ikhtilaf tanawwu’, keberadaan Islam Nusantara memperkaya khazanah dan metode dakwah keislaman sesuai dengan karakter wilayah ini, serta tidak menafikan universalitas (syumuliyah) Islam.
Kekerasan dan peperangan yang terjadi di beberapa negara Arab tidak boleh dikaitkan karena mereka berislam ala Arab, bukan ala Nusantara. Kita tidak laik mengatakan, “Islam kita (baca: Nusantara) lebih baik daripada Islam mereka (baca: Arab).” Apa yang terjadi di negara Arab, atau dilakukan oleh orang Arab, sungguh tak dapat langsung dikaitkan dengan cara berislam mereka. Ada domain kultur, karakter personal, sikap, bahkan – yang lebih dominan dan terselubung – ada politik dan kepentingan yang melatarbelakangi setiap konflik yang terjadi.
Memang terdapat indikasi, Islam Nusantara digunakan untuk membedakan khazanah keislaman ala Arab dan Nusantara. Ini tentu naïf sekali, dan – sekaligus – amat rumit untuk dipraktikkan. Dalam bahasa Gus Najih, kegiatan keagamaan masyarakat Indonesia yang sepenuhnya berasal dari Islam seperti tahlilan, yasinan, maulidan, manaqiban, thariqahan, dan sebagainya, pada dasarnya di negara-negara Arab juga dilaksanakan, seperti di Syria, Yaman, dan lainnya. “Lalu mengapa para pendukung Islam Nusantara menolak Islam Arab, padahal amaliah mereka sama?” tanya beliau.
Saya mengamini pernyataan beliau tersebut. Pasalnya, sejarah dan realita hingga saat ini menafikan keinginan tidak baik untuk membeda-bedakan amaliyah “ala Arab” dan “ala Nusantara” itu. Satu contoh, seorang tokoh pernah mengeluarkan statemen yang intinya, “tidak perlu membaca Ratib, karena sudah ada istighatsah, tidak perlu membaca Simthud Durar, karena sudah ada Shalawat Badar.”
Statemen itu pernah saya komentari dalam artikel berjudul Tidak Perlu Membenturkan Istighatsah dan Ratib, Shalawat Badar Dan Simthud Durar (saya kutip sebagian pada tulisan ini, secara lengkap dapat dibaca di: http://fariskhoirulanam.com/aswaja/tak-perlu-membenturkan-istighatsah-dan-ratib-shalawat-badar-dan-simthud-durar.html). Intinya, pernyataan tokoh itu dapat saja dinilai sederhana. Namun bila terus dikembangkan akan memicu pada pengotakan umat Islam di Indonesia: antara “produk asli Nusantara” dengan “produk Arab”, atau antara para pengamal Ratib dengan pengamal istighatsah, atau bahkan, antara habaib sebagai keturunan Rasulullah yang banyak mengamalkan Ratib, dengan para kiai yang beristighatsah.
Istilah Ratib dan Simthud Durar memang secara tendensius merujuk pada amaliah para habaib dan muhibbin (pecinta habaib). Sementara istilah istighatsah dan shalawat badar merujuk pada amaliah yang selama ini dipraktikkan warga Nahdlatul Ulama (nahdliyyin). Kedua kalangan ini merupakan khazanah berharga bagi Ahlussunnah Wal-Jama’ah di bumi Nusantara.
Membeda-bedakan berbagai amaliah tersebut, akan sulit dibenarkan oleh sejarah dan realita. Pasalnya, bila ditelusuri sejarah dan motifnya, amaliah-amaliah tersebut bersatu padu di Nusantara, tanpa harus dipertentangkan satu sama lain. Apalagi sampai disinyalir bahwa mengamalkan salah satu dan meninggalkan yang lain dapat menyebabkan kehancuran.
Bahkan, sejarah penyusunan Shalawat Badar, sangat kental diwarnai nuansa “kerjasama” kalangan habaib dengan kiai. Yaitu antara Ketua NU Banyuwangi di era 60-an, Kyai Ali Mansur sebagai penyusun, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi sebagai konsultan, dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta sebagai perestu, bahkan penyebar Shalawat Badar (lihat: Antologi NU : Sejarah – Istilah – Amaliah – Uswah, karya H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan)
Bagaimana dengan posisi Ratib di tengah nahdliyyin? Kumpulan doa dan dzikir ini juga telah lama diamalkan warga NU. Bahkan, ulama kharismatik Nahdlatul Ulama, KHR As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, beberapa kali menasihati para santrinya untuk membaca Ratibul Haddad.
Dalam buku Rangkuman Sebagian Dawuh-Dawuh Almaghfurlah KHR As’ad Syamsul Arifin Kepada Santri, Pengurus, dan Umum, halaman pertama, disebutkan dawuh beliau tertanggal 27 Januari 1983:
-
“Rawatibul Haddad (Ratibul Haddad) adalah doa sapujagat, karena di dalamnya semua permohonan.”
-
“Santri sampai sekarang ini barakahnya Rawatibul Haddad.”
-
“Baca Haddad (Ratibul Haddad, pen) akan mempengaruhi ilmu dan rizqinya.”
Pada tanggal 6 Agustus 1984, menjelang HUT kemerdekaan RI, KHR As’ad Syamsul Arifin mengulang pesan agar Ratibul Haddad dibaca, bahkan dihapalkan:
-
“Tanggal 17 Agustus tidak prei (santri tidak libur, pen), berkumpul baca tahlil, Haddad (Ratibul Haddad) dan munjiyat, doakan pahlawan yang gugur, dan agar pelaksana pemerintah baik.”
-
“Santri harus hafal Haddad, barakahnya nampak.”
Menariknya, di halaman terakhir buku yang dikeluarkan PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo itu, KHR As’ad Syamsul Arifin menasihati umat untuk istiqamah membaca Ratibul Hadad, dan istighatsah sekaligus.
Beliau Dawuh, “Istiqamah baca Ratibul Haddad: (1) Jadi pagar, (2) terhindar dari asah. Kalau tani, taninya tidak asah. Dagang, dagangannya tidak asah. Punya santri, santrinya tidak asah. Istiqamah baca Istighatsah: jadi pagar, pasti kaya, terutama kaya hati.”
Bila dicermati, kegiatan bertabligh di Nusantara sejak dulu hingga saat ini, tetap berada di tangan para kiyai dan alawiyin (habaib). Mereka tersebar di pelosok-pelosok kepulauan Indonesia. Perpaduan dan kerjasama itu tentu akan makin menguatkan Islam, berdasarkan akidah dan amaliah Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Menarik Pengertian Islam Nusantara pada Metodologi Dakwah
Menurut hemat kami, untuk menyelamatkan Islam Nusantara dari kepentingan dan tujuan tidak baik, istilah ini harus diberi batasan dan kriteria. Motif inilah yang membuat saya menulis buku kecil berjudul “Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara”. Buku kecil tersebut saya tulis, setelah sekitar 4 (empat) bulan “mauquf” tentang Islam Nusantara. Terdapat kekhawatiran, ada apa di balik Islam Nusantara. Namun arus di NU sangatlah kuat, yang meniscayakan Islam Nusantara menjadi istilah kunci pada tema Muktamar ke-33 di Jombang.
Kami melihat, bila Islam Nusantara dimaknai dan diwarnai dengan bagus, maka dia akan menjadi materi operasional dakwah ala Aswaja, atau Aswaja Terapan bagi NU, sesuatu yang selama ini saya “dambakan”. Mengenai Aswaja Terapan, kami pernah menulisnya di tahun 2014 (lihat: http://fariskhoirulanam.com/aswaja/nusron-wahid-aswaja-terapan-dan-tongkat-nabi-musa.html)
Namun, bila dimaknai secara salah, bahkan ditunggangi kepentingan liberal dan Syi’ah, maka gagasan Islam Nusantara akan sangat mudarat. Maka mengawal Islam Nusantara yang telah menjadi tema muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama adalah menjadi suatu keniscayaan.
Mabadi ‘Asyrah atau Sepuluh Prinsip Dasar Islam Nusantara tersebut berisi deskripsi umum tema keilmuan ini. Ia berfungsi sebagai peta, outline, term of reference (TOR), sketsa kasar, serta informasi awal mengenai kajian Islam Nusantara, serta bahan operasionalisasinya. Harapannya, Islam Nusantara tidak berlawanan dengan diktum-diktum syari’ah, atau menafikan universalitas ajaran Islam.
Setelah melakukan kajian dan observasi, langkah terbaik untuk memaknai Islam Nusantara adalah dengan menjadikannya sebatas metodologi dakwah Islam di Nusantara. Oleh karena itu, pada pirnsip (mabda’) pertama, di antara sepuluh prinsip (mabadi’ asyrah) yang ada, yaitu tentang Batasan Definitif (al-Hadd), pada buku tersebut saya perlu memunculkan penjelasan awal tentang pengertian Islam; universalitas ajaran Islam; ajaran Islam yang statis dan dinamis; sikap Islam terhadap tradisi; dan kewajiban mendakwahkan Islam. Setelah memberikan penjelasan mengenai ruang lingkup Islam dan Nusantara, kami sampai pada kesimpulan, bahwa definisi “aman” untuk Islam Nusantara adalah:
“Metodologi dakwah untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (syumuliyah) ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam suatu model yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi baik (‘urfun shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau merupakan tradisi tidak baik (‘urfun fasid) namun sedang dan atau telah mengalami proses dakwah amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari’ah. Sementara penyesuaian khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy), bukan pada bagian ajaran yang statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy).”
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Wallahu a’lam.
Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. (Aswaja NU Center Jawa Timur)